Putus: Sebuah Pembuka di Tahun Baru

Best Regards, Live Through This, 18 May 2019
Toh, Dia juga yang menciptakan segala momen dalam hidup kita, termasuk mengizinkan kita merasa pedih karena sebuah kegagalan, penundaan, atau, dalam kisah saya, perpisahan.

Masih semarak perayaan tahun baru. Setiap orang membicarakan resolusi dan mulai bermimpi untuk menggapainya di tahun yang baru. Semua orang bersukacita dan bersyukur memasuki ratusan hari dengan judul “2019” dengan segala kemungkinan yang masih jadi misteri

“Apa yang kamu syukuri memasuki tahun 2019 ini?”

Pertanyaan yang sangat menusuk bagaikan asam yang mengena di hati yang luka. Ingin rasanya mengumpat karena saya tidak mampu bersyukur saat itu. Dengan wajah ceria dan senyum yang dipaksakan saya coba berbicara di depan kamera, “Bersyukur untuk kesempatan dan fase hidup yang baru.”

Ya, fase hidup yang baru yang dimulai dengan air mata.

Pagi hari di Minggu Epifani, saya merasa tidak sanggup bangun. Begitulah saya jika kepalang bersedih dan stress. Gejala hipersomnia mulai melanda. Sepanjang hari saya tidak memiliki gairah. Sedikit-sedikit menangis, apalagi ketika mandi agar tidak ada orang rumah yang tahu betapa sakitnya hati ini. 

Persis di hari sebelumnya, kami harus putus.

image.png

Hari kemarin bagaikan mimpi indah. Kami tahu bahwa kami akan berpisah, tapi kami memanfaatkan hari, berdua saja di taman bermain sebagai tanda perpisahan. Perpisahan dan perubahan status kembali sebagai teman.

Semua orang bertanya, “Kok bisa? Karena LDR (Long Distance Relationship)?” Saya juga bertanya, “mengapa harus begini, Tuhan?” Walaupun momen ini sudah diantisipasi sejak kami mulai berpacaran dengan segala keadaan yang ada, tapi putus dan patah hati itu tetap sakit rasanya.

Ada sedikit perasaan tidak berharga dan sia-sia dalam menjalani hubungan ini. Saya merasa sakit hati dengan penilaian ibunya yang menyinggung pribadi dan membuat hubungan kami berakhir. Mau tak mau mulai muncul rasa sesal karena dilahirkan sebagai anak sulung dari seorang janda yang sudah pensiun. Sudah dua belas tahun, ayah saya pergi ke pangkuan Bapa dan kami merasakan naik-turun kehidupan keluarga yang timpang. Ya, toxic itu juga hadir dalam kepala, walaupun hanya bertahan beberapa hari karena saya berusaha bangkit.

Sampai hari ini, saya berusaha bangkit walaupun pelan-pelan, ditemani oleh para sahabat baik yang seiman atau tidak. Saya mulai bisa sedikit bersyukur dalam beberapa hal dan mengingat bekal-bekal Firman Tuhan yang membuat saya sedikit mampu untuk bangkit, walaupun baru berlutut (belum sampai berdiri). Terdengar klise, tapi itu yang saya rasakan.

image.png


Tak Ada yang Abadi

“Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya. Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal. Ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap; ada waktu untuk menari. Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir.” (Pengkhotbah 3: 1-2, 4, 11)

Ya, segala sesuatu ada waktunya. Karena perikop inilah, saya belajar untuk mengatur ekspektasi saya terhadap segala sesuatu dan bersabar ketika menghadapi momen tidak menyenangkan dalam hidup.

Pacar belum tentu menjadi suami, walaupun sudah berjuang sedemikian. Bahkan ketika menjadi pasangan dalam pernikahan, seseorang (entah istri atau suami) juga tidak akan selalu ada selamanya. Karena semua ada waktunya, sejak memulai masa berpacaran, kami sudah menyiapkan diri kami tentang segala kemungkinan. Orang tuanya setuju dan kami menikah, atau orang tuanya tetap tidak memberi restu walaupun sudah berusaha dan kami harus putus.

Alkitab sendiri menyatakan akan ada waktunya masing-masing momen dalam hidup. Cara berpikir “Tak ada yang abadi” itu yang membuat kami proaktif untuk segala kemungkinan dan mengusahakan segala sesuatu yang ingin dicapai. Waktu adalah misteri. Ia adalah bagian dari pekerjaan Allah yang tak terselami oleh siapa pun, tapi Ia membuat segalanya indah pada waktunya.

image.png

Di kanan Kau ada
Di kiri Kau ada
Di atas dan di bawah Kau ada
Di suka Kau ada
Di dukaku Kau ada
Karena Engkaulah Yesusku

Lagu sekolah minggu ini dapat menjadi ilustrasi dari perenungan Mazmur 139 dan penghibur hati yang luka, terlepas melihat lirik lagu secara keseluruhan dalam pengertian harafiah atau simbolik. Dalam keadaan sedih, enggan mengerjakan apa-apa, dan bahkan menyalahkan Dia dalam momen tidak menyenangkan ini, Dia tetap ada. Toh, Dia juga yang menciptakan segala momen dalam hidup kita, termasuk mengizinkan kita merasa pedih karena sebuah kegagalan, penundaan, atau, dalam kisah saya, perpisahan.

Kembali Menjadi Single

Berkali-kali dalam buku dan artikel Kristen, termasuk juga yang pernah ditulis di IGNITE ada beberapa step yang harus dilakukan sebelum seseorang siap memulai hubungan. Salah satunya adalah menjadi pribadi yang utuh dalam Kristus. Identitas hidup bukan sekadar ditentukan dari status dan keputusan-keputusan single, in relationship, break up, engaged. Saat saya harus putus, perasaan sedih itu pasti ada, tapi tidak ada ketakutan untuk kembali single.

Ada beberapa perbedaan dan penyesuaian pastinya antara menjalin relasi spesial dengan seseorang dan menjadi jomblo. Namun, satu hal yang tetap sama, lakukanlah semuanya itu untuk Allah dan dalam koridor kebenaran-Nya. Bagi beberapa orang, yang merasa identitasnya sangat ditentukan oleh punya pacar atau tidak, kemungkinan besar akan ingin segera mencari pengganti kekasih yang berubah menjadi sosok pelarian dan ajang balas dendam.

image.png


Sebaliknya dengan apa yang terjadi, ajang balas dendam bagi saya berubah menjadi ajang untuk mengupgrade diri. Masih dalam situasi Tahun Baru, saya diingatkan dari Filipi 3: 13,

“Saudara-saudara, aku sendiri tidak menganggap, bahwa aku telah menangkapnya, tetapi ini yang kulakukan: aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku.”

Di tengah rasa rendah diri yang saya alami, saya tidak mau jalan di tempat, tapi maju dan bergerak menghadapi tahun 2019. Ketika orang-orang muak dengan resolusi, saya harus semangat membangun resolusi dan menyusun strategi untuk mencapai resolusi-resolusi tersebut.

Apa yang telah berlalu tidak hanya menjadi kenangan, tapi juga pembelajaran dalam menyongsong masa depan. Jika memang harus putus karena latar belakang yang tidak dapat mereka terima, paling tidak saya menerima dan sudah berdamai dengan latar belakang dan diri saya sendiri.

image.png

Siapa sangka, pengalaman ini juga mengajarkan saya bagaimana memperlakukan orang lain dengan lebih baik yaitu dengan menginsyafi bahwa tidak pernah ada orang yang bisa memilih lahir di latar belakang keluarga seperti apa, tapi Kasih Allah adalah hal utama yang memengaruhi bagaimana kita menjalani hidup. Dan menurut saya inilah yang lebih penting dan sedang saya coba. Sebuah cara menjalani hidup yang tidak terkekang oleh stigma identitas tertentu namun mengusahakan yang terbaik, untuk menjemput masa depan.

Baca juga:

Penantian Masa Lajang

Hal-hal yang Kulakukan di Masa Single

Menghadapi Perpisahan dan Patah Hati

LATEST POST

 

Hari ini, 10 November, adalah Hari Pahlawan. Sebagai orang Kristen kita juga diajak untuk meneruskan...
by Christo Antusias Davarto Siahaan | 10 Nov 2024

Akhir Oktober biasanya identik dengan satu event, yaitu Halloween. Namun, tidak bagi saya. Bagi saya...
by Immanuel Elson | 31 Oct 2024

Cerita Cinta Kasih Tuhan (CCKT) Part 2 Beberapa bulan yang lalu, saya mengikuti talkshow&n...
by Kartika Setyanie | 28 Oct 2024

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER