Banyak orang merasa mengenal diri mereka masing-masing, namun tidak benar-benar mengenal diri mereka dengan benar.
Bulan Desember tahun lalu (yes, ini udah tahun 2018 lho) saya dan teman-teman pergi ke SAAT (Seminari Alkitab Asia Tenggara) Malang untuk mengikuti Youth Camp dengan berbagai kegiatan seru dan alkitabiah yang telah kami lakukan. Okey langsung saja biar gak kepanjangan. Hehehe…
Tanpa bermaksud membuka luka lama, wafatnya Chester Bennington (mantan vokalis Linkin Park) dan Jonghyun SHINee membuktikan bahwa: banyak orang merasa mengenal diri mereka masing-masing, namun tidak benar-benar mengenal diri mereka dengan benar. Kedua orang tersebut adalah para public figure. Harta, popularitas, dan jaminan masa depan dimiliki oleh mereka. Namun kenapa mereka malah memilih untuk mengakhiri hidupnya?
Daripada berspekulasi lebih lanjut, mari kita throwback ke zaman nabi-nabi. Alkisah ada seorang nabi yang bernama Yeremia. Siapa dia? Dia tidak terlalu terkenal, namun Dia dikenal oleh Penciptanya.
“Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa.” (Yeremia 1:5)
Ayat ini dibacakan pada malam pertama (“The Appointed One” oleh Pdt. Rahmiati Tanudjaja). Ibu Rahmiati menekankan kepada tiga hal, yang juga akan menjadi tiga bagian dalam artikel kali ini, yaitu: Dikenal, Dikuduskan, dan Diutus (3D). Setiap bagian akan saya awali dengan bait satu, dua, dan Chorus dari salah satu lagu tema SYC 2017 “The Appointed”, karangan Tazia Legrans.
Credit: Panitia Dokumentasi Acara SYC 2017
1. Dikenal
“Before You formed my life, You knew me
And before I was born, You set me apart
Before the world was made, You had chosen me
O LORD, You are the Master of my life”
Saya jamin, setiap kita pasti pernah minder. Merasa diri sendiri inferior dan tidak dapat melakukan apa-apa. Tidak memiliki tujuan hidup, bahkan kalau mati sekarang pun juga tidak akan ada masalah. Hal ini disebabkan oleh karena kita tidak berusaha untuk mengenal diri dengan baik. Lalu, bagaimana caranya mengenali diri dengan baik? Reformator keren bernama John Calvin menyatakan,”Tanpa pengenalan akan Allah, tidak ada pengenalan akan diri.”
Om Calvin benar, karena selama ini seringkali kita: (1) merasa diri bodoh dan tidak berbakat, (2) mencoba menjadi orang lain kemudian kelelahan, (3) merasa Tuhan itu jahat dan tidak mensyukuri segenap pemberian-Nya dalam hidup kita.
Kita kemudian menjalani kehidupan hanya sebagai sebuah formalitas dan rutinitas, bukan lagi manusia tetapi sudah menjadi mayat hidup. Tak ada semangat, seakaan hari depan telah sirna ditelan kegelapan. Hal ini digambarkan dalam Yehezkiel 37:1-14. Ayat ini dibacakan pada malam kedua (“Let There be Life” oleh Pdt. Hari Soegianto). Cak Lontong Pak Hari menganalogikannya dengan kertas yang telah berlubang dan tidak sempurna. Namun setelah dipermak, kertas tersebut dapat menjadi karya seni yang indah. Sama dengan hidup kita, Allah pencipta manusia pasti mengenal diri kita bahkan lebih dari kita sendiri. Seberapapun kotor dan berdosa masa lalumu, Tuhan yang akan ubahkan. Sebab Dia mengenal dan peduli pada-Mu.
Photo by Ben White on Unsplash
2. Dikuduskan
“When I am frail and weary, You strengthen me
And when I cannot speak, Your spirit speaks for me
When troubles shake my faith, You deliver me
O LORD, Your love is forever in my life”
Lalu bagaimana jika kita sudah mengangkat tangan bahkan menangis deras saat KKR, aktif pelayanan di gereja, namun tetap saja menonton film pornografi, mabuk-mabukan, mencontek, berbohong, ataupun mencuri uang teman? Sebelum kita menghakimi sesama kita, hendaknya kita melihat bahwa kita juga manusia berdosa yang ditebus melalui darah-Nya yang begitu berharga. Tiap tetesan mata pertobatan kita tidak akan melebihi tetesan darah Yesus Kristus di atas kayu salib, di Kalvari.
Mau bukti? Kita throwback lagi deh ke zaman Antiochus IV Epiphanes. Dia adalah raja Yunani yang mengorbankan babi di bait Allah. Itu suatu kenajisan! Bangsa Israel murka! Kenapa? Karena saat itu bertemu Allah sangatlah sulit, dan jika didapati kita berdosa dan salah memberikan korban sembelihan, kita akan dihukum, bisa saja langsung mati.
Latar belakang budaya dan politik yang diwarnai beberapa kosa kata Ibrani disampaikan pada pagi kedua (“The Prophet’s Apprentice” oleh Pdt. Kornelius Kuswanto). Intinya, kalau kita tidak memandang Allah sebagai Allah yang kudus, kita bahkan menjadi tidak peduli seberapa rajin melakukan dosa. Namun ketika kita mengenal Allah yang kudus, dosa kecil sebenarnya layak menjadi bukti Allah untuk membinasakan kita.
Namun, Allah tidak pernah berhenti untuk mengasihi kita meskipun kita jarang mengasihi-Nya. Dalam sesi pagi ketiga (“77.7 SAAT FM: Frequency of the Messiah” oleh Bung Billy feat. Rev. Richard J.K. & Pdt. Andreas Hauw) disampaikan bahwa bagaimana para nabi terdahulu menyampaikan nubuat akan kedatangan Mesias. Selain Foretelling (menyampaikan ramalan), para nabi juga Forthtelling (menyampaikan kehendak Tuhan, kebanyakan sih supaya Bangsa Israel bertobat dari perzinahannya terhadap ALLAH). Akhirnya dosa kita ditebus melalui salib yang membuat Dia mati, namun juga bangkit. Begitupun hidup kita, mati bagi dosa dan hidup untuk Tuhan.
Photo by Jussara Romão on Unsplash
3. Diutus
“I will not be ashamed for You are the truth
I will not be afraid for You’re holding my hand
I will not give up, and forget Your great love
I want to be Your servant
Standing here and declaring Your Words”
Lalu setelah dikuduskan, kita harus ngapain? Kita diutus Allah untuk menjadi patokan kebenaran ditengah arus dunia yang makin liberal dan sakkarepe dewe (semaunya sendiri). Kita harus bisa menjadi Amos yang diibaratkan Tuhan sebagai tali sipat yang menentukan lurus tidaknya sesuatu. Ketika kelaparan dan bencana alam datang, anak-anak Allah siap menjadi garda yang paling depan. Ketika ada hukum yang diselewengkan, anak Allah siap bersuara dengan bijak. Ketika anak Allah jatuh dan melakukan kesalahan, hendaknya kita bertobat dan tidak mengulanginya, supaya nama Tuhan tidak dipermalukan (“Thus Saith the LORD” oleh Pdt. Martus A.M.).
Namun tidak berhenti disitu, Tuhan Yesus juga menyampaikan amanat agung melalui Alkitab. Kabar baik harus kita sampaikan hingga ke ujung bumi, sehingga makin berkurang orang yang bunuh diri, frustasi, dan hidup dalam dosa. Salah satu video yang disampaikan pada sesi pagi keempat, mengetuk hati dan membuat saya menangis. “Maukah engkau, berdoa semalam-malaman, demi satu jiwa yang belum mengenal Kristus?” (“The Living Light” oleh Ev. Ria Pasaribu & Ev. Nanik)
Photo by Marc Scaturro on Unsplash
Tiap orang berbeda, tidak semua menjadi hamba Tuhan dan segala pekerjaan dipandang Tuhan sama asalkan dilakukan dengan sungguh-sungguh dan Soli Deo Gloria. Jangan seperti Yunus yang menolak pergi ke Niniwe dan malah pergi ke Tarsis. Ketika kita sudah memilih untuk bertobat, berbalik dari hidup yang lama ke hidup yang baru, kita harus tetap setia. (“Thus Does the Human” oleh Ev. Tan Kian Guan). Ada teman-teman dalam komunitas gereja yang menguatkan, apalagi Tuhan yang mahahadir dan siap mendengarkan curhatan kita kapanpun dan dimanapun.
Penutup
Setelah bertobat dan terus berjuang dalam kekudusan hidup, kita bisa bertumbuh melalui saat teduh, membaca alkitab tiap hari, ataupun mengikuti komsel dan meminta seseorang yang lebih dewasa secara rohani untuk membimbing kita menjadi murid Kristus yang setia. Karena kita telah merasakan kedahsyatan kasih dan kesetiaan Allah, kita pantas membalasnya (meskipun tidak akan pernah setimpal) dengan pelayanan yang hidup (jangan dibalik).
Kita bisa menggali zaman ini, melayani kaum muda (“Understanding Kids Zaman Now” oleh Febriyanto Tayoto & Abel Kristobel) dan mengenalkan kasih Kristus pada mereka (“Ministering Kids Zaman Now” oleh Pdt. Hari Soegianto & Carmia Margaret). Kita bisa berperan serta dalam menjaga perdamaian dunia (“Ease of Peace” oleh Pdt. Ferry Mamahit) dan mulai mengkuduskan waktu ibadah tiap minggunya, memuji Allah senantiasa (“Riches of Rhytms” oleh Ev. Carolien E. Tantra).
Sebagai anak muda yang sering jatuh dan salfok pada masalah percintaan, kita mengerti bahwa Alkitab mengatakan cinta itu kudus, bukan soal hawa nafsu (“The Mythology and Pathology of Love” oleh Pdt. Budimoeljono Reksosoesilo dan Ev. Ratnajani Muljadi). Dan seberapa dunia menekan kita dengan etika kerja ataupun sistem dunia, kita tetap menjadi garam dan terang yang makin bercahaya dari hari ke harinya, menjadi yang berdampak bagi dunia ini (“Better in Bitterness” oleh Pdt. Martus A.M. & Ibu Aileen P. Mamahit).
Credit: Panitia Dokumentasi Acara SYC 2017
Drama pada malam terakhir menyentuh hati saya. Kita bukan dipanggil untuk sukses pelayanan ataupun membuat komisi remaja pemuda kita berjumlah ratusan. Kita dipanggil bukan untuk menciptakan acara kreatif namun melupakan Alkitab. Kita dipanggil untuk menjadi murid Kristus yang setia, kemanapun dan bagaimanapun Dia mengutus kita.
“Aku diutus bukan untuk menjadi orang sukses ataupun kaya, aku diutus untuk taat dan setia.”
“Thus Sendeth the LORD” oleh Pdt. Benny Solihin
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: