Part 1: Drama Menentukan Pilihan

Best Regards, Live Through This, 09 September 2023
Bukan sekadar mendramatisasi atau meromantisasi pilihan yang saya ambil, tetapi memang saya merasa seperti dipanggil untuk ikut dan “menjala manusia” oleh Yesus, saya kira beberapa dari kita pernah merasakan hal serupa.

Rumah-rumah panggung beratapkan daun pohon sagu berdiri tepat di atas laut, dengan tiang-tiang kayu sebagai penyangganya. Beberapa blok rumah tampak berjejer rapi, tetapi lebih banyak blok berjejer sekenanya. Selayaknya di laut, aroma segar bercampur bau garam ramai bertebaran di udara, tampak anak-anak berlarian ke sana kemari, bertelanjang kaki tak gentar menapaki jembatan kayu yang berlubang dan bergoyang. Jembatan yang menjadi akses penghubung antara rumah warga dan sekolah serta beberapa tempat penting lainnya, sementara anak-anak dengan berani menjejakinya sembari berlari, saya justru harus dengan sabar dan hati-hati dalam memilih tempat berpijak, sebab setiap langkah yang saya ambil akan menentukan apakah saya akan tercebur ke dalam laut atau tidak. Cukup menegangkan.

Beberapa waktu lalu, sebelum kejadian saya memilih langkah pada jembatan berlubang dan bergoyang tersebut, saya justru dihadapkan pada pilihan yang menurut saya jauh lebih kompleks dan rumit. Jika salah memilih, akibatnya lebih dari sekedar jatuh dan "tercebur ke dalam laut". Ada pilihan yang datang. Sebagai seseorang yang “seharusnya” bekerja dalam bidang atau profesi akuntan, saya justru lebih memilih untuk menjadi seorang guru di pedalaman ketimbang menjadi akuntan sekolah menengah atas pada salah satu yayasan di daerah asal. Dampak dari pilihan tersebut sangat jelas terlihat dan terasa, jauh dari orang-orang tersayang adalah salah satunya sehingga membentuk rindu yang begitu mendalam. Sungguh akibat yang lebih parah dari sekedar tercebur ke dalam laut. Berbekal garis darah, dari Bapak yang merupakan seorang guru di masa lampau, saya menemukan separuh alasan melangkah maju untuk memilih.


Photo by Lindsay Hendwood on Unsplash

Sejatinya, bukan hanya sekedar garis darah yang menjadi pondasi atau landasan di dalam memilih. Kembali teringat lagi melewati garis waktu, hingga tiba di masa ketika saya masih anak-anak—tumbuh dengan cerita-cerita Bapak mengenai keajaiban Tuhan yang tertuang di dalam Alkitab dan dibawakan dengan gaya pembahasan yang selalu menghadirkan rasa takjub. Dari banyaknya cerita yang Bapak bawakan, saya teringat kisah Yesus yang menyusuri danau Galilea dan berjumpa dengan dua orang bersaudara Simon Petrus dan Andreas, yang sedang menjala ikan. Dalam perjumpaan-Nya itu, Yesus kemudian berseru kepada mereka, “Mari, ikutlah Aku, dan kamu akan kujadikan penjala manusia” dan dengan segera kedua saudara itu pergi mengikuti Yesus. Setelah itu, Yesus memanggil Yakobus anak Zebedeus dan Yohanes saudaranya untuk mengikuti Dia (Matius 4:18-22)

Bagi saya saat itu, kata-kata yang diucapkan Yesus dalam cerita Bapak, seperti, “Ikutlah Aku,” dan, “Kujadikan penjala manusia,” sangatlah menarik. Tidak ada isyarat ancaman dalam kata-kata Yesus saat itu, tetapi dengan sigap mereka melepaskan segala urusan yang dimiliki dan mengikuti Yesus. Walaupun di kemudian hari, mereka belum sepenuhnya memahami maksud dari panggilan Yesus kala itu, para murid tersebut bertahan menjadi pengikut Sang Guru dengan setia hingga akhir hidup mereka. Sejak saat itu (hingga dewasa), saya selalu menaruh rasa kagum pada orang-orang yang dengan kerelaan dan ketulusan hati dalam melepas segalanya untuk mengikuti panggilan Yesus. Saya pun selalu berharap punya kesempatan seperti itu.

Kesempatan kemudian datang. Menjadi guru pedalaman merupakan kesempatan itu. Bagi saya, ini adalah kesempatan yang terbuka untuk menghayati makna "mengikuti Yesus" dengan kerelaan dan ketulusan hati. Bukan sekadar mendramatisasi atau meromantisasi pilihan yang saya ambil, tetapi memang saya merasa seperti dipanggil untuk ikut dan “menjala manusia” oleh Yesus. Mungkin di antara Ignite People pernah merasakan hal serupa. Setidaknya, mengikuti Yesus untuk memberikan setitik pengetahuan bagi anak-anak pedalaman adalah “menjala manusia”. Well, di sinilah saya: pilihan itu yang mengantarkan saya dengan hati-hati memilih langkah di jembatan berlubang dan bergoyang pada daerah yang lebih dikenal dengan sebutan Negeri Seribu Tiang tersebut.

Lalu, apa berikutnya?

Saya perlu membuktikan bahwa pilihan yang saya ambil merupakan pilihan yang tepat untuk mengikuti Yesus. Menjadi guru di sini membutuhkan anugerah dan belas kasihan ilahi, sesuatu yang saya masih gumuli hingga hari ini. Ibarat berjalan di atas jembatan pada daerah itu, setiap langkah yang akan kita ambil dalam kehidupan sehari-hari pun mesti dipilih dengan hati-hati dan selalu berkaca pada kebenaran Firman Tuhan, agar tidak terpeleset, terperosok, maupun terjatuh. Dengan demikian, meski perjalanan kita nantinya dipenuhi "jembatan" yang tidak mulus, berlubang, bahkan bergoyang, ketaatan pada kehendak Tuhanlah yang akan dipilih. So, Ignite People, apakah kalian menemukan Tuhan dalam setiap pilihan yang (akan) diambil?


Minbi's side note:

Ada lagu "Mengikut Yesus" yang bisa menjadi pengiring dalam merenungkan artikel Kak Grego ini.



LATEST POST

 

Akhir Oktober biasanya identik dengan satu event, yaitu Halloween. Namun, tidak bagi saya. Bagi saya...
by Immanuel Elson | 31 Oct 2024

Cerita Cinta Kasih Tuhan (CCKT) Part 2 Beberapa bulan yang lalu, saya mengikuti talkshow&n...
by Kartika Setyanie | 28 Oct 2024

Kalimat pada judul yang merupakan bahasa latin tersebut berasal dari slogan sebuah klub sepak bola t...
by Jonathan Joel Krisnawan | 27 Oct 2024

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER