Sebagai gereja, maka sudah seharusnya kita membuka mata akan permasalahan di negeri ini dan tak gentar menyuarakan kebenaran. Satu syarat saja untuk menjalaninya: siap menerima penderitaan.
Anda pasti mengenal Basuki Tjahaja Purnama. Ia adalah Gubernur DKI Jakarta yang menjabat sejak 19 November 2014 hingga 9 Mei 2017. Ahok, panggilan akrabnya, memang sensasional. Pria itu tidak pernah luput dari perhatian massa, bahkan ketika beliau sudah tidak lagi menjabat. Hal tersebut terjadi bukan tanpa alasan. Selain karena kasus penistaan agama yang menimpa dirinya, Ahok juga dikenal masyarakat karena sikapnya yang bersih, transparan, dan profesional. Karena sikapnya itu, tak jarang beliau mendapatkan penghargaan. Rosseno Award menjadi bukti. Penghargaan yang diberikan 22 Juli 2019 lalu itu adalah penghargaan ke-15 bagi Ahok. Rosseno Award diperuntukkan bagi peneliti dan tokoh Indonesia yang memberi inspirasi atas karya, kegiatan, dan semangat dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, budaya, atau sosial humaniora.
Salah satu peristiwa yang pernah menyita perhatian publik yakni soal kisruh anggaran antara Ahok dengan DPRD DKI. Di awal Januari 2015, Ahok menerima pengajuan anggaran Rp 8,8 triliun dari DPRD DKI. Anggaran sebesar itu ditujukan untuk sosialisasi Surat Keterangan (SK) Gubernur. Ahok geram melihat keganjilan kegiatan tersebut. Kegeraman Ahok diperparah ketika dana yang diajukan untuk penyelenggaraannya amatlah besar. Tak tanggung-tanggung, Ahok melingkari sejumlah anggaran dengan pena warna hitam, lalu beliau menulis, "Pemahaman nenek lu!" dan memberi paraf di bawah tulisan itu. Tiga kata tersebutlah yang kemudian viral dan diingat oleh banyak orang sampai saat ini. Itu menjadi simbol perlawanan dari seorang Ahok. Beliau telah melawan arus, dan berani menjadi berbeda dari yang lain.
Belajar dari Yeremia
Pengalaman Ahok tersebut mengingatkan kita akan kisah Nabi Yeremia (Yer 23:22-29). Dia hidup di antara bangsa Yehuda yang dipenuhi oleh kehadiran para pemimpin agama dan nubuatan palsunya. Ada dua pilihan bagi Yeremia: diam atau bertindak. Melihat ketidakberesan itu, Yeremia terdorong untuk menyampaikan murka Allah dan penghukuman-Nya bagi para nabi palsu. Dia memilih untuk tidak diam. Tentu saja itu merupakan pilihan yang sulit dan beresiko, bukan hanya karena para nabi palsu itu adalah rekan kerja Yeremia, tapi karena Yeremia "kalah" secara kuantitas jika dibandingkan dengan nabi-nabi palsu.
Sekarang kita tarik pengalaman itu pada konteks saat ini.
Seperti yang kita tahu, bulan Agustus dikenal sebagai Bulan Kemerdekaan. Pada 17 Agustus 2019, kita akan merayakan peringatan HUT ke-74 Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut saya, memperingati hari kelahiran bukan melulu tentang prospek dan tujuan apa yang akan dicapai ke depan; sebaliknya, momentum itu dapat menjadi ajang untuk kita melihat ke "belakang".
Kisah Ahok di atas menjadi sebuah kisah bahwa masih banyak permasalahan di Indonesia. Ada praktik korupsi yang masih menjadi masalah klasik, maupun berbagai narasi politik identitas yang terus digaungkan hingga menimbulkan perselisihan bahkan perpecahan, dan mungkin banyak dari kita yang bisa menyebutkan contoh-contoh riil lainnya. Itu menjadi segelintir bukti yang menunjukkan bahwa Indonesia belum siap mencapai keunggulan.
Panggilan Gereja
Quo vadis, gereja?
Pertanyaan tersebut menjadi pertanyaan reflektif kita. Editorial letter bulan ini, dengan sangat apik, menandaskan, “Gereja itu orangnya, bukan sekadar menara maupun gedungnya.” Pemaknaan itu juga menunjukkan bahwa sudah seharusnya gerak gereja—sebagai persekutuan—tidak dibatasi oleh dinding bangunannya. Kita harus berani ke luar: Melintasi tembok gedung gereja dan menatap realita kehidupan sekitar kita. Lalu, fenomena seperti apa yang akan kita dapati? Kemiskinan, ketidakadilan, ketidaksetaraan, kehancuran, dan lain sebagainya. Yeah, it's real, guys.
Tidak berhenti di situ, ada banyak kisah inspiratif dari berbagai tokoh yang melakukan hal serupa; misalnya Sidharta Gautama, Aloysius Luigi Gonzaga, dan Bunda Teresa. Ketiganya memutuskan untuk ke luar dari "istana" dan meninggalkan kehidupan nyaman masing-masing. Apa yang mereka dapatkan? Justru di luar sana, Gautama menemukan makna dari kehidupan ini dan mencapai pencerahan. Begitu pula dengan Gonzaga dan Teresa yang justru menemukan panggilan hidup mereka, serta menyadari bahwa hidup ini sejatinya untuk memancarkan citra Kristus bagi kaum miskin dan papa.
Penderitaan sebagai Konsekuensi
Berkaca pada ulasan di atas, maka sudah seharusnya kita—sebagai gereja—membuka mata terhadap permasalahan di bangsa ini dan tak gentar menyuarakan kebenaran. Kita "hanya" memerlukan satu syarat untuk menjalaninya: siap menerima penderitaan. Ya, itu menjadi konsekuensi yang logis dari tindakan kebenaran, apalagi ketika kita harus menghadapi banyak "musuh" untuk berdiri di atasnya. Tak jarang kita mengurungkan niat baik dan benar karena takut untuk "melawan arus". Kita membiarkan diri "terhanyut" dalam arus yang salah.
Hai, gereja! Mungkin saat ini kita ragu-ragu untuk terjun langsung dan berhadapan dengan orang-orang yang membenci kita karena kebenaran yang kita perjuangkan. Namun ingatlah bahwa Yesus mengutus kita seperti anak domba ke tengah-tengah serigala (Lukas 10:3). Dia menggunakan perumpamaan ini karena anak domba adalah binatang yang lemah dan tidak memiliki kekuatan. Diterkam oleh serigala dan kemudian mati tentu menjadi risiko terbesar yang harus dia hadapi. Lalu, bagaimana mungkin Yesus tetap mengutus tujuh puluh muridnya itu? Hanya ada dua pilihan untuk selamat: Menyamar sebagai serigala sehingga kumpulan karnivor itu tidak tahu kalau kita adalah domba, atau kita memilih tidak masuk ke dalam sekumpulan serigala itu.
Ternyata Yesus memberikan jawaban atas kegelisahan itu. Perintah “pergilah” (hupago) dalam Lukas 10:3 dapat dimaknai "to lead away under someone’s authority". Artinya, kita tidak berjalan sendiri. Allah terus beserta dengan kita sebagai otoritas yang tertinggi, karena Dialah Imanuel. Oleh karena itu, Injil kerap kali menarasikan Yesus sebagai gembala. Sekalipun berada di tengah kerumunan serigala, anak domba yang lemah dan tak memiliki kekuatan itu akan aman bersama Sang Gembala Agung. Jika Tuhan bersama dengan kita, maka seharusnya kita tidak takut dan gentar termasuk ketika kita menyuarakan kebenaran di negeri ini.
“Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang kamu berikan kepada negaramu!” – John F. Kennedy.
Mari kita mengisi kemerdakaan ini dengan hidup dalam standar kebenaran dan integritas yang tertinggi, serta berani bertindak menyuarakan kebenaran sebagai respons atas keselamatan. Dari situ, akan ada harapan untuk terciptanya Indonesia yang lebih unggul.
Bergeraklah, karena Kristus memampukan kita!
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: