Pendakian sarat makna itu melampaui kebahagiaan dari puncak yang terinjak ataupun foto-foto yang diposting. Pendakian ini mengajarkanku untuk menjadi pribadi yang tahan banting - terus melangkah dalam situasi apapun, dengan caraku sendiri, dan dengan terus berlatih memiliki pikiran dan perkataan yang positif.
Masih teringat jelas bagaimana lelahnya mendaki gunung, namun kuberanikan diri menguji kembali usia yang sudah tak muda ini.
Menguji fisik? Oh tentu berbeda. Dahulu, di tahun pertama aku kuliah, aku mengenal dunia pecinta alam, saat itu aku begitu energik, seolah badan ini tidak mengenal lelah, dan kaki menapak dengan mantap, ke manapun destinasinya.
Namun kali ini, rasanya jalan tertatih-tatih, engsel kaki terasa ngilu, sakit di sekujur tubuh. Apalagi pasca-melahirkan, aku sudah jarang berolahraga, tampaknya kolagen dan kalsiumku sudah banyak keluar saat memberi ASI. Ternyata ini yang namanya dewasa muda. Terlihat masih muda, namun sebenarnya sudah tidak ‘terlalu’ muda lagi.
Namun yang terpenting dari sebuah perjalanan mendaki adalah sebuah mental.
Ya, aku kembali menguji mentalku.
Hari pertama mendaki selama 7,5 jam untuk akhirnya sampai di tempat mendirikan tenda.
Hari kedua mendaki menuju puncak dan menuruni gunung selama 9 jam untuk akhirnya sampai di base camp.
Sepanjang perjalanan, tentu aku selalu bercakap-cakap dengan pikiranku sendiri.
"Apa yang sedang kuperbuat? Apa yang sedang kukejar? Apa yang membuatku masih mau mendaki?"
Aku yang memilih trip jenis ini, padahal aku bisa dan sering melakukan trip dengan menggerek koper.
Aku yang memilih untuk keluar dari zona nyamanku untuk 'merepotkan' diri sendiri, dengan menenteng carrier (tas gunung) dan jalan menanjaki bebatuan dan pepohonan. Padahal, aku sudah vakum mendaki selama 4 tahun. Ah, terlalu banyak cara untuk mengeluarkan keringat, namun aku dengan sengaja mengambil jalan ini.
Namun, ada 3 hal yang aku pelajari selama perjalanan 2 hari 1 malam ini:
1. Berpikir dan Berkata POSITIF
Sepanjang mendaki, tentu aku mendengar sesama teman-temanku mengungkapkan kelelahannya, seperti “Mau mati rasanya”, “Aduh kaki mau patah”, atau keluhan lainnya. Aku pun dahulu begitu, dan mungkin sesekali aku masih begitu… Namun, aku sadar bahwa keluhan demi keluhan yang terucap bisa membuat aku semakin lelah. Atau lebih tepatnya tidak berguna.
Jadi, aku harus melatih diriku untuk berkata positif, seperti “AYO, SEMANGAT” atau cukup dengan diam atau tersenyum. Sambil terus berpikir bahwa aku akan sampai puncak sebentar lagi.
Photo by Ashley Whitlatch on Unsplash
Sebab, semangat itu sangat mudah menular. Ketika melihat semua tim beristirahat dan duduk, maka dorongan untuk duduk dan bermalas-malasan itu kuat sekali. Sebaliknya, ketika melihat semua tim terus berjalan dan saling menyemangati, maka dorongan untuk terus melangkah pun tetap ada.
Dan, aku bersyukur bahwa beberapa temanku juga ada yang sering berkata, “Ayo, sebentar lagi, ujung pohon sudah terlihat” (yang artinya sudah mau sampai puncak) atau ketika turun “Ayo, sebentar lagi, pohon sudah lebat” (yang artinya sudah mau sampai base camp). Dan aku tersenyum bahagia memiliki teman-teman yang juga positif.
Artinya, ada dua pesan di sini. Dari sisi eksternal, bergaul-lah dengan teman-teman positif. Dari sisi internal, latih diri untuk menjadi pribadi yang positif (pikiran dan perkataan).
Tentu tidak semua teman kita positif, dan tentu mereka akan tetap jadi teman kita. Tapi setidaknya dengan sadar, kita punya filter untuk memilih mana perkataan yang perlu kita dengar, atau tidak. Dan bagaimana kita yang seharusnya lebih memberi dampak, bukannya dipengaruhi menjadi negatif.
Ingat bahwa pergaulan yang buruk merusak kebiasaan yang baik. Jadi, perbanyak teman-teman yang baik, supaya kita juga memiliki kekuatan untuk terus memelihara kebiasaan baik. Di sisi lain, kita juga perlu semangat internal (dari dalam pribadi kita), yang tidak mudah terpengaruh oleh kondisi luar. Ini jelas sulit. Namun patut dilatih. Aku akui, aku juga masih berlatih.
2. Semua Orang Punya Caranya Sendiri, Termasuk dengan Membuat Milestones
Setiap orang memiliki caranya sendiri dalam mendaki. Ada yang mendaki cepat, lalu beristirahat lama, lalu lanjut lagi mendaki cepat. Ada yang mendaki pelan, namun jarang berhenti untuk beristirahat. Ada juga yang jalan santai dan sebentar-sebentar beristirahat. Ya, semua orang memiliki caranya sendiri. Tidak ada yang bisa mengomentari atau menghakimi. And we create our own milestones.
Ini penting, tidak seorang pun yang tidak beristirahat untuk dapat melanjutkan sebuah perjalanan, termasuk perjalanan hidup. Istirahat/milestones itu diperlukan untuk sekadar menarik nafas, melihat kembali ke belakang, sudah sejauh mana aku berjalan, dan bagaimana aku mempersiapkan diri untuk kembali melangkah.
Photo by Billy Pasco on Unsplash
“Ah, tapi kalau terlalu banyak beristirahat, aku akan ketinggalan”. Ingat bahwa potensi orang berbeda-beda, jadi tidak dapat dibandingkan satu dengan yang lainnya. Kita yang tahu kemampuan diri sendiri. Sebab, kalau dipaksakan, mungkin bisa terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, termasuk rasa sakit secara fisik.
Namun, betul juga kalau terlalu banyak istirahat, bukan tentang ketinggalan saja, melainkan kita jadi tidak produktif. Tubuh akan semakin lemah. Matahari akan semakin tenggelam. Kecuali, jika kita sudah memiliki poin nomor 1, jadi bisa menyemangati diri sendiri. Kita yang tahu kapasitas diri, kita yang tahu kapan harus berhenti, kita juga yang memutuskan kapan harus segera berjalan kembali.
Maka, poinnya adalah kita semua bertanggung jawab terhadap diri masing-masing. Apapun yang kita putuskan, bagaimanapun cara kita mendaki atau menjalani hidup, kita juga yang akan menerima/merasakan konsekuensinya.
3. Tetaplah Melangkah dengan Penuh Pengharapan
Gunung itu sangat berkorelasi dengan hidup. Ada saatnya naik, ada saatnya turun. Seberapa sering pun sudah dilalui, tetap kita akan berekspresi terkejut setiap kali melihat jalan naik atau jalan turun. Baik jalan bebatuan, pepohonan, tanah, pasir, danau, semuanya adalah bagian yang harus dilalui.
Sama seperti kehidupan, baik suka, duka, sakit, sehat, semuanya adalah bagian yang harus dilalui. Satu hal yang perlu dilakukan adalah terus melangkah, seperti salah satu scene film Finding Nemo: “Just keep swimming, keep swimming”. Itu adalah titik di mana mereka menjadi ikan yang bebas, melampaui batas jaring-jaring yang menangkap mereka.
Oleh karena itu, ketika kita menghadapi situasi sesulit apapun, sekalipun pikiran dan mental terus bergejolak dan kita hampir terperangkap olehnya, yang dapat dilakukan adalah terus melangkah. Karena kita tidak pernah tahu batasan apa yang akan kita lewati di depan kita. Hingga akhirnya kelak Tuhan berkata, “Hai hambaku yang baik dan setia, engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu.”
Photo by Jared Erondu on Unsplash
Pada akhirnya, aku tidak perlu lagi mempertanyakan,
Apa yang sedang kuperbuat? Apa yang sedang kukejar? Apa yang membuatku masih mau mendaki?
Sebab, pendakian sarat makna itu melampaui kebahagiaan dari puncak yang terinjak ataupun foto-foto yang di-posting. Pendakian ini mengajarkanku untuk menjadi pribadi yang tahan banting - terus melangkah dalam situasi apapun, dengan caraku sendiri, dan dengan terus berlatih memiliki pikiran dan perkataan yang positif.
Refleksi Lia Oozz
Gn. Gede 24-25 Mei 2019
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: