Tugas banyak tapi pengen rebahan? Stres makin lama makin gendut di rumah aja? Sama aku juga. Yuk kita sama-sama kenali dan perbaiki emosi kita selama working from home!
Dinamika Work From Home (WFH) telah membawa permasalahan baru yang selama ini tidak terduga dalam kehidupan masyarakat kita, rebahan. Setelah kurang lebih 4 bulan berkuliah dari rumah, saya menyadari adanya 3 "iblis gratifikasi instan" dalam diri saya yang sama sekali tak ingin saya pelihara; distraksi, prokrastinasi, dan komparasi. Yuk sama-sama kita identifikasi, dan pelajari masing-masing iblis ini dalam kehidupan sehari-hari agar kita dapat menghadapi bahaya laten rebahan!
Secara konsep, WFH memiliki arti mengubah metode bekerja, belajar, ataupun beraktivitas sehari-hari, dari yang sebelumnya mengharuskan kita hadir secara fisik, menjadi cukup secara daring saja guna meminimalisir kontak fisik. WFH bukan berarti menambah bobot pekerjaan seorang pekerja/pelajar, sebagai pengganti ketidakhadiran mereka di kantor/kampus. Sayangnya, hal inilah yang menjadi miskonsepsi umum penyedia kerja ataupun dosen sehingga kita dihadapkan dengan menggunungnya bobot pekerjaan lebih dari pada kondisi normal.
Selain itu, akibat WFH, kita menemui berubahnya aktivitas keseharian kita. Kini kita harus membagi waktu, fokus, dan perhatian kita untuk bekerja, belajar, berolahraga, self fulfilment, merapikan rumah, mencuci baju, masak, tidur, dan untuk melakukan berbagai aktivitas lainnya.
Semua aktivitas ini dilakukan dalam lingkup rumah kita sendiri, yang artinya kita harus melepaskan pemisahan dikotomi biner yang selama ini kita pegang mengenai "waktu kerja" dan "waktu rumah" Pemikiran yang sangat mudah dipertahankan saat bekerja/kuliah secara fisik, karena pada jam-jam tertentu kita "bekerja", pada jam lainnya kita "istirahat", dan setelah "bekerja" kita dapat "pulang" ke rumah, tempat yang secara umum membebaskan kita dari beban pekerjaan sehari-hari kita.
Hal ini bukanlah opsi di masa WFH. "Kamu kan di rumah aja, masa ngerjain ini aja ga bisa?" "Lagi sibuk engga? Boleh bantu aku bikin ini?" "Kamu kok tiap hari kerjanya main laptop aja? Ngepel gih sana" Itu adalah beberapa kalimat yang mungkin sering kita temui di kala masa WFH ini. Hal ini menunjukkan telah tercampur aduknya "waktu kerja" dan "waktu rumah" kita. Kita jadi dihantui secara simultan dan konstan oleh dorongan untuk menyelesaikan pekerjaan, memperbaiki diri, merapihan rumah, dan berbagai tanggung jawab lainnya. Alhasil kita jadi harus melakukan "juggling waktu" yang kita miliki, mengurus beberapa hal dalam ranah emosi yang berbeda-beda, pada waktu yang cenderung bersamaan.
Kedua komponen ini; beban kerja yang tak wajar, dan kesulitan mengatur proporsi waktu, membuat kita rentan terhadap iblis gratifikasi instan yang pertama, distraksi. Hal ini terjadi karena energi dan kapasitas mental kita terbatas untuk mengerjakan segala tuntutan dan ekspektasi tugas kita, sehingga kita mudah jenuh, dan cenderung membutuhkan asupan-asupan sampingan untuk dapat bekerja secara optimal. Baik asupan itu berupa drama korea, mobile legend, PUBG, netflix, twitter, instagram, reddit, bahkan rebahan dan berbagai "distraksi" lainnya yang kita sukai.
Menurut saya distraksi ini sesungguhnya bukanlah hal yang negatif, justru pada tingkat konsumsi yang normal distraksi ini dibutuhkan agar kita tidak mudah burn out. Namun jika porsi distraksi yang kita nikmati menjadi lebih banyak dibandingkan hasil kerja kita, inilah yang membuat kita jatuh ke dalam pencobaan iblis kedua, prokrastinasi. Iblis satu ini menyerang ketika kita sudah terlalu nyaman di dalam zona distraksi kita sehingga pekerjaan kita terlihat seperti beban berat yang tidak ingin kita pikirkan saat ini, dan lebih baik dikesampingkan dulu. Mantra orang-orang di bawah kendali iblis prokrastinasi adalah
"Satu x lagi lah," baik itu satu episode lagi, satu game lagi, satu jam lagi, dll. Tanpa kita sadari,
"Satu episode lagi lah.." telah berubah menjadi maraton 3 season berturut-turut dan jam telah menunjukkan pukul 4 pagi.
Kondisi ini diperparah peran iblis ketiga, komparasi. Kita hidup di dalam masyarakat, dan mau tak mau kita akan selalu menyesuaikan diri kita berdasarkan norma yang berlaku di masyarakat. Hal ini pada kondisi normal sifatnya positif, untuk memastikan keteraturan sosial dan kelancaran aktivitas kita sehari-hari. Namun, isolasi dan media sosial telah menimbulkan implikasi gelap dari sifat dasar kita ini, di mana kita mulai mengkomparasikan diri kita dengan orang lain. "Kok dia produktif banget ya bisa A, bisa B, bisa C selama WFH?" "Kok dia udah selesai ngerjain B ya? Aku A aja belum selesai." "Ihh enak banget dia bisa A bisa B bisa C di rumahnya..." dan lain sebagainya di mana A, B, C di sini bisa diisi dengan berbagai aktivitas, baik itu sidang skripsi, dipromosi, magang, nulis jurnal, dan berbagai aktivitas positif lainnya yang disukai masyarakat.
Bahayanya adalah, membandingkan diri kita seperti ini menurut saya justru cenderung membuat kita lebih jauh terperangkap dalam rasa mengasihani diri sendiri, dibandingkan membuat kita menjadi lebih terpacu menjalani masa WFH kita dengan lebih produktif. Alhasil, kita kembali melarikan diri ke distraksi yang kita sukai (toh kita juga udah tertinggal jauh dibanding mereka), lalu kita menunda pekerjaan kita sendiri, dan pada akhirnya membandingkan (bahkan menyalahkan) kegagalan diri kita terhadap kesuksesan orang lain. Lengkaplah sudah lingkaran iblis gratifikasi instan menguasai diri kita.
Terus harus gimana dong untuk mematahkan kutukan si iblis WFH ini? Menurut saya pribadi tidak ada cara yang mudah untuk menangkalnya, dan mungkin untuk setiap orang berbeda-beda metodenya. Kalau bagi saya sendiri, saya mencoba untuk membagi-bagi porsi waktu yang saya miliki untuk mengerjakan semua pekerjaan yang harus saya selesaikan secara optimal, baik itu dari segi akademis, intrapersonal, maupun distraksi-distraksi yang saya sukai (Yang main CODM mabar kuy!). Selain itu, saya juga bersyukur memiliki beberapa teman yang menyediakan ruang bagi saya untuk jujur terhadap perasaan saya sendiri, baik melalui chat ataupun doa dan renungan malam yang dilakukan semi-reguler melalui call. Dengan adanya doa bersama ini, saya seakan memiliki jangkar yang memastikan saya tidak kehilangan siapa diri saya di dalam hiruk-pikuk WFH yang sebetulnya lebih kompleks dari yang tampak ini. Saya juga secara sadar berusaha meminimalisir penggunaan media sosial untuk hal-hal yang menurut saya esensial saja, guna mengurangi pengaruh iblis komparasi terhadap ego saya. Bahkan jika ada waktu, saya juga menyempatkan diri untuk menulis seperti ini guna merefleksikan kembali perasaan dan emosi saya sendiri.
Mungkin sistem saya ini pun tidak sempurna, tidak jarang juga saya merasa tidak punya cukup waktu untuk mengerjakan semua tanggung jawab saya. Mungkin kadang-kadang saya juga menemukan diri saya terlalu banyak menghabiskan waktu untuk memenuhi gratifikasi instan. Tetapi yang menurut saya bisa kita semua terapkan adalah untuk jujur terhadap perasaan kita sendiri. Apakah kita akan benar-benar bahagia jika menonton satu episode drama ini lagi, dibandingkan mengerjakan tugas-tugas kita? Menurut saya tidak apa-apa kita bergerak perlahan untuk mencapai tujuan kita, toh kita semua bergerak dalam zona waktu kita masing-masing, dan Tuhan pasti akan menyiapkan hal baik bagi mereka yang berusaha. Yang penting adalah kita tidak boleh berhenti bergerak untuk menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: