Seorang kawan bertanya kepadaku, “Apa isi sebuah kuburan kosong?”
Aku tak tahu, apakah itu sebuah lelucon atau hal yang serius, yang aku tahu, itu teka-teki. Sebuah teka-teki lain, yang mirip dengan itu, adalah “kosong adalah isi, isi adalah kosong.” Selamat! Aku bingung. Aku seperti seekor kera bodoh yang dipaksa menjadi seorang biksu.
Kawanku itu nyengir, lalu menjawab sendiri, “Perubahan. Isinya perubahan. Dari Maria menjadi Mak Ria. Dari seorang yang sedih menjadi seorang yang gembira.” Aku makin bingung.
“Kamu tahu artinya Maria?” tanyanya lagi.
“Maria berarti pahit,” jawabnya sendiri—lagi!
“Maria itu berasal dari kata mara, yang berarti pahit,” katanya lagi—ya, jelas sudah dia anak teologi. Kalau pernah berjumpa dengan mahasiswa, atau lulusan, atau juga jebolan teologi, kamu akan mengenal kira-kira dari mana orang-orang semacam kawanku ini. Dari batu, seperti Kera Sakti. Kamu tidak akan mudah beradu gigi—bukan lagi berunjuk gigi—dengan manusia-manusia yang lahir dari kerasnya cadas pemikirannya sendiri.
“Maria menangis karena...”
Ya, dalam kehidupan ini, kita mungkin terbiasa menangis. Beberapa orang berpendapat, kita menangis karena menderita, tetapi buatku, aku menangis karena bodoh—seperti ketika dibodohi kawanku itu. Penderitaan kerap membuat kita merasa bodoh, tak mampu menemukan jalan keluar. Akibat kebodohan, kita hanya berputar-putar di dalam masalah. Hanya orang pintar yang minum... cawan penderitaan—bukan yang satunya itu!—dan menjalani konsekuensinya hingga mencapai titik akhir. Masalah hanyalah sebuah pintu masuk ke pintu keluar. Sederhana.
Sayangnya, kita tak mudah melihat sesuatu secara sederhana. Menurut Injil Yohanes, Maria Magdalena melihat batu penutup kuburan Yesus sudah tidak pada tempatnya, tetapi lalu ia berasumsi, Yesuslah yang sudah tidak pada tempatnya, sudah dipindahkan orang. Bagi Maria, Yesus yang sudah entah ada di mana itu adalah masalah. Sebab Maria ingin berjumpa lagi dengan Yesus, sekalipun dalam hubungan yang tidak seperti dulu lagi.
Masalah lainnya adalah soal batu. Aku curiga, batu itu memang batu sakti; sekalipun besar dan berat, ia bisa menggiring dirinya sendiri. Begitu saktinya, batu itu juga mampu menggiring persepsi Maria bahwa Yesus sudah dipindah entah ke mana. Kesaktian batu itu, Kawan, bahkan menggiring Maria untuk menjadi seorang penyebar hoax; Maria menyebarkan berita yang sebenarnya bersumber dari persepsinya kepada orang-orang lain. Mungkin itulah batu yang juga melahirkan Kera Sakti.
Begitulah jika kita sudah digiring terlalu jauh. Hal sederhana dari kisah ini adalah sebuah batu yang tidak lagi ada pada tempatnya; sisanya hanya akibat ragi, mengembang sendiri—seperti aku yang menambahi hal-hal tak penting itu. Di balik ketiadaan batu—yang sebenarnya tidak sakti—itu, ada sebuah kuburan kosong. Apa isi sebuah kuburan kosong? Kekosongan itu diisi oleh Maria dengan pikirannya sendiri, serupa dengan kita yang melihat masalah dengan perspektif dan pemahaman kita sendiri. “Tuhan sudah tidak ada di situ,” menurut Maria, padahal diam-diam, Maria menyimpan Yesusnya sendiri di dalam kuburan itu: Yesus sebagai citra dari segala harapannya. Yesus yang hilang berarti harapan yang lekang, maka menangislah Maria. “Tuhan sudah tidak ada lagi di situ,” menurut Maria. Pada titik itu, Maria sudah hilang seperti para murid lelaki yang membubarkan diri segera setelah rangkaian penderitaan menimpa Yesus. Maria menghilang di dalam kehilangan, bukan kehilangan Yesus, melainkan kehilangan dirinya sendiri. Yesus sendiri yang menjumpainya untuk menemukan dirinya kembali dengan seutas kata, “Maria!”
Itu adalah satu peristiwa romantis. Tentu saja kukatakan begitu, karena Maria segera menggamit kembali harapannya, seperti tak ingin melepaskannya. Yesus tak hendak dibebaskannya. Akibat dari perjumpaan yang mengharukan itu, Maria berubah menjadi Mak Ria, perempuan yang awalnya berduka melangkah untuk mengabarkan berita sukacita, “Aku sudah melihat Tuhan!”
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: