Spiritualitas Yang Lain: Sebuah Refleksi Terhadap Pandemi

Going Deeper, God's Words, 24 March 2020
"Jika kita tidak dapat pergi keluar, maka mari kita pergi ke dalam diri dan kita akan menemukan betapa asik dan kayanya kekedalaman itu dan betapa indahnya bersama Tuhan di sana.”

Spiritualitas tidak pernah lahir dari ruang yang hampa, namun terbentuk dari realitas pengalaman yang ada, pengalaman akan Allah berkaitan dengan transformasi kesadaran serta pengalaman hidup, sehingga dapat dikatakan bahwa kehidupan spiritualitas melibatkan keseluruhan pribadi dalam totalitas eksistensinya baik raga, jiwa, pikiran, tempat, serta relasi-relasi-dalam kaitannya dengan seluruh ciptaan. 

Pada kenyataannya, banyak orang kemudian jatuh kepada kekeringan spiritual.  Kehidupan spiritualitas yang harusnya membawa transformasi, menjadi daya dorong, menghidupkan, memotivasi sehingga memiliki daya potensi, malah terjadi sebaliknya—kehidupan menjadi lesu, menjenuhkan, bahkan doa pun terasa semakin hambar dan membosankan, belum lagi terjadi pengkotak-kotakkan dalam spiritualitas itu. Terkadang hanya satu sebabnya, yakni orang tidak lagi menghidupi kehidupan spiritualitasnya, tidak lagi menikmatinya, hanya karena salah kaprah menerjemahkan apa itu spiritualitas atau bagaimana itu berspiritualitas.

Photo by Josh Marshall on Unsplash 

Kisah perjumpaan Yesus dan Perempuan Samaria mungkin sudah sering kita dengar. Namun, saya rasa jarang sekali orang melihat kisah ini dari sisi spiritualitas. Saya pun demikian. Melihat kisah tersebut dari sisi spiritulitas baru-baru ini saya gumulkan, ketika pandemi Covid 19 menggoncang dunia, bahkan menggoncang kehidupan beriman seseorang, tidak terkecuali orang Kristen. Banyak pro dan kontra mengenai dilaksanakannya ibadah online karena pandemik ini. Mengapa demikian? Tentu banyak jawabannya. Dan saya rasa tidak berlebihan jika salah satu jawaban itu berkaitan erat dengan masalah spiritualitas—alasan utama orang yang kontra adalah ibadah online bukan ibadah, tidak merasakan apa-apa jika ibadah online, ibadah kurang khusuk, beribadah online tidak beriman, dan sebagainya. Lalu benarkah demikian, bagaimana menurutmu?

Photo by Johny vino on Unsplash 

Dale Cannon dalam bukunya Six Ways of Being Religious: A Framework For Comparative Studies of Religions  mengatakan bahwa cara menjadi religius adalah sebuah abstraksi yang berasal dari pola-pola tertentu, tipe umum yang merupakan ekspresi tertentu dari setiap agama berhubungan dengan relasinya dengan The Untimed Reality (Allah), sehingga memungkinkan ada kemiripan ekspresi antara agama yang satu dengan agama yang lainnya.  Cannon kemudian membagi praktik ataupun ekspresi keagamaan tersebut menjadi enam jalan spiritualitas. Pertama adalah Ways of Sacred Rite, sebuah jalan spiritualitas yang merujuk kepada sebuah tata cara, kegiatan agama dengan simbol ketika berinteraksi dengan Allah, cara ini dapat ditemukan pada pelaksanaan ritus gereja yang memakai simbol-simbol tertentu sebagai perwujudan yang penuh makna dalam pelaksanaan ritualnya.  Kedua adalah Ways of Right Action, sebuah jalan spiritualitas yang lebih menekankan kepada tindakan, hubungan yang bersifat horizontal yaitu kepada sesama, bagaimana hidup dengan sesama dan Tuhan, bagaimana menghidupkan segala macam ritual dalam suatu agama dalam kehidupan riil seseorang.  

Ways of Devotion merupakan jalan spiritualitas ketiga yang ditawarkan oleh Cannon, model ini merujuk kepada bagaimana sikap dengan ketaatan dan hati yang tulus untuk memuji Allah, di mana kesungguhan dan rasa cinta devosi tersebut membawa diri pada pengakuan dan penyerahan total kepada-Nya.  Keempat, Ways of Shamanic Mediation, merupakan jalan spiritualitas di mana seseorang terhubung dengan Realitas Mutlak dengan melakukan berbagai macam sumber-sumber supranatural sebagai medianya misalnya dukun ataupun orang pintar, sehingga seseorang memperoleh akses ke dunia roh melalui apa yang bisa disebut imajinasi mendalam dalam keadaan tidak disadari ataupun dalam kondisi kesadaran yang berubah. Kelima adalah Ways of Mystical, merupakan jalan spiritualitas dengan menaruh perhatian kepada sikap batin dan pengalaman tersendiri dengan Allah, melalui jalan mistik, dengan disiplin rohani tertentu berupa cara hidup asketis maupun meditatif.  Terakhir adalah Ways of Reasoned Inquiry, merupakan jalan spiritualitas yang mendekati Allah melalui akal dan segala sesuatu yang terhubung dengannya, biasanya membutuhkan penuntun, baik guru, orang-orang bijak, teks-teks suci, dan sebagainya.

Dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam kehidupan bergereja, keenam jalan tersebut sering kita temukan. Kekakuan kita memandang bahwa jalan spiritualitas itu beragam seringkali menyebabkan kita mematokkan jalan spiritualitas secara biner, satu arah, “Begini, bukan begitu, ibadah harusnya ya begini, bukan begitu”. Lalu kamu model spiritualitas yang mana? Bisa jadi orang memiliki lebih dari satu model spiritualitas, misalnya ada yang merasakan kehadiran Allah dalam pelaksaan liturgi yang baik,  ada yang merasakan kehadiran Allah dengan penyembahan, ada yang dengan meditasi, bahkan dalam diri seseorang ada yang menyukai ketiganya sekaligus. Lalu, jika demikian, tentu ibadah online tidak menjadi masalah bukan?! (Menjadi masalah jika ketika ibadah online, kita tidak fokus atau sambil melakukan kegiatan yang lainnya). Ya, tentu semua orang menyukai ibadah seperti biasa (fisik), namun jika keadaan tidak memungkinkan ya bagaimana! di sinilah orang beriman dituntut untuk juga berhikmat, percaya kepada perpanjangan tangan Allah lewat profesi-profesi yang profetis lewat ilmu kedokteran di tengah semakin merebaknya pandemi ini. 

Kisah perjumpaan Yesus dan Perempuan (Yohanes 4:1-42) juga berbicara masalah spiritualitas, transformasi terhadap cara pandang spiritualitas. Ada beberapa penafsir mengatakan bahwa istilah “lima suami” mengindikasikan lima dewa-dewa Samaria dan ucapan Tuhan Yesus yang mengatakan bahwa “…sekarang yang ada padamu bukanlah suamimu” juga mengindikasikan bahwa apa yang dipercayai perempuan itu pada saat itu bukanlah Allah yang benar. Oleh karena itu di dalam ayat-ayat berikutnya Yesus berkata kepada perempuan itu, “saatnya akan tiba bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini bukan juga di Yerusalem,….penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam Roh dan Kebenaran.” (ay. 21-24).

Photo by Nowshad Arefin on Unsplash 

Terjadi transformasi dalam memandang spiritualitas terhadap perempuan itu. Mata perempuan itu dicelikkan bahwa, ibadah bukan masalah tempat, namun sikap hidup yang benar, sikap hidup yang bertobat, karena ibadah bukan untuk kesenangan diri, tapi bagaimana kita menyembah Allah di dalam Roh dan Kebenaran. Jika demikian, tentu selama pandemi ini berlangsung maka ibadah online bukanlah menjadi masalah. 

Kenalilah jalan spiritualitas kita, sehingga kita dapat tetap beribadah dan terhubung dengan Allah dalam keadaan dan kondisi apa pun. Jika kita tidak dapat “pergi keluar, maka mari kita pergi ke dalam diri dan kita akan menemukan betapa asik dan kayanya kekedalaman itu dan betapa indahnya bersama Tuhan di sana”. Sudah saatnya kita tidak melihat spiritulitas dengan kaku. Bisa jadi saat ini adalah kesempatan kita menemukan jalan spiritualitas yang lain. Jalan spiritulitas meditasi (NIV: meditates, Mazmur 1:2) dan kontemplasi misalnya (Ways of Mystical). Meditasi (merasakan kehadiran diri), kontemplasi (merasakan kehadiran Allah), sebab tidak mungkin kita merasakan kehadiran Allah jika kita tidak menyadari kehadiran diri terlebih dahulu. 

Selamat menyelami spiritualitas di tengah pandemi Covid 19, semoga badai ini cepat berlalu.


LATEST POST

 

Respons terhadap Progresive ChristianityIstilah progresive Christianity terdengar belakangan ini. Ha...
by Immanuel Elson | 19 May 2024

 “…. terpujilah kebijakanmu dan terpujilah engkau sendiri, bahwa engkau pada hari...
by Rivaldi Anjar | 10 May 2024

Tanpa malu, tanpa raguTanpa filter, tanpa suntinganTiada yang terselubung antara aku dan BapaApa ada...
by Ms. Maya | 09 May 2024

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER