Mengerjakan keselamatan dalam pekerjaan kita sehari-hari.
We’ve got to work, work to work this out
We’ll make things right, the sun will shine
Got to work, work, there’ll be no doubt
We can still save the summer
If we work this out
Penggalan lirik di atas diambil dari lagu yang merupakan soundtrack dari film musikal remaja “High School Musical 2” yang cukup populer pada zamannya dengan judul “Work This Out”. Mungkin bagi Ignite People yang seangkatan denganku—yaitu yang lahir akhir tahun 90-an—tidak begitu asing dengan lagu dan film ini.
Credit: Unsplash
Film ini dilatarbelakangi siswa-siswi SMA East High yang tengah menjalani libur musim panas di sebuah resort berbintang yang juga melayani permainan golf di dalamnya. Awalnya, mereka mengira mereka akan benar-benar menikmati liburan yang menyenangkan tanpa beban. Nyatanya, mereka harus bekerja di resort tersebut dengan pembagian yang telah ditentukan oleh manajemen resort. Ada yang bekerja sebagai juru masak di dapur restoran, pramusaji restoran, petugas golf, petugas kebersihan, hingga petugas penyelamat (lifeguard) di kolam renang. Melihat teman-temannya banyak yang mengeluh dan menyesal ikut dalam libur musim panas ini, si tokoh utama pun mengajak mereka untuk mengerjakan bagiannya dengan semangat. Ia meyakinkan teman-temannya bahwa masih ada kesempatan untuk menikmati liburan musim panas, asalkan mereka menyelesaikan pekerjaanya dengan maksimal.
Lagu di atas langsung terbersit dalam pikiranku saat aku menuliskan judul artikel ini. Mungkin Ignite People ingat kalau tema ed letter bulan Februari-Maret 2023 lalu mengusung tema “Kerja Keras Bagai Kuda”. Nah, pikiranku pun melemparku kembali ke sebuah momen yang menuntunku pada refleksi diri.
Credit: Unsplash
Pekerjaanku adalah seorang guru. Aku mengajar tingkat dasar di sebuah sekolah swasta di Kota Palembang. Pada pertengahan bulan Februari lalu, sekolah kami menjadi tuan rumah dilaksanakannya kompetisi antar sekolah seprovinsi. Kompetisi ini meliputi bidang olahraga, modern dance, dan juga bidang akademik. Kompetisi ini berlangsung selama dia minggu. Minggu pertama diperuntukkan untuk siswa SMA. Lalu, siswa SMP dan SD akan mengikuti kompetisi di minggu kedua. Karena ini merupakan kompetisi yang menggabungkan siswa dari banyak sekolah seprovinsi, maka sekolah memutuskan hanya mengirimkan siswa-siswi yang terbaik di bidang yang diperlombakan sebagai perwakilan sekolah. Tidak terkecuali kelas yang kuajar, aku perlu menunjuk satu siswa yang akan ikut mewakili sekolah kami dalam lomba di bidang akademik yang mirip seperti cerdas cermat.
Aku mengusulkan satu nama siswa di kelasku untuk menjadi perwakilan sekolah dalam lomba ini. Usulanku diterima oleh guru-guru yang lain. Aku pun meneruskan informasi ini kepada orang tuanya dan tentu saja, kepada siswa yang bersangkutan. Kita sebut saja namanya D. Segera setelah aku menyampaikan hal ini, orang tua D menyambutnya dengan baik. Respons D juga menunjukkan perasaan senang bercampur kaget.
Keesokan harinya, sebelum memulai pelajaran, D menghampiriku di meja guru dan mempertanyakan hal-hal seperti materi pelajaran yang akan keluar dalam lomba tersebut. Aku pun memberitahunya mata pelajaran apa saja yang perlu ia review di rumah sebagai persiapan. Tidak berhenti di situ, di tengah-tengah pelajaran guru lain, ia kembali menghampiriku (saat ada guru lain yang mengajar, aku biasanya duduk di meja bagian belakang kelas). Ia kini mempertanyakan mengenai tingkat kesulitan dan jumlah soal yang akan keluar dalam lomba tersebut, serta berapa lama waktu yang diberikan untuk menjawab setiap soal. Aku bisa melihat semangat dan sedikit kecemasan dalam dirinya bercampur jadi satu.
Esok harinya lagi, D mendatangiku kembali di waktu istirahat. Kali ini ia mempertanyakan alasanku memilihnya sebagai perwakilan dalam lomba ini. Pertanyaannya kira-kira seperti ini, “Miss, kenapa pilih saya buat ikut lomba itu? Kenapa gak si A aja, Miss? Dia kan lebih pintar dariku. Atau gak, si B yang lebih rajin dariku?” Aku tersenyum mendengar pertanyaannya, lalu menjawab, “Miss percaya kamu bisa, makanya Miss pilih kamu. Lagipula, guru-guru yang lain juga setuju kok. Berarti mereka juga yakin kamu bisa ikut lomba ini.” “Tapi, aku kan gak sepintar dan serajin si A dan B.” Aku pun menjawab, “Gak apa-apa kalau kamu gak menang. Yang penting kamu sudah berusaha dan kamu jadi dapat pengalaman juga pernah ikut lomba.” Dia terlihat setuju dengan perkataanku, lalu meninggalkanku dan kembali ke tempat duduknya.
Photo by Aaron Burden on Unsplash
Momen singkat di atas mengingatkanku pada satu tokoh Alkitab yang mengalami hal serupa. Saat Musa diutus Tuhan menjadi pemimpin atas bangsa Israel, Musa bertanya kepada Tuhan, “Siapakah aku ini, maka aku yang akan menghadap Firaun dan membawa orang Israel keluar dari Mesir?” (Kel. 3:11). Seorang Musa yang ditunjuk langsung (secara literal) oleh Tuhan pun, masih mempertanyakan alasan mengapa dirinya yang ditunjuk, bukan orang lain. Namun, Tuhan menjawab bahwa Ia akan menyertainya sepanjang waktu.
Kembali kepada siswaku tadi dimana ia sempat gelisah dengan kenyataan bahwa ia menjadi salah satu perwakilan sekolah dalam lomba tersebut. Mendekati hari H lomba, alih-alih bertanya banyak hal kepadaku tentang keikutsertaannya dalam lomba, ia bercerita kepadaku tentang persiapannya selama ini di rumah. Aku melihat kesungguhan dalam dirinya dan bangga melihat usahanya mempersiapkan diri. Aku meyakinkan diri bahwa aku tidak salah memilih siswa tersebut mewakili sekolah kami. Sejujurnya, aku tidak berharap ia akan menang. Namun, aku memberinya kesempatan untuk mendapatkan pengalaman ikut serta dalam suatu lomba/kompetisi.
Dari refleksi pribadiku aku mendapatkan beberapa kesimpulan:
Apapun pekerjaan kita, di bidang apapun kita bekerja, Tuhan telah menaruh kepercayaan kepada kita di dalamnya. Sebagai guru, aku sendiri seringkali mempertanyakan mengapa Tuhan menunjukku untuk mengajar. Begitu banyak hal yang perlu diperhatikan dan disiapkan dalam membimbing dan mengajar siswa. Bisa dikatakan, bukanlah hal yang remeh dan mudah menjadi guru karena pekerjaan ini tidak hanya melibatkan dua-tiga siswa saja, tetapi bisa mencapai 20-30 siswa setiap harinya.
"Mengapa aku?"
Aku terus gelisah mempertanyakan hal itu kepada Tuhan di masa awal aku bekerja. Seiring berjalannya waktu, aku menjalani pekerjaanku dengan serius. Berhenti bertanya hal itu kepada Tuhan tak membuatku melupakanNya, justru aku semakin mengandalkan-Nya dalam pekerjaanku.
Seperti lagu di awal artikel ini, kiranya kita tetap semangat dalam melakukan pekerjaan kita. Memang rasanya melelahkan dan tidak pernah habis, tapi kita percaya bahwa di akhir nanti kita akan menikmati “liburan musim panas” kita yang kekal bersama Tuhan.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: