“Karna kasih-Nya, Dia menderita Itu Dia lakukan demi pengampunan dosa Karna kasih-Nya, Dia rela mati Itu Dia lakukan demi keselamatan kita Demi pengampunan dosa Semua karna kasih-Nya” -PH, 2011
Disclaimer: Ditulis berdasarkan teologi sehari-hari
Kalvari adalah sebuah peristiwa sejarah yang hingga kini masih menjadi perdebatan dan suatu misteri. Meskipun bagi sebagai orang tampaknya Tuhan butuh pengakuan manusia bahwa Dia berkuasa, namun sejatinya peristiwa itu adalah bentuk rekonsiliasi kehidupan manusia yang nature nya berdosa dengan Dia, Sang Pencipta. Kalvari adalah bukti kasih Allah pada manusia yang lemah, rapuh, dan terbatas. Yang bahkan laku ibadah dan laku hidup kudus kita pun tidak akan pernah cukup untuk menebus segala dosa-kesalahan yang telah kita perbuat. Tanpa ada inisiatif Allah Sang Maha Kudus, kita tidak akan pernah dapat kembali menjalin relasi erat dengan-Nya.
Photo by Mateus Campos Felipe on Unsplash
Sahabat yang Terlupakan Bernama Yudas Iskariot
Yudas Iskariot merupakan seorang murid yang dibimbing dan belajar sendiri dengan Yesus. Yudas tampaknya adalah seorang yang cerdas, kritis dan berbakat, tetapi seringkali bersandar pada dirinya sendiri. Dalam Alkitab, Yudas disebutkan memiliki kecenderungan untuk mengejar dan mencari uang. Dalam Yohanes 12:5-6 misalnya, Yudas ingin agar hasil penjualan minyak narwastu tersebut juga masuk dalam kantong pribadinya. Sampai jelas peristiwa Kalvari itu, Yudas menjual Yesus dengan 30 keping perak, itu semua tidak lain karena uang bukan?
Sebuah tulisan yang ditulis oleh seorang pendeta cukup menggelitik hati. Pendeta tersebut menyebutkan bahwa Yudas Iskariot adalah sahabat kita, sahabatku dan sahabatmu. Ya, terkesan sangat gila menyebut Yudas Iskariot sebagai seorang sahabat. Namun, nyatanya kita saling bersahabat di dalam dosa, bukan?
Aneh memang kalau kita cerna lebih jauh. Namun, Tuhan sendirilah yang menjadikan sahabat-Nya dan sahabat kita bersama, alias Yudas Iskariot, dalam bagian perjalanan pelayanan Yesus, sampai peristiwa kematian-Nya. Mungkin bisa dibilang, alangkah kejamnya Tuhan memilih Yudas dan alangkah kasihannya Yudas "dipilih" oleh Tuhan untuk mengkhianatinya. Kenapa tidak murid yang lain? Kenapa tidak seorang bernama X dari Jakarta misalnya?
Di dalam kedaulatan-Nya yang penuh misteri, semua nama sebenarnya bisa dipakai Tuhan untuk menggenapi kehendak-Nya. Terlepas untuk siapa dan bagaimana cara penebusan yang dilakukan-Nya (disalibkan atau tidak), intinya Tuhan punya cara yang tak terselami oleh pikiran manusia untuk merekonsiliasi hubungan diri-Nya dengan ciptaan-Nya yang telah rusak. Hanya saja, (mungkin) kebetulan Yudas punya kecenderungan keterbatasan seperti yang sudah disampaikan di atas. Toh yang pada akhirnya yang meneriakkan, "Salibkan Dia! Salibkan Dia! Salibkan Dia!" banyak orang, bukan Yudas seorang.
Ya, Yudas Iskariot sahabat kita. Yudas dan kita bersahabat di dalam keberdosaan. Yudas terbatas, kita pun. Yudas berdosa, kita apalagi. Namun, Tuhan yang tak terbatas menempuh jalan Kalvari bukan hanya untuk Yudas (spesial banget kalau cuma untuk Yudas), melainkan untuk kita semua.
Penting untuk diri kita menyadari bahwa kita adalah "Yudas Iskariot" untuk dapat membantu kita lebih menghayati pengorbanan Kristus di kayu salib bagi aku, bagi kamu, dan bagi keselamatan dunia.
Photo by Karsten Winegeart on Unsplash
Mengasihi Yudas Iskariot sebagai Seorang "Sahabat"
Kembali lagi pada istilah kecenderungan keterbatasan. Setiap kita memiliki kecenderungan keterbatasan tertentu untuk melakukan dosa-kesalahan. Katakanlah kita yang diberikan kecerdasan Tuhan lebih, mungkin akan memiliki kecenderungan untuk sombong ke orang lain, atau kita memiliki dorongan seksual tinggi mungkin akan terjebak dalam seks bebas atau seks dini dengan pasangan.
Sebagai sesama anggota tubuh Kristus dengan natur kemanusiaan (humanity) kita yang berdosa, kadang-kadang kita sering menganggap bahwa kita lebih benar dan orang lain menjadi kurang benar dari kita. Menjadi "tuhan" dadakan si istilahnya. Ya, karena gereja sering kali mengajarkan sesuatu yang dikotomis, benar-salah, hitam-putih, gelap-terang, dan sebagainya. Dampaknya, kita cenderung melihat bahwa orang lain adalah 'Yudas". Namun, kita perlu ingat bahwa kita juga adalah 'Yudas'. Sesama 'Yudas' jangan saling mendahului apalagi menghakimi. Hm, bagaimana pendapat Ignite People sampai di sini?
Kita sangat perlu menyadari bahwa kita adalah 'Yudas Iskariot' di masa kini. Kadang-kadang, diri kita menyakiti hati Tuhan tidak hanya dengan dosa tertentu (yang orang lain tidak tahu), tetapi kadang melalui hal sederhana seperti perilaku, perkataan, idealisme, guyonan yang sering kali menyakiti hati sesama kita. Nah, sampai di sini, kita perlu berefleksi bukankah kita adalah satu tubuh darah Kristus? Bukankah Kristus telah berpesan pada perjamuan terakhir di malam itu? Bahkan beberapa jam kemudian, setelah kepergian Yudas yang sudah tidak bisa mengendalikan diri, Yesus berdoa agar para murid-Nya menjadi satu (Yohanes 17). Bayangkan: tanpa suatu kesatuan di dalam Kristus Sang Pokok Anggur yang benar, kita tidak layak disebut sebagai murid-murid-Nya! Dengan kesatuan di dalam-Nyalah kita bisa semakin mewujudkan dunia yang lebih penuh dengan damai serta cinta-Nya.
Sesama 'Yudas" kita perlu saling mendukung, menguatkan, juga bertumbuh bersama.
Photo by Jack Sharp on Unsplash
Menjadi "Yudas Iskariot" yang Lain
Masih berbicara diri kita adalah 'Yudas'. Perlu dengan kesadaran untuk kita menghayati bahwa kita perlu menjadi "Yudas" yang lain. Apa maksudnya? Menjadi Yudas yang lain berarti kita menyadari bahwa kita berdosa, kita menyesali perbuatan kita, tetapi tidak untuk menyesali dengan cara yang salah (bunuh diri, baca di Matius 27:5). Kita bisa menilik dari kisah Petrus yang telah menyangkali Yesus tiga kali, tetapi kemudian bersedia menerima pengampunan dan merespons panggilan Kristus untuk "menggembalakan domba-domba-Nya" (Yohanes 21:15-19). Petrus dan Yudas menyadari kesalahan mereka, tetapi respons mereka berbeda. Sama halnya dengan kita, Petrus juga adalah "Yudas" tetapi dengan akhir kisah yang berbeda.
Ignite People, inilah kabar baik itu: kita sudah ditarik dari "kumpulan Yudas" tersebut. Yes, we were Judas Iscariot, but we were no longer him. Artinya, kita tidak punya hak untuk memiliki alasan untuk tetap berkubang di dalam dosa seperti, "Ya, udah, deh. Kan, kita ini makhluk berdosa, jadi enggak apa-apalah bikin dosa." The fact, we are no longer makhluk yang ada di dalam dosa. Paulus pernah menegaskan ini dalam Roma 6:23-24 dan Galatia 2:20:
Sebab upah dosa ialah maut; tetapi karunia Allah ialah hidup yang kekal dalam Kristus Yesus, Tuhan kita. -Roma 3:23-24
namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku. -Galatia 2:20
Sebagai 'Yudas' yang lain, kita perlu menghayati definisi mercy dan grace. Mercy (belas kasih) mengacu pada Allah yang tidak membalaskan setimpal dengan apa yang seharusnya umat berdosa dapatkan, sementara grace (anugerah) mengacu pada pemberian Allah yang seharusnya tidak layak kita dapatkan, tapi tetap kita dapatkan. Jika Allah sudah sedemikian rupa mencurahkan mercy dan grace-Nya, apakah kita masih ingin menyia-nyiakannya dengan hidup secara tidak bertanggung jawab? Dia akan minta pertanggungjawaban iman kita, so brace yourself! Allah tidak membiarkan kita berjuang seorang diri, tetapi Dia memberikan pertolongan melalui Roh Kudus dan kehadiran sesama "Yudas" yang lain yang juga rindu memiliki hidup yang selalu bergantung penuh pada Tuhan yang Mahakasih dan Mahaadil.
Ingat, sesama "mantan Yudas" perlu saling mendukung dan tidak saling merendahkan. Selamat terus menghayati belas kasih dan anugerah Allah!
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: