Well, lingkungan kita cenderung menuntut adanya orang-orang yang kuat, kan? Karena itulah, lama-kelamaan kita juga belajar bahwa grieving hanya untuk orang-orang lemah.
Awal tahun ini, kita dikagetkan dengan berita bahwa suami Bunga Citra Lestari (BCL), Ashraf Sinclair, meninggal dunia. BCL dan Noah, anak mereka, mengalami pergumulan hebat untuk menghadapi perubahan hidup yang terjadi setelah kepergian Ashraf yang mendadak itu. Kalau biasanya ada suami sekaligus ayah yang bisa mereka temui, sekarang keadaannya tidaklah seperti dulu lagi. Namun melalui dukungan dari banyak pihak (mulai dari keluarga hingga teman-teman), BCL mulai bangkit. Single terbarunya (bersama Ifa Fachrir dan Andi Rianto) yang berjudul 12 Tahun Terindah menjadi salah satu tekad BCL untuk tetap menyosong masa depan bersama Noah—meskipun kadang-kadang ada rasa sedih yang tetap muncul.
Ketika mendengarkan lagu yang mengandung bawang ini untuk pertama kalinya, reaksi saya adalah, "Sedihnya langsung kerasa bangetttt." Bahkan saya sampai berpikir bahwa taste-nya akan berbeda kalau lagu di atas dinyanyikan oleh orang lain, yang belum tentu memiliki pengalaman hidup seperti BCL. Pernikahannya bersama Ashraf yang minim gosip membuat para pendengarnya memberikan komentar serupa pada music video yang dibuat oleh Adam Sinclair, adik ipar BCL. Well, seperti kata pepatah, "Apa yang datang dari hati, akan sampai ke hati pula." Lagu yang didedikasikan bagi Ashraf ini tidak hanya menjadi bentuk kerinduan BCL kepada sang almarhum suami, tapi juga membuat beberapa warganet teringat pada kenangan manis mereka bersama pasangan mereka yang telah tiada.
No one wants to be sad during their life, but—ironically—it happens many times.
Grieving (bahasa kerennya "kesedihan atas kehilangan seseorang atau sesuatu") bisa menyerang siapa saja, tapi (sayangnya) tidak semua di antara kita siap untuk menghadapinya. Selain karena ketidaksanggupan untuk mengendalikan masa depan, lingkungan kita juga membuat kita menabukan kesedihan yang diekspresikan. Misalnya saja saat ada anggota anggota keluarga yang meninggal ketika kita masih kecil; mungkin ada orang dewasa yang berkata, "Duh, itu anak (baca: kita) jangan sampai tahu. Nanti kalau nangis malah jadi repot." Disadari atau tidak, pemikiran seperti itu bisa menjadi konsep bahwa kita tidak boleh menangis agar tidak merepotkan orang lain (apalagi kalau kita dilahirkan sebagai laki-laki, yang diharapkan bertumbuh menjadi pria yang tangguh). Bisa juga itu dikarenakan budaya Timur yang cenderung tertutup untuk mengekspresikan emosi (berbeda dari budaya Barat yang justru sebaliknya). Padahal hei! selama masih ada kantong air mata dan emosi yang bergejolak di dalam batin, sebenarnya sah-sah saja kalau kita mengungkapkannya (dalam situasi yang tepat, tentunya).
Cepat atau lambat, kita seolah-olah "dipaksa" untuk menghadapi kesedihan itu dalam berbagai konteks. Entah saat ada anggota keluarga atau pasangan kita meninggal, saat kita mengalami patah hati atau break up, saat di-PHK, maupun saat hewan peliharaan kesayangan kita meninggalkan kita. Ironisnya, kita juga sudah dibiasakan untuk cepat-cepat bangkit lagi dari keterpurukan itu. Kita tidak diberikan keleluasaan untuk grief on our loss.
Kalau sedang sedih seperti itu, mungkin ada orang-orang yang mengucapkan kalimat berikut (atau yang senada):
"Udahlah, nggak usah sedih-sedih banget. Dia udah di surga, noh."
"Lho, kamu kan (calon) hamba Tuhan. Ya harusnya cepet move on, dong!"
"Ayo semangat, dong! Dia udah bahagia di kekekalan!"
"Halah, gitu aja sedih. Gue ya, waktu putus..."
"Masih mendingan lo dapet pesangon. Gue mah kagak dikasih sama si bos."
"Nih, ya... *kirim ayat penghiburan* Tuh, Tuhan udah janji kalo Dia bersama kamu! Jangan nangis lagi, ya!"
"Dih, cengeng bett. Dasar lemah, dasar payah."
"Lebay amat, sih. Aku pas kayak kamu cuma butuh sekian bulan buat move on."
Photo by K. Mitch Hodge on Unsplash
Well, lingkungan kita cenderung menuntut adanya orang-orang yang kuat, kan? Karena itulah, lama-kelamaan kita juga belajar bahwa grieving hanya untuk orang-orang lemah. Disadari atau tidak, kita dibentuk untuk memendam kepedihan seorang diri. Bahkan kita "dipaksa" untuk memilih meratap sendirian agar tidak merepotkan orang lain. Padahal seperti kata Grifith Mercia, sebenarnya perasaan kita itu valid. Hanya saja, belum semua orang menyadari fakta ini: yang kita butuhkan dalam situasi terpuruk seperti itu adalah orang-orang yang menemani kita dalam meluapkan kesedihan kita. Kalau boleh jujur, sebenarnya kalimat maupun tindakan seperti inilah yang dibutuhkan saat sedang grieving:
"Kalau misalkan ada yang mau diceritain, bilang aja ya. Aku siap buat dengerin."
Inilah yang disampaikan oleh BCL melalui 12 Tahun Terindah. Meskipun kadang-kadang ada kilasan memori bersama Ashraf yang muncul, BCL menyadari bahwa ada orang-orang yang mendukungnya untuk melangkah lagi dan kembali berkarya. Kalau Ignite People membaca beberapa komentar yang ada di Youtube-nya, ada beberapa orang yang membagikan pengalamannya saat ditinggal oleh orang yang mereka kasihi, serta bagaimana lagu ini menyuarakan hati mereka. See? Pengalaman kita yang menggores hati ternyata bisa menjadi pelipur lara ketika kita juga sudah bisa berdamai dengannya secara sadar.
Photo by Markus Winkler on Unsplash
Tidak ada seorangpun yang mengharapkan perpisahan, begitu pula saya. Namun justru melalui perpisahan itulah, saya mulai membuka mata dengan lebih lebar dan memiliki kesadaran baru bahwa ada banyak orang yang peduli pada saya di masa-masa terpuruk itu. Meskipun awalnya tidak mudah, saya belajar untuk mengakui kerapuhan dan kesedihan saya di depan mereka (and it's a good thing!). Jujur saja, awalnya saya takut kalau mereka akan men-judge begitu saja (memang ya, terbiasa menjadi "kuat" itu melelahkan). Ternyata hal itu tidak terjadi. Bahkan melalui kehadiran mereka, saya belajar untuk mensyukuri setiap kenangan yang kami buat karena merekalah orang-orang yang Tuhan kirimkan untuk menguatkan saya agar dapat move on.
Salah satu contohnya terjadi beberapa waktu yang lalu. Saya sempat memiliki masalah dengan seorang teman yang sukses membuat saya menangis (dan ya, saya menangis lagi waktu menuliskan bagian ini. Kayaknya karena mata saya kena S*fe Care). Kalau dulu ada orang yang bisa langsung jadi tempat curhat saya, sekarang saya harus berpikir mau menceritakannya kepada siapa. Saya bersyukur karena setidaknya ada dua orang yang bersedia untuk saya telepon di malam hari, dan dua orang lainnya yang membaca random chat saya di waktu yang bersamaan. Ada dua respons yang cukup menemplak (sekaligus menghibur) saya waktu itu:
"Cik, di sini kamu bukan sedang mengonseling orang lain. Nggak apa-apa kalau kamu mau nangis, Cikkk..." (yaps, saat ini saya sedang berkuliah lagi di jurusan konseling di salah satu STT di Jakarta)
(setelah membaca rangkuman dari permasalahan saya, beliau mengirimkan sebuah slide yang belum ditampilkannya pada webinar yang disampaikan dua hari sebelumnya (dan yang memang saya butuhkan pada saat itu)) "Saya percaya kamu pasti bisa menyelesaikannya dengan baik! Semangat, Tabi!"
Kedua respons tersebut membuat saya teringat pada beberapa ayat ini:
"Sengsaraku Engkaulah yang menghitung-hitung, air mataku Kautaruh ke dalam kirbat-Mu. Bukankah semuanya telah Kaudaftarkan?" - Mazmur 56:8
Meskipun saya belum menceritakan uneg-uneg saya pada orang lain, nyatanya Tuhan tahu. Pemazmur menggambarkannya dengan sangat indah di Mazmur 139 (salah satu mazmur favorit saya). Sebagai Allah yang Mahahadir, Dia ada bersama saya—bahkan di saat saya justru menganggap sebaliknya. Oke, mungkin ini kalimat yang paling tidak ingin didengarkan oleh orang yang sedang berduka karena kesannya terlalu klise. Tapi bukankah kehadiran mereka yang memberikan ruang untuk berduka adalah sebuah berkat tersendiri?
Kembali pada pergumulan move on yang saya alami. Selain menanamkan value hidup yang selama ini hanya saya ketahui secara kognitif, Tuhan juga memampukan saya untuk membagikannya kepada orang lain. Kalau dulu saya seolah-olah hanya membahasnya sebagai sesuatu yang "ya-harusnya-kamu-itu-gini-gitu-atuh", sekarang saya belajar untuk berempati kepada mereka dan (semoga saja) tidak lagi mencoba menggurui. Misalnya saja saat ada yang bergumul tentang kelanjutan relasinya; saya memberikannya kebebasan untuk memilih keputusannya (bukannya memaksakan keinginan saya). Well, karena setiap orang memiliki prosesnya masing-masing, kan—khususnya ketika harus mempertanggungjawabkan pilihannya terhadap sesuatu? Lagipula, Paulus pernah berkata, "Allahlah yang memberikan pertumbuhan." Mungkin ini juga yang perlu kita tanamkan dalam kesadaran kita: setiap karya yang kita buat hanyalah sarana bagi Allah untuk mendewasakan orang lain—selama hal itu memang sesuai dengan kehendak-Nya.
Photo by Daniel Schaffer on Unsplash
Tidak apa-apa jika saat ini kita sedang ingin meratap. Mungkin ada hal-hal yang kita pendam sejak lama, lalu justru muncul begitu saja ketika ada peristiwa yang memicunya. Kalaupun sudah tidak sanggup lagi untuk menahannya sendirian, kita perlu mencari bantuan (bisa kepada teman, kakak rohani, konselor, atau bahkan ke psikolog jika fungsi hidup kita sudah terganggu). Iya, meminta pertolongan bukanlah tanda bahwa kita lemah, tapi justru menunjukkan bahwa kita membutuhkan orang lain untuk menjadi support system (khususnya ketika sedang menghadapi pergumulan hidup yang memang tidak bisa diatasi sendirian). Ada kalanya pula kita hanya ingin didengarkan agar pikiran kita terasa ringan (bahasa kerennya itu katarsis), and it's okay. Siapa tahu, apa yang kita alami ternyata bisa menjadi berkat bagi orang lain setelah kita mengolahnya dan mempelajari sesuatu darinya.
Sebagai penutup, saya ingin membagikan sebuah encouragement yang disampaikan oleh Pnt. Keshia Hestikahayu Suranta:
"Selamat ditempa untuk jadi semakin matang dan dewasa ya, Dear...
'Tenangkan hati, semua ini bukan salahmu. Jangan berhenti, yang kau takutkan tak 'kan terjadi'
Kuat, yaa... Setelah ini, kamu akan makin matang, aku yakin. Tuhan sedang menempamu supaya kamu jadi berkat untuk seseorang nantinya. God be with you, dear "
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: