“Murid-murid-Nya bertanya kepada-Nya, “Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta? Jawab Yesus: “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia.” - (Yohanes 9: 2, 3)
Akhir-akhir ini tagar #dirumahaja sedang menjadi trending topic di media sosial. Ya, sejak pemerintah secara resmi mengeluarkan himbauan kepada seluruh elemen masyarakat untuk melakukan social distancing, seruan di rumah aja menjadi sorotan publik. Bukan tidak beralasan, langkah ini diambil pemerintah untuk menghambat penyebaran virus Corona atau yang populer dengan istilah Covid-19.
Bak artis yang sedang booming, siapa sih yang tak kenal virus ini? Virus yang konon ditemukan pertama kali di daerah Wuhan, Provinsi Hubei, China pada akhir tahun 2019 lalu telah benar-benar menggemparkan dunia. Bahkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan virus ini sebagai pandemi global. Bagaimana tidak, di Indonesia sampai 6 April 2020 tercatat 2491 kasus positif dengan 209 di antaranya meninggal dunia.
Bukan hanya menyebabkan kematian banyak orang, virus ini juga telah berhasil melumpuhkan berbagai sektor kehidupan, baik perekonomian, pendidikan, bahkan keagamaan, termasuk gereja. Di tengah fase yang berat ini, kita patut besyukur karena ada banyak orang yang berbela rasa dan tergerak hatinya untuk memberi bantuan, entah dalam bentuk alat-alat medis maupun bermacam bentuk bantuan lain.
Mengapa?
Seketika muncul dengan cepat pandangan yang hendak menyajikan alur nalar logika mengenai penyebab terjadinya wabah. Dari situlah orang sekaligus mencari makna. Ada beberapa hal yang memberi pola pemaknaan peristiwa pandemi ini, yakni: peringatan dari Allah dan merupakan hukuman atas dosa yang telah diperbuat manusia, tanda-tanda akan segera datang akhir zaman (kiamat), dan beberapa pemaknaan yang mencuat dalam benak manusia.
Dalam hal ini, Allah seolah menjadi pelaku utama dan satu-satunya penyebab pandemi yang terjadi. Dalam penggalan sebuah lagu yang dipopulerkan Ebiet G. Ade, “...mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita, yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa.” Mulailah muncul berbagai refleksi dari peristiwa yang terjadi. Refleksi ini merupakan upaya manusia untuk menjawab pertanyaan, “Mengapa?”
Apa jawaban Kitab Suci?
Dalam perjanjian lama mungkin kita sering melihat gambaran Allah sebagai sosok yang kejam, misalnya dalam Kejadian 7, di mana Allah membinasakan banyak makhluk hidup di bumi dengan air bah, kecuali Nuh sekeluarga dan binatang-binatang dalam bahtera yang dibuatnya. Tentu ayat ini perlu ditafsirkan secara mendalam. Dalam teologi, penggambaran Allah yang ganas dikenal dengan sebutan Deus Saevus.
Di pihak lain, kita juga mendapati gambaran Allah yang berbelas kasih dan penuh cinta kepada manusia yang dikenal dengan istilah Deus Gratiosus. Bila kita hendak membicarakan keterlibatan maupun ketidakterlibatan Allah dalam penderitaan manusia, bererti kita masuk dalam diskusi tentang Theodische. Namun refleksi ini bukan dimaksudkan untuk mendiskusikan hal yang rumit dan abstrak, melainkan secara sederhana bagaimana kita dapat menjawab pertanyaan, “Mengapa?” dari sudut pandang para korban, yang notabene adalah orang yang percaya kepada Allah kemudian segera beranjak bangkit dari pertanyaan itu.
Misteri di Balik Penyelenggaraan Ilahi
“Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia”
Dalam ayat-ayat yang dikisahkan dalam Yohanes 9, kita diperhadapkan dengan sebuah pertanyaan yang bernada Theodise. Keadaan di mana Yesus diperhadapkan dengan pertanyaan mengenai orang yang buta sejak lahir: “Siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?” Yesus menjawab dengan dimensi penyelenggaraan Ilahi: “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia.” Di sini kita dapat melihat terjadinya pergeseran cara pandang dari penyebab penderitaan terjadi, menuju rahmat yang terkandung dalam peristiwa yang hendak diungkapkan.
Beriman dalam Bingkai Misteri
"Beriman juga berbicara soal berani berjalan di dalam misteri dengan sebuah harapan bahwa Tuhan berkenan memakai pergumulan yang terjadi sebagai pembelajaran hidup."
Beriman seringkali dianggap sebagai jawaban yang memberi rasa aman. Namun dalam bacaan ini, kita hendak belajar beriman dengan berani membiarkan pertanyaan tetap terbuka. Dengan demikian, beriman bukan soal bisa menjawab, melainkan soal tetap meyakini bahwa di balik yang tak bisa dijawab, ada rahmat Allah yang hendak dinyatakan melalui peristiwa yang tidak dapat diungkap secara tuntas. Selain itu beriman juga berbicara soal berani berjalan di dalam misteri dengan sebuah harapan bahwa Tuhan berkenan memakai pergumulan yang terjadi sebagai pembelajaran hidup.
Dalam kisah orang buta ini, kita kembali diingatkan untuk membiarkan apa yang menjadi misteri tetap menjadi misteri. Namun, kiranya misteri itu tidak menghilangkan iman kepada Allah, justru melalui misteri itulah iman kita kepada Allah terlibat aktif. Jadi, di tengah kemelut pandemi yang sedang terjadi, mari memandangnya secara positif. Mari memohon kekuatan Roh Kudus agar kita dimampukan untuk tetap beriman dengan terbuka bersama misteri, seraya tetap mengimani bahwa di balik setiap peristiwa, tersembunyi kesempatan untuk memuliakan Allah. Selamat berefleksi!
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: