“Kita tidak sehebat itu untuk dapat berjuang sendiri. “
Kalau ditanya hal apa yang paling tidak bisa lakukan, saya akan menjawab dua hal: pertama, menyanyi; kedua, berbicara di depan umum. Namun, dalam rangkaian acara The Journey tahun ini, saya harus melakukan keduanya dalam satu hari.
Diperlengkapi oleh Allah yang tak terbatas
Hari kedua kami awali dengan mengikuti kebaktian di GKI Pos Ciranjang yang berlokasi kurang lebih 30 hingga 45 menit dari GKI Cianjur. Kami membawakan sebuah persembahan pujian berjudul “Bersyukurlah / We Will Give Thanks” dalam empat suara. Sebagian besar dari kami bukan penyanyi paduan suara, dan tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi saya yang kalau menyanyi dalam satu suara saja sudah sumbang. Dalam segala keterbatasan, sungguh tak ada kata lain selain syukur karena pelayanan kami yang kecil dan amatir ini dilayakkan-Nya.
Tim Dokumentasi Acara
Acara kemudian dilanjutkan dengan memberikan penyuluhan cara menyikat gigi dan mencuci tangan yang benar kepada anak-anak di rumah belajar Ciranjang. Saya sebenarnya sudah sering melakukan kegiatan seperti ini semasa pendidikan saya di sekolah kedokteran, hanya saja saya tak pernah berdiri di depan kelas untuk mengajar, dan lebih memilih menjadi orang di belakang panggung yang mendampingi anak-anak secara personal. Maka, menjadi satu pekerjaan rumah yang cukup menantang bagi saya, saat saya harus berdiri di depan—mengajari rekan-rekan pemuda lain terlebih dulu, lalu kemudian berdiri di depan anak-anak dan memberi penyuluhan bagi mereka.
Tim Dokumentasi Acara
Beruntungnya saya punya rekan-rekan luar biasa yang dapat menolong saya. Setiap peserta pemuda mengambil peran aktif dalam kegiatan ini, sebagian membantu memberi penyuluhan dan menghidupkan suasana, sementara sebagian lagi mendampingi anak-anak melakukan praktik di lapangan.
Tim Dokumentasi Acara
Keadaan hampir tak terkendali saat anak-anak menunggu giliran untuk mencuci tangan. Berbagai kado yang kami siapkan untuk kuis-kuis kecil sudah habis dibagikan. Kami pun kehabisan ide untuk mengisi waktu sementara mereka menunggu giliran. Di tengah keriuhan tersebut, seorang anak kecil maju menghampiri saya dan mengatakan bahwa ia mau bernyanyi di depan.
“Tapi hadiahnya udah nggak ada lagi loh, dek”. saya khawatir dia akan meminta hadiah setelah menyanyi. “Nggak apa-apa, saya nyanyi aja”, jawabnya. Selesai anak itu menyanyi, beberapa temannya yang lain pun ikut rebutan ingin menyanyi walau tak mendapat hadiah. Antusiasme tengah hari itu sungguh menjadi penyelamat kami dari suasana yang nyaris tak terkontrol, membuat saya kembali teringat sharing Pdt. Hendra malam sebelumnya, bahwa kita tak sehebat itu untuk berjuang sendiri.
Tim Dokumentasi Acara
Setelah makan siang bersama, acara dilanjutkan dengan amazing race bersama anak-anak rumah belajar. Para peserta pemuda dibagi ke dalam kelompok bersama anak-anak dan bermain di berbagai pos yang telah disediakan. Permainan yang kami siapkan begitu sederhana—permainan yang sudah tentu akan membosankan jika dimainkan oleh rekan pemuda, namun keseruan dan antusiasme yang ditunjukkan oleh anak-anak rumah belajar membuat kami ikut terlarut di dalamnya. Teriakan-teriakan untuk membantu rekan satu tim meraih kemenangan mengudara—tak peduli kami baru mengenal satu sama lain hari itu.
Tim Dokumentasi Acara
Ketika acara usai, saya pulang dengan sebuah kesadaran, bahwa sesungguhnya bukan kami yang melakukan sesuatu bagi anak-anak tersebut, melainkan merekalah yang memberi sesuatu bagi kami—sebuah semangat yang mengatakan bahwa, kami bisa!
Baca Part 03:
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: