“Tetapi Sekarang Mataku Sendiri Memandang Engkau”: Bagaimana Pembenaran Ayub oleh Allah Menolong Saya dalam Mempertanyakan-Nya (Bagian 1)

Going Deeper, God's Words, 28 January 2023
“Faith is not limited to affirming the existence of God. No, faith tells us that God loves us and demands a loving response. This response is given through love for human beings, and that is what we mean by a commitment to God and to our neighbor.” - Gustavo Gutiérrez

PERJALANAN IMAN PENUH PERTANYAAN

Kisah perjalanan iman saya—seperti yang saya yakini juga dialami banyak dari kita—adalah perjalanan naik-turun, penuh tantangan, rasa sakit, keraguan, bahkan ketidakpercayaan.

Tumbuh besar dalam kultur Kristen yang kuat, saya diajar untuk tidak mempertanyakan ketaatan. Saya terbiasa bungkam saat muncul kebingungan atas konsep iman yang saya terima dari orang tua, guru, maupun rohaniwan. Kalimat yang merangkum pergumulan iman saya dulu adalah, “jangan banyak bertanya, percaya saja.”

Namun di akhir masa remaja, tembok ketaatan itu bobol. Saya mulai meragukan banyak hal, geram melihat kemunafikan di komunitas Kristen sekitar, dan kesal pertanyaan-pertanyaan saya tidak dijawab. Kondisi mental dan citra diri saya mulai remuk akibat merasa gagal mengikuti “standar ketaatan”. Saya menolak beriman untuk beberapa waktu.

Di masa kuliah, saya mulai menemukan pijakan kembali. Saya terberkati oleh persekutuan Kristen di kampus yang memberikan perspektif segar. Saya merasa diterima dalam komunitas yang menyambut ramah. Pertanyaan-pertanyaan saya dijawab dengan lugas, tegas, dan terasa meyakinkan lewat berbagai ibadah, khotbah, seminar, dan kelas pengajaran maupun apologetika. Berbagai jawaban yang saya dapatkan menguatkan keyakinan saya untuk beriman.

Sampai kemudian ada perasaan aneh. Mengapa pertanyaan saya satu per satu dijawab, tetapi keraguan terus mengalir bahkan bertambah luas?

Saya menghadapi dimensi keraguan baru; bukan lagi karena pertanyaan yang tak dijawab, melainkan karena pertanyaan baru yang terus bermunculan, yang dijawab dengan tidak memuaskan oleh mereka yang mendaku paham jawabannya, bahkan mendapatkan sanggahan dan perlawanan dari orang-orang yang saya tanyai.

Lingkup pertanyaan yang mengganggu itu begitu luas. Tentang evolusi dan penciptaan semesta, kebenaran Alkitab, sudut pandang Kristen melihat LGBTIQ+, sains, aborsi, dan beragam isu lainnya.

Namun pertanyaan yang paling mengganggu adalah tentang keadilan Allah, penderitaan, dan kejahatan. Mengapa saya sering menjumpai orang-orang yang rajin menolong, hidup saleh, bahkan pendoa hebat, harus hidup menderita, berjuang secara ekonomi (bahkan miskin), dan dihinakan? Mengapa saya pun sering menjumpai orang yang berbuat kejahatan, menindas sesama, berbisnis tidak adil, bermain politik kotor, menunjukkan kemunafikan beragama, malah hidup sejahtera, bahagia, dan mendapat puja-puji?  

Perasaan bersalah itu kembali muncul, terus datang dan pergi dalam pergumulan rohani hingga kini. Salahkah bertanya sedemikian banyak? Haruskah diam, belajar lebih menyerahkan diri serta, lagi-lagi, “percaya saja”? Pertanyaan-pertanyaan ini terus berkecamuk di kepala, dan saya tahu diam saja tidak akan menyelesaikan kegelisahan ini.

Bila jawaban dari orang-orang yang saya anggap dewasa rohani masih tidak memuaskan, tidak mungkinkah saya mendapatkan jawabannya dari Tuhan sendiri?


Photo by Emily Morter on Unsplash  



AYUB: BERTANYA DALAM IMAN

Pertanyaan-pertanyaan ini saya bayangkan juga berkecamuk di kepala Ayub, manusia dengan kejujuran, keberanian, maupun ketangguhan luar biasa. “… orang itu saleh dan jujur; ia takut akan Allah dan menjauhi kejahatan” (Ayub 1:1).

Kitab Ayub selalu menarik dan layak dipahami sudut pandangnya dalam mengejawantahkan bagaimana Tuhan berhadap-hadapan dengan soal-soal penciptaan, keadilan, penderitaan, dan kejahatan. Kitab Ayub juga sering dipandang sebagai kitab yang membagikan keteladanan Ayub yang begitu sabar, tangguh, rela berkorban, dan menjaga kekudusannya. Setiap kita pasti sepakat Ayub adalah teladan hidup beriman menghadapi berbagai cobaan dan tantangan.

Namun dalam segala kegelisahan yang tak terjawab memuaskan, saya mencoba membaca Ayub lebih sungguh, lagi dan lagi, ketika keraguan terus menghantui. Pelan-pelan, dahaga saya terpuaskan, bukan karena semua jawab hadir, melainkan karena saya justru menemukan bahwa pertanyaan-pertanyaan saya memperoleh validasi.

Bacalah lebih dalam, maka kita akan mendapati bahwa Ayub bukanlah tokoh yang memenuhi stereotip kesucian beragama yang kita bayangkan. Malah, ketika melihat bagaimana rekan-rekannya, Elifas, Bildad, Zofar, sampai Elihu berargumen dengan Ayub, akan tampak bahwa teman-temannya itulah yang lebih taat. Mereka berkali-kali mengingatkan Ayub akan Tuhan yang adil dan benar, memberikan kelimpahan kepada yang saleh dan taat, serta kutukan bagi yang penuh pelanggaran kepada Yang Maha Kuasa.

Ayub terus mempertanyakan motif rekan-rekannya. Sebutnya, “Hal seperti itu telah acap kali kudengar. Penghibur sialan kamu semua!” (Ayub 16:2). Pengajaran yang dianggap benar turun-temurun pun Ayub pertanyakan, tanpa Ayub melanggar perintah-perintah keagamaannya sama sekali.

Ketika rekan-rekan Ayub menuduhnya menderita karena dosa, “Bukankah kejahatanmu besar dan kesalahanmu tidak berkesudahan?” (Ayub 22:5), Ayub membuktikan dirinya hidup kudus, adil, dan membela yang Allah pihaki (utamanya orang yang berkekurangan, janda, orang asing). Ayub 29:12-17 merangkum kesalehan sosial Ayub yang kuat, bersumber dari ketaatannya kepada Allah.

Ayub terus bertanya dalam upayanya menghidupi imannya akan Allah. Dia pun melihat itu sebagai haknya, justru karena Ayub adalah yang disebut Gustavo Gutierrez dalam bukunya, On Job: God-Talk and the Suffering of the Innocent, sebagai “manusia terjujur di dunia.” Segala kekayaan dan pencapaiannya sebelum pencobaan dan penderitaannya tidak sedikit pun dia peroleh dari menindas sesamanya, berbohong, atau tidak taat.

Bahkan, kita akan terkaget-kaget lagi saat terus membaca ulang Ayub. Gutierrez di On Job menuturkan bahwa seiring pembacaan yang semakin jauh kita akan melihat bagaimana Ayub bertransisi dalam argumen dan percakapannya dari pasal ke pasal. Ayub tidak semakin insecure dengan kondisinya, malah melihat lebih luas.


Photo by okeykat on Unsplash  



Ayub tidak hanya melihat kesalehannya maupun konsep kedaulatan Allah, tetapi malah melontarkan tanya akan penderitaan dan kejahatan yang dialami sekitarnya. Orang-orang yang dia tolong, tidak beruntung, jauh dari kefasikan tetapi menderita akibat orang-orang fasik, yang dalam kebaikan hidupnya terus menghadapi penderitaan, yang posisi sosialnya rentan bahkan sedari lahir dan karenanya terasa lebih baik jika tidak dilahirkan.

Kegelisahan Ayub bergeser. Bukan lagi kepada penderitaan dan kejahatan yang dialaminya, melainkan kepada penderitaan dan kejahatan yang dialami mereka yang tidak bersalah. Penderitaan dan kejahatan akibat ketidakadilan sosial, pergumulan orang-orang terpinggirkan yang Ayub rindu tolong dalam menghidupi imannya, yang menghadirkan tanya atas keadilan Allah dalam kemahakuasaan-Nya.

Herannya, semakin Ayub mempertanyakan Allah, semakin Ayub meyakini Allah akan menjawabnya, tidak semata-mata hening. Ayub yakin bahwa Allah pasti tidak akan mendiamkannya, bahkan akan menganggapnya layak berucap demikian. Allah yang begitu dipertanyakan oleh Ayub adalah Allah yang begitu Ayub yakini kuasa dan sejarah pekerjaan-Nya.

Dari pasal ke pasal, Ayub terus berkembang dalam melihat penderitaannya. Ayub membawa segalanya kepada Allah yang begitu dia pertanyakan tetapi juga begitu dia percayai, karena dia berpegang pada sejarah pekerjaan Allah untuk mengajukan gugatan dan pertanyaannya. Dia beranjak dari penderitaan diri ke penderitaan segala ciptaan untuk memahami pergumulan terberat dunia yang dia adukan kepada Allah. Ayub—singkatnya—tidak mau berhenti bertanya dan tidak mau berhenti percaya.


(BERSAMBUNG)

LATEST POST

 

Akhir Oktober biasanya identik dengan satu event, yaitu Halloween. Namun, tidak bagi saya. Bagi saya...
by Immanuel Elson | 31 Oct 2024

Cerita Cinta Kasih Tuhan (CCKT) Part 2 Beberapa bulan yang lalu, saya mengikuti talkshow&n...
by Kartika Setyanie | 28 Oct 2024

Kalimat pada judul yang merupakan bahasa latin tersebut berasal dari slogan sebuah klub sepak bola t...
by Jonathan Joel Krisnawan | 27 Oct 2024

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER