Langkah kecilnya menyusuri trotoar. Gadis itu tampak lihai berjalan dengan sepatu hak tinggi 9 cm di tengah kerumunan orang yang baru saja pulang kerja. Raut wajahnya tampak lelah, namun matanya yang sayu tetap dipenuhi harap akan segelas coklat hangat yang akan diminumnya setelah sampai di kost.
Satu hari telah berlalu di tahun ke-25nya. Ya, kemarin adalah hari ulang tahunnya. Tidak lama kemudian dia menghentikan langkah, mengangkat telepon dan melambaikan tangan ke arah mobil hitam yang akhirnya berhenti di depannya. Dia membuka pintu mobil dan menjatuhkan diri di kursi penumpang.
Lampu notifikasi di handphonenya menggoda untuk membuka chat yang sudah ada ratusan jumlahnya yang kebanyakan dari grup teman SMA dan keluarga. Dengan enggan dia membuka salah satu chat teratas, dari Irina sahabatnya:
Irina: Van, si Indra tanya tentang kamu ke kak Bima.Kayaknya dia beneran naksir kamu dehhh…
Vanny, nama gadis itu. Tanpa ekspresi dia membalas chat itu:
Vanny: Deuh, Rin, jangan mulai deh. Inget nggak kejadian tahun lalu waktu kamu bilang si anu naksir aku ternyata jadiannya sama orang laen?
Irina: Iya sih. Tapi kan yang ini beda, Van. Kali ini beneran.
Vanny: Iya, Rin, makasih btw infonya. Aku nggak mau berharap apa-apa. Bisa jadi itu cuma asumsimu doang.
Irina: Duh, kamu masih trauma sama kejadian tahun lalu?
Vanny: Bukan trauma, tapi belajar dari pengalaman.
Irina: Apa bedanya coba?
Vanny: Trauma tuh nggak mau terbuka sama siapun. Kalau aku masih terbuka kok, siapa pun yang mau masuk. Cuma ya emang nggak mau sembarangan aja. Udah lah. Malam ini mau makan apa kita? Aku 30 menit lagi sampe.
Vanny menutup layar handphonenya dan mengalihkan pandangan keluar jendela. Lampu-lampu jalanan menembus kaca mobil dan menerangi wajahnya. Adzan maghrib berkumandang dan jalanan kota Surabaya tambah macet. Suara penyiar radio samar-samar terdengar lalu mengumandangkan lagu yang tidak pernah dia dengar sebelumnya. Lagu indie.
Vanny suka mengamati langit dan wajah orang-orang. Sayang sekali malam ini mendung. Tidak ada semburat jingga di atas sana. Ada banyak wajah-wajah yang lelah di jalanan yang rindu untuk pulang ke pelukan orang tersayang. Vanny bertanya di dalam hatinya, apakah orang-orang yang banyak ini pernah sungguh-sungguh mengalami apa itu yang namanya cinta? Apakah cinta bagi mereka sama seperti yang dikatakan di film dan sinetron? Ataukah hanya dirinya di dunia ini yang masih belum pernah merasakan cinta?
Gadis itu menarik nafas panjang. Lalu rintik hujan turun menjatuhi jendela mobil dan mengaburkan pandangan. Entah mengapa suasana hatinya begitu sendu. Dia tahu Irina pasti telah membalas pesannya, namun dia enggan membaca. Sahabatnya itu akan menikah dua minggu lagi dan merasa bersalah melihat dirinya yang sudah seperempat abad tapi belum juga punya gandengan. Aneh, katanya.
Ia tak paham apa yang salah, padahal dia juga masih suka laki-laki. Tidak ada kejadian buruk yang membuatnya tidak ingin segera pacaran. Keluarganya pun termasuk keluarga yang harmonis. Tapi entahlah, menjalin hubungan dengan lawan jenis seperti sesuatu hal baru yang ada di luar jangkauannya.
Suara klakson saling sahut-menyahut. Hujan membuat macet semakin menjadi. Vanny membuka pesan dari Irina, dia bilang malam ini tidak mau makan, karena gaun pengantinnya sudah menunjukkan tanda-tanda kekecilan. Segaris senyum timbul di bibirnya. Cinta bahkan bisa membuat orang tidak ingin makan dan tetap bahagia. Vanny bertanya-tanya di dalam hatinya, diantara jutaan manusia di luar sana, apakah ada seseorang yang nantinya akan mencintainya? Seperti David yang mencintai Irina; sepasang kekasih yang sangat serasi di mata Vanny.
Membaca buku I Kissed Dating Goodbye membuat Vanny terinspirasi untuk tidak menjalin relasi pacaran yang main-main. Itulah yang membuat dia menunggu orang yang tepat di waktu yang tepat, yang saat ini rasanya seperti seumur hidup. Sempat merasa dekat dengan beberapa orang, namun hanya berakhir dengan prasangka karena tidak ada kemajuan apa pun. Gadis itu mendesah panjang. Meyakini bahwa keputusannya untuk tidak mudah menaruh hati kepada siapa pun adalah keputusan yang tepat. Lima belas menit kemudian, handphone di pangkuannya berdering. Panggilan dari Irina. Dia menatap keluar. “Pak, saya berhenti di depan gang situ aja ya. Yang ada mobil warna putih,” ujar Vanny kepada bapak supir taksi online, yang disambut dengan anggukan.
“Kenapa Rin? Sorry aku ga bales. Hah? Kenapa? Sekarang? Katanya kamu nggak mau makan malam. Ya tapi kan aku belum ngapa-ngapain. Mandi dulu lah. Turun di sini aja Pak. Terima kasih.” Dia pun turun dan langsung berlarian kecil memasuki gang yang penuh dengan genangan air. “Rin, aku udah mau sampe, kumatiin dulu ya.”
Vanny melepas heelsnya dan membiarkan kepalanya terkena rintik air hujan. Dia menatap jari-jari kakinya yang tergenang air hujan, coklat dan pastinya penuh kuman. Langit malam sudah sepenuhnya gelap dan suasana gang itu lumayan sepi; hanya dua orang anak yang berlarian dengan memakai payung hendak mengaji.
Langkah gadis itu berubah menjadi loncatan kecil, mulutnya melantunkan nada-nada yang belum pernah ada, dia bahkan memutar tubuhnya seakan sedang di lantai dansa, lalu dia berhenti menatap langit. Kemudian dimulailah suatu obrolan yang sudah menjadi ritualnya ketika hujan.
“Tuhan aku tidak tau apa itu romansa. Tapi hari ini aku dimarahin bos karena telat membuat laporan yang sebenarnya aku hilangkan. Aku merasa kacau dan tidak berguna. Tapi sekarang, Kau membuatku bahagia hanya dengan air hujan yang memeluk kulitku dan langit malam yang menaungiku…”
Gadis berusia 25 tahun itu merentangkan tangan dan membiarkan wajahnya dijatuhi air hujan, sesungging senyum tidak dapat hilang dari bibirnya. “Apalagi yang bisa aku minta, sedangkan Kau telah memberikan segalanya? Segalanya yang aku butuhkan, aku punya. Dan bagiku itu cukup. Terima kasih, Tuhan. Terima kasih, untuk diri-Mu.” Setelah berbicara sendiri, Vanny membuka matanya dan melanjutkan langkah. Dari kejauhan dia melihat Irina yang sedang melambaikan tangannya. Seperti seorang bocah, Vanny berlari menghampiri sahabatnya itu dengan riang. Selalu ada energi baru yang dia rasakan ketika berbincang dengan Tuhan.
“Haiii, calon pengantin baru, lagi nungguin aku yah??” Vanny berujar dengan senyum lebar, berhenti di depan Irina yang sedang menempelkan handphone di telinganya. Irina mengabaikan Vanny dan tetap menatap ke arah lain, jauh di belakang Vanny. Gadis yang kebasahan itu menatap heran dan mengikuti arah pandang Irina. Dari kejauhan dia melihat ada seorang pria yang tangan kirinya memegang payung dan tangan kanannya mengangkat telepon. Dia adalah Indra, seseorang yang ditelepon oleh Irina.
“Hai Ndra! Iya bener, ini rumahnya. Sini aja!” Irina berteriak sambil melambaikan tangan kepada laki-laki itu. Vanny melongo. Sejak kapan dia ada di sana? Tadi kan dia bertingkah seperti anak kecil tepat di mana manusia bernama Indra itu sedang berdiri. Bahkan lampu teras yang remang-remang membuat siapa pun bisa melihat dengan jelas pipi Vanny yang merah padam karena malu. Dia sedang dalam kondisi yang kacau, rambut basah, makeup hancur, baju yang berantakan dan kaki yang nyeker. Ini bukan suatu kondisi yang dia inginkan untuk dilihat oleh seorang pria yang katanya (masih katanya) ada rasa dengannya. Tidak. Ini pasti halusinasi! Aku tidak siap! Vanny berteriak dalam hati.
Indra berhenti tepat di depan Vanny yang tidak bergeming. Meski saling tatap, mereka tidak tahu apa yang harus dikatakan. “Akhirnya sampai juga ya Ndra, masuk aja dulu sebentar lagi David juga datang,” suara Irina memecahkan keheningan. Vanny mengalihkan pandangannya kepada Irina. “Memangnya mau ada acara apa ya?” Mata gadis itu melotot menuntut penjelasan karena batinnya belum siap apa-apa untuk mencerna kejadian itu. “Kita mau makan malam bareng berempat. Jadi kamu cepet mandi sana.” Vanny berusaha memahami ucapan Irina.
“Tadi aku lihat kamu turun dari mobil, mau aku tawari buat pakai payung bareng. Tapi sepertinya kamu lagi asik, jadi aku nggak ganggu deh,” kata Indra dengan senyum yang tidak bisa ditahan-tahan melihat ekspresi Vanny yang tersipu malu. Tanpa sadar sebuah ‘pertunjukan’ yang dilakukannya telah dilihat oleh orang asing ini. Pasti dia menganggapku orang aneh, batin Vanny.
“Emangnya Vanny asik ngapain?” Irina bertanya. “Jangan bilang kamu ngomong sendirian di tengah jalan lagi??” tanyanya dengan nada meninggi.
“Aduh, basah yah. Oke aku masuk dulu.” Vanny mengumpulkan semua kesadarannya dan berlari memasuki rumah kost. Dia melemparkan sepatunya di rak dan berjalan sembari berjinjit karena kakinya yang basah dan kotor. Indra dan Irina menatap kepergian Vanny dengan menahan tawa.
“Ya, begitulah tingkahnya, Ndra,” ujar Irina, kepada Indra yang masih menatap kepergian Vanny sambil tersenyum.
“Aku sama sekali nggak masalah dengan itu,” kata Indra. Irina mengundangnya untuk duduk di kursi teras dan mereka bersama-sama menunggu David datang.
Di balik pintu ruang tamu berdiri seorang gadis yang kedinginan dan berusaha mengendalikan detak jantungnya. Dia bertanya-tanya, karena jenis emosi itu belum pernah ada sebelumnya. Sepertinya dia hanya perlu melompat kepada sebuah skenario yang dia tahu, Siapa yang menjadi penulisnya.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: