“Hormatilah ayah dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu” (Keluaran 20:12).
Baca seri sebelumnya di sini
Kutipan ayat di atas tentunya sudah sering kita dengar dalam berbagai kesempatan. Menghormati orang tua menjadi salah satu hukum Taurat yang terbesar yang masuk ke dalam sepuluh perintah TUHAN. Nah, Yael Trusch-pun mengutip ayat tersebut dalam artikelnya, sebagai dasar dari prinsip pola asuhnya yang ketiga.
Compliance Remains Key
Setiap orang tua pasti mendambakan seorang anak yang senantiasa menghormati dan menghargai mereka atas segala usaha dan kasih sayangnya. Menyadari hal itu, Yael Trusch mengatakan bahwa ketaatan dan rasa hormat kepada orang tua tetap menjadi kunci atau bahkan salah satu pencapaian terbesar di tengah dinamika menjadi orang tua. Hal ini ditegaskan oleh Alkitab sendiri karena tertulis banyak sekali perintah untuk menghormati orang tua, bahkan ditambahkan lagi frasa "supaya lanjut umurmu di bumi". Itu berarti rasa hormat dan patuh terhadap orang tua menjadi salah satu bagian paling penting yang harus dicapai oleh setiap manusia sepanjang kehidupannya. Selain itu, seorang psikolog Yahudi bernama Wendy Mogel dalam bukunya yang berjudul The Blessing of a Skinned Knee juga menjelaskan bahwa rasa hormat terhadap orang tua akan berdampak besar terhadap seluruh upaya pola asuh orang tua. Artinya, ketika anak sudah mampu menghormati orang tua, maka segala pertimbangan, arahan dan teguran dari orang tua (tanpa menyakiti hati anak) akan lebih mudah diterima dan dipertimbangkan oleh sang anak. Namun jika tidak ada rasa hormat dari sang anak terhadap orang tuanya, maka sulit sekali untuk memberikan advices atau teguran terhadapnya.
Ironisnya, kita pasti pernah melihat, mendengar, atau bahkan menjadi pelakunya saat masih kecil. Contohnya, kita pernah berteriak kepada orang tua sebagai ungkapan rasa marah atau mungkin hanya ingin meminta sesuatu, atau mungkin menolak hadiah ulang tahun dari orang tua karena berbeda dengan yang diinginkan. Hal itu tentu saja sering membuat orang tua menjadi kesal atau sedih, karena mereka merasa tidak dihormati dan dihargai. Nah, itulah kenapa kesadaran bahwa rasa patuh dan hormat terhadap orang tua tidak semata-mata diturunkan (seolah-seolah merupakan faktor konstitusi atau keturunan). Sebaliknya, kesadaran itu perlu untuk dikenalkan dan diajarkan kepada anak sedari kecil, karena dapat membantu orang tua untuk setidaknya menjauhkan diri dari rasa sakit hati dan kemarahan atas perlakuan anaknya yang masih kecil. Alasannya karena tumbuhnya kesadaran akan rasa patuh dan hormat pada orang tua termasuk ke dalam tahapan perkembangan moral pada anak.
Selain itu, adalah penting juga untuk mengetahui temperaments difference pada anak yang sebetulnya sudah terlihat sedari usia di bawah 0 tahun, khususnya pada hal intensitas emosional juga penting bagi orang tua. Dalam penelitian Stella Chess dan Alexander Thomas, mereka menemukan ada tiga jenis temperamen anak, yaitu easy child (prevalensi 40%), slow-to-warm child (prevalensi 15%), dan difficult child (termasuk yang memiliki kebutuhan khusus, dan prevalensinya 10%), sementara sisanya adalah mixed temperament (prevalensinya 35%). Chess dan Thomas menyebutkan bahwa ada bayi yang memang sering merengek, tetapi ada juga yang terkesan pendiam, lalu ada yang tipenya tenang, walaupun ada juga yang unpredictable karena memiliki gabungan temperamen tersebut. Namun dalam tahapan perkembangan selanjutnya, ada juga anak yang kemudian mudah sekali marah, sementara anak lainnya bisa jadi susah mengungkapkan kemarahannya jadi cenderung diam. Pengetahuan akan hal ini akan membantu orang tua untuk memilah-milah kata dan tindakan ketika menghadapi sang anak, serta menjauhkan orang tua dari anggapan yang tidak baik terhadap sang anak yang masih kecil.
Photo by Arren Mills on Unsplash
Lalu, bagaimana caranya mengajari anak sebuah rasa hormat kepada orang tua? Pada usia 0-3 tahun, anak belum mengetahui hal yang baik atau buruk, mereka hanya memperhatikan reaksi lingkungannya. Bila anak mendapatkan reaksi positif, (misalnya tertawa, mendapat hadiah, dan lain-lain), maka ia cenderung akan mengulanginya. Sebaliknya, ketika anak justru dinasihati (bahkan dibentak!) dan sang anak merasa tidak nyaman dengan reaksi tersebut, maka ia cenderung akan menghindarinya (walaupun bisa ada efek sampingnya). Lebih lagi, bagi anak di rentang usia tersebut, orang tua memegang otoritas mutlak dalam mengatakan benar atau salah.
Maka, ketika anak bersikap tidak hormat (misalnya memukul orang tua ketika tidak diberi mainan), orang tua dapat dengan perlahan memberi tahu sang anak bahwa itu tidak baik. Hindari anggapan seperti, "Ya udahlah, dia masih kecil, kok. Masih belum ngerti, jadi dimaklumi aja. Besok kalau sudah besar pasti bisa ngerti". Duh, justru ketika kecil itulah anak-anak harus dilatih untuk bersikap hormat dan diperkenalkan kepada nilai-nilai moral yang ada lewat tindakan-tindakan sederhana setiap harinya. Alasannya karena perilaku dan kepribadian seseorang dibentuk sejak dini (bahkan sejak dalam kandungan), dia telah membawa faktor-faktor genotype tertentu. Memang awalnya dia akan melakukannya karena disuruh atau tidak suka dinasehati, tapi pada tahap perkembangan moral di usia enam tahun hingga remaja, anak-anak akan mulai mengerti batasan-batasan moral dan alasan dibaliknya saat ia mulai mengenal dunia luar dan memiliki banyak ruang-ruang sosial.
Penghargaan serta rasa hormat dari anak terhadap orang tua di satu sisi memanglah sebuah tuntutan bagi sang anak untuk kebahagiaan setiap orang tua, tetapi di sisi lain Yael Trusch menyebutnya sebagai sebuah pencapaian bagi orang tua dari segala dinamika mengasuh anak sepanjang hidupnya. John Locke, dalam teorinya yang bernama ‘Tabula Rasa’, mengatakan bahwa seorang anak terlahir bagai selembar kertas putih kosong. Akan dengan apa kita menorehkannya? Apakah dengan nilai-nilai moral yang baik, atau sebaliknya?
Selamat menorehkan segala yang baik
dengan kebijaksanaan yang melekat
di atas selembar "kertas putih kosong" itu.
*Prinsip-prinsip Jewish Parenting dari Yael Trusch lainnya akan dibahas pada artikel-artikel #SPY selanjutnya. See you!
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: