"Karena Tuhan tak memandang berapa banyak talenta yang kita miliki, tetapi yang penting adalah bagaimana kita bertanggung jawab untuk mengembangkan atau mengelola talenta yang Tuhan percayakan kepada kita. Semua itu untuk kemuliaan Tuhan"
“Ra, tadi Dita titip pesan, katanya sehabis kamu kelas nanti, Dita mau ketemu sama kamu. Ada hal yang Dia mau ceritakan sama kamu,” kata Santi saat berjalan bersama Rara menuju fakultas mereka masing-masing sehabis makan siang di kantin.
“Aku lihat Dita sering sharing sama kamu, Ra. Senang ya punya sepupu yang akrab,” lanjut Santi.
“Ya, begitulah, San. Oya makasih ya sudah kasih tahu informasinya.”
“Aku juga senang kalau sharing sama kamu, Ra. Berbeda saja sama kalau aku cerita ke kakakku, misalnya.”
“Oh ya? Makasih,” balas Rara.
Santi dan Rara bersahabat sejak kecil. Mereka selalu satu sekolah dari TK sampai kuliah. Mereka pun tinggal di gang yang sama. Aktivitas merekapun, kadang mereka bersama-sama menjalaninya. Kalau tidak ada jadwal kelas, Rara pasti menemani Santi untuk les vocal, biola dan piano.
Santi memang mempunyai talenta untuk bernyanyi sekaligus memainkan alat musik. Berbagai ajang audisi yang diikuti, tak pernah Ia tak masuk 3 besar. Ia juga selalu melayani di gereja tiap hari minggu. Namun demikian, Santi selalu rendah hati.
“Wah, di mading ramai sekali kelihatannya. Ayo San, kita ke sana,” ajak Rara. “Kampus Taruna akan mengadakan audisi nyanyi, ikut saja, San. Lombanya 2 bulan lagi setelah jadwal UAS.” “Boleh, Ra,” jawab Santi.
Sesampainya di rumah, Rara seperti tidak tenang. “Ikut,tidak, ikut, tidak, ikut, tidak, ikut. Ah, aku ikut saja audisi lomba nyanyi kampus Taruna itu. Ini kesempatan emas. Kalau juara satu nya Santi, ya setidaknya aku harus juara dua atau tiga. Kalau aku masuk 3 besar, pasti aku akan dikenal banyak orang.”
Rara pun mendaftarkan diri secara diam-diam dan mengikuti les vokal setiap hari dengan bayaran yang mahal. Setiap habis kuliah, Ia langsung menuju tempat les sampai tengah malam. Begitulah kegiatannya sehari-hari selama sebulan lebih. Karena terlalu sibuk untuk lombanya, Rara sampai tidak lulus beberapa mata kuliah juga Ia pun akhirnya jatuh sakit dan dirawat di rumah sakit.
Sampai hari lomba pun, Rara belum keluar dari rumah sakit.
“Tok..tok..tok.” Bunyi suara pintu kamar rawat Rara terdengar.
“Silahkan masuk,” jawab Ibu Rara.
"Raaa..." Sinta langsung berlari memeluk Rara yang sedang duduk di atas tempat tidur.
“Kenapa kamu gak kasih tau kalau kamu sakit, Ra? Apa kamu sedang marah sama aku?” tanya Sinta sambil menangis dan perlahan melepaskan pelukannya dari Rara.
“Ra… aku sudah tau penyebab sampai kamu masuk rumah sakit. Jadi ini alasan mengapa kamu menghilang selama ini? Tidak apa-apa kalau kamu mau belajar, tapi tidak sampai seperti ini, Ra.
“Santi, bukannya kamu ada di tempat lomba?” tanya Rara dengan suara terbata-bata.
“Bagaimana aku bisa ikut lomba sementara salah satu pesertanya yang adalah sahabatku sedang terbaring di rumah sakit?”
Rara tertunduk dan air matanya perlahan mengalir di pipinya. “Aku salah, aku hanya ingin bisa bernyanyi dan terkenal seperti kamu, San. Aku tidak punya talenta apa-apa. Aku malu, San.”
“Siapa yang bilang kamu tidak punya talenta apa-apa, Ra? Siapa? Ra, semua orang itu punya talenta. Tidak perlu malu dengan aku, toh ini pemberian Tuhan, bukan milikku. Ra, kamu itu pendengar yang setia. Setiap kata-kata atau nasihat yang kamu berikan itu sangat berarti. Belum tentu semua orang bisa seperti kamu. Kamu ingat cerita di dalam Matius 25:14-30, kan? Cerita tentang talenta. Tuhan tak memandang berapa banyak talenta yang kita miliki, tetapi yang penting adalah bagaimana kita bertanggung jawab untuk mengembangkan atau mengelola talenta yang sudah Tuhan percayakan kepada kita dan semua itu untuk kemuliaan Tuhan.”
“Kamu itu seperti mama ku dulu. Mama pernah cerita kalau mama juga gak tau apa talentanya, tetapi pada akhirnya mama sadar kalo ia bisa menjaga anak yang masih kecil. Aku gak bisa menjaga anak kecil, bahkan setiap anak kecil yang lihat mukaku pasti mereka langsung menangis, hehehe,” canda Santi.
Rara tak tahan untuk tertawa, dan Ia langsung mengangkat wajahnya dan memeluk Santi.
Terima kasih, sahabat.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: