Pengharapan yang mengimani bahwa Tuhan selalu baik dan menyertai adalah modal besar untuk menjalani hidup.
Delapan setengah tahun yang lalu Tuhan memanggil pulang papa.
Sejak saat itu banyak pergulatan di benak kami sebagai keluarga yang ditinggalkan. Papa adalah seorang kepala keluarga yang dibantu oleh mama sebagai ibu rumah tangga penuh waktu. Saat itu aku masih kelas 3 SMA dan akan segera masuk kuliah sedangkan kakakku satu-satunya baru saja lulus kuliah dan sedang mencari pekerjaan. Kepergian papa yang mendadak, selain membuat kami berduka, juga membuat kami kalang kabut terkhusus dalam hal finansial.
Kami bertanya: “Kenapa Tuhan?”
Seminggu setelah kepergian papa, keluar pengumuman hasil tes masuk salah satu perguruan tinggi negeri di Jakarta. Aku dinyatakan tidak diterima di kelas reguler untuk S1 melainkan diterima di kelas diploma yakni D3.
Sekali lagi aku kecewa dan mempertanyakan mengapa Tuhan begitu tidak adil. Satu masalah belum selesai sudah timbul masalah baru. Fakta bahwa kelas D3 ini lebih mahal dibandingkan dengan kelas S1, menjadi alasan keresahanku. Lagipula seperti kita tahu, rata-rata masyarakat masih menganggap sebelah mata kepada anak-anak D3. Sayangnya aku tak ada pilihan. Kelas itu aku terima dan mulai jalani.
Shutterstock.com
Di tengah kekecewaan dan kemarahan, aku selalu dikuatkan oleh ayat dari Yeremia 29 ayat 11
“Sebab aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman Tuhan, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.”
Mengaminkan ayat tersebut di tengah permasalahan yang ada bukanlah hal yang mudah. Tapi ternyata Tuhan sungguh luar biasa. Satu per satu masalah perlahan menemukan jalan keluar.
Tidak lama berselang kakakku mendapat pekerjaan. Hatiku lega. Selain itu, ternyata papa dan mama sudah menyiapkan satu gelang emas untuk keperluan uang masuk kuliahku. Aku ingat sekali kalau biaya kuliahku untuk semester pertama dan uang gedung jika ditotal adalah 11 juta rupiah dan ternyata saat gelang emas tersebut dijual, uang yang didapatkan adalah 11 juta rupiah. Terlihat seperti kebetulan? TIDAK! Kami sekeluarga percaya bahwa tidak ada sesuatu hal yang terjadi secara kebetulan. Tuhan turut campur tangan dalam setiap hal yang terjadi dalam hidup kita, termasuk pada saat hidup kita sedang diterpa badai kehidupan.
Shutterstock.com
Melangkah Bermodalkan Iman
Keputusan ini tergolong nekat, mengingat fakta tabungan yang ada hanya untuk biaya kuliah semester pertama, lalu bagaimana dengan semester-semester berikutnya? Pada saat itu kami tidak punya bayangan bagaimana akan membayarnya, tapi kami percaya Tuhan tidak sekalipun meninggalkan.
Jalan mulai terbuka. Sebuah beasiswa aku dapatkan untuk membayar biaya kuliah tiap semesternya hingga lulus. Begitu pula untuk buku-buku kuliah yang mahal dan biaya hidup. Tuhan tetap bekerja. Kali ini melalui seorang dosen yang kemudian menawariku untuk membantunya sebagai asisten pengajar. Aku belajar bagaimana pertolongan Tuhan bisa melalui siapa saja.
Sekarang, jika kami flashback kembali ke masa-masa tersebut, kami merasa dikuatkan karena Tuhan tidak pernah tinggal diam. Di setiap permasalahan yang ada, bukan kepanikan dan kecemasan yang akan menolong. Kita kadang hanya perlu berlutut di hadapan-Nya, menaikkan doa kepada-Nya dan meyakini dengan teguh bahwa Tuhan pasti akan buka jalan bahkan di momen ketika kita merasa tidak ada lagi jalan.
Jika diibaratkan sebagai sebuah bejana, ketika permasalahan hadir, kita mungkin merasa bejana hidup kita mulai retak dan sudah di ambang menuju kehancuran. Tetapi akhirnya melalui hal-hal itu, Tuhan dapat mengubah kita secara luar biasa. Itulah yang terjadi padaku. Melalui kedukaan, penolakan jalur sarjana, tanggungan kuliah, Tuhan membentuk aku menjadi pribadi yang lebih kuat dan terpenting, menjadi pribadi yang makin mengandalkan-Nya di dalam setiap langkah kehidupan.
Photo by Allef Vinicius on Unsplash
Pilihan ada di tangan kita. Ketika dihantam badai masalah bejana kita akan retak dan hancur berkeping-keping dan kemudian dapat dibuang ke tempat sampah. Atau kita memilih untuk meletakkan bejana retak kita di dalam tangan Tuhan, agar Sang Pemilik Hidup itu sendiri memberi pimpinan-Nya pada kita.
Aku memilih yang kedua. Bagaimana denganmu?
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: