Di tengah ingar-bingar dunia, kenapa aku merasa begitu sendiri, Tuhan?
Photo by Sasha Freemind on Unsplash
Tuhan, Tuhan, Mengapa Begini?
Cerita saya yang kesepian sangat mungkin berbeda dengan kamu. Keadaan kita juga tentu demikian bedanya. Namun, mungkin saja kita sama-sama merasakan sepi itu, juga sama-sama merindukan pulang ke "rumah". Kalau kita hewan, barang kali kita sama-sama alpaca. Alasannya sederhana, sih. Alpaca bisa mati karena kesepian, begitu juga saya, dan mungkin kamu. Nama saya Ryan, dan bagi saya, nama ini problematik. Saya Ryan, tapi tidak suka sepi yang datang dari kesendi-ryan. Hal itu mengacaukan pendi-ryan dan mendorong cari pela-ryan. Receh memang. Tapi, bukankah demikian? Bagi saya, kesepian memang mengacaukan dan memisahkan. Sekalipun kesepian itu bukanlah dosa, tapi saya menemukan kesamaan di antara keduanya. Laiknya dosa, sepi sering memisahkan saya dari Tuhan, dari sesama, dan yang makin ironis, memisahkan saya dari diri sendiri.
Tidak jarang, saya curiga pada Tuhan. Apakah Tuhan memang sengaja buat saya merasa sepi, supaya saya hanya berteman Dia? Dalam kecurigaan itu, Tuhan tampak begitu egois, posesif, atau barangkali protektif. Namun, dengan menghubungkan kesepian dengan Tuhan, hal ini juga yang menjadi sebuah penghiburan bagi saya. Bahwa, dengan bertanya demikian, saya mendapati dahaga dalam jiwa yang jawabannya hendak saya cari dari Tuhan, Allah yang memiliki jiwa, jiwa yang sepi ini. Begitu rapuh.
Dalam tahap ini, secara kognitif, saya dapat belajar bahwa kesepian yang saya alami menjadi sebuah kerentanan (awalnya hendak saya sebutkan kegagalan, tapi rasanya terlalu cepat untuk berkata demikian). Kerentanan dari atau terhadap apa? Kerentanan atas keadaan di mana saya sulit menangkap kasih dan berjumpa dengan Allah, baik dalam keseharian saya, dalam pergaulan dengan sesama, dalam diskusi dengan diri sendiri, hingga dalam doa-doa saya. Dekapan Yang Ilahi, yang konon katanya begitu dekat dengan ciptaan-Nya, tidak berhasil saya rasakan sentuhannya. Namun, memetik pelajaran secara kognitif ini tidaklah cukup membawa saya belajar setia memercayai bahwa Allah membersamai dan saya tidak betul-betul sendiri maupun sepi. Bahkan, sampai hari ini, sepi masih silih berganti mengisi ruang hati.
Tuhan, pernahkah Engkau merasakan kesepian?
Di surga sana, apakah Engkau merasakan sepi?
Tuhan, Aku Kesepian
Saya berusaha menyudahi berbagai pertanyaan yang takkan usai, mengenai mengapa saya kesepian. Rasanya bukanlah pilihan yang tepat untuk selalu mencari apa kesalahan yang membuat saya menjadi sepi. Bisa jadi, saya kesepian karena memang saya kesepian saja. Bukan karena saya melakukan kesalahan ini atau itu. Keinginan saya untuk menyudahi pertanyaan-pertanyaan yang tendensinya menyalahkan diri ini, juga tumbuh karena mendengar cerita-cerita dari sekelompok orang, bahwa di usia yang makin senja pun, kesepian tidak serta merta sirna. Sulit sekali untuk mengatakan ini, tapi rasanya kesepian akan terus menghantui hingga akhir hayat. Doa saya, semoga saja kita tidak betul-betul mati karena kesepian. Saat menuliskan ini, saya teringat kisah, yang entah bagaimana membacanya dengan tepat dan benar, sebuah kisah yang sangat tragis. Ketika tergantung hina di salib itu, Yesus berpekik "Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?" Jika saya adalah Yesus, saya mungkin akan mati, bukan saja karena disiksa sedemikian rupa hingga disalibkan, tetapi karena kesepian. Sepi karena ditinggalkan Allah, Bapa, yang memiliki jiwa ini! Tapi, apakah saat itu, Yesus kesepian?
Baru-baru ini saya membaca cerita pengalaman seseorang yang bergumul dengan kesehatan mental akibat peristiwa tragis yang terjadi atasnya beberapa tahun silam. Pengalaman itu sudah mengubahnya, tetapi tidak berarti pemulihan atasnya menjadi mustahil. Di balik cerita itu, kesan kuat yang saya tangkap adalah pentingnya mengakui dan menerima keadaan yang sulit sebagai bagian dari diri kita. Penting untuk apa? Penting untuk pulih. Bagaimana jika, dibandingkan terus mempertanyakan keadaan tragis atau barangkali mencari pelarian dari dampak yang dibawa keadaan itu, kita justru perlu untuk memilih mengakui dan menerimanya? Dibanding menyangkali perasaan sepi itu, bagaimana jika kita mengakuinya dulu? Sudahkah kita menerima bahwa kita saat itu, atau sedang, atau bahkan akan kesepian?
Saya mengerti betul bagaimana kesepian itu rasanya. Belum lagi kalau sepi itu bercampur dengan rasa bersalah, takut, marah, dan lain-lain. Atau jika kesepian itu berpadu dengan kecurigaan pada Tuhan maupun iri hati kepada sesama. Bohong untuk berkata kalau semua perasaan campur aduk ini biasa aja dan baik-baik. Parah! Tidak mengenakan! Apalagi? Sayangnya, kalau kamu membawa tulisan ini untuk mencari jalan keluar instan dari kesepian, kamu akan kecewa. Saya belum sanggup menyajikan jalan keluar komprehensif atau instan untuk segera tidak lagi merasakan sepi. Sebaliknya, melalui tulisan ini, saya hendak berbagi pergumulan. Bahwa meski masing-masing kita mungkin saja merasa sepi dan sendiri, setidaknya kita tidak "kesepian" dalam perasaan kesepian itu! Sederhananya, kita sama-sama anti sepi, sepi club! Sudah sejak lama, dan sampai hari ini, saya masih bergumul dengan kesepian yang silih berganti datang. Dengan atau tidak memiliki teman, dengan atau tidak ada di dalam gereja, dengan atau tidak berdoa, kesepian bisa saja datang dan mengancam saya. Saat sudah punya banyak teman, sudah berbela rasa di gereja, sudah berdoa pun, tidak berarti kesepian sudah lenyap dari kamus pengalaman hidup saya.
Photo by Marc-Olivier Jodoin on Unsplash
Secercah Harapan
Mengakui bahwa saya sepi menjadi langkah damai pertama saya dengan keadaan, Tuhan, sesama, dan diri saya sendiri. Menerima bahwa, terlepas dari apa pun pemicunya serta suka atau pun tidak, kesepian itu bagian dari perasaan saya. Walaupun rasa sepi tidak lekas sirna, semua keadaan tidak mengenakan ini pasti akan terlewati. Ya, semua pasti akan terlewati. Setidak-tidaknya, melihat saya yang dulu pernah melewati masa-masa sepi, maka saya yang mungkin kini tengah merasa sepi, suatu waktu akan melewati hari-hari yang berat ini.
Pada akhirnya, tanpa memaksa kamu untuk ikut serta mengambil pilihan yang saya ambil ini, saya memilih untuk mensyukuri kesepian ini. Saya bersyukur pada Allah, Tuhan Yesus Kristus, yang pernah merasakan kerapuhan sebagai manusia, yang bisa saja atau mungkin juga melewati hari-hari yang sepi dan tragis. Allah, yang merapuh ini, menjadi penghiburan bagi saya melewati hari-hari yang rapuh dalam kesepian. Allah, yang olehnya saya ditebus, menjadi kekuatan melewati masa-masa sulit dan sukar. Allah, yang menjanjikan langit baru dan bumi yang baru, menjadi pengharapan akan ada akhir dari semua masa-masa sukar, dan sekalipun kesukaran ini masih panjang, Dia adalah Allah yang membersamai kita hari ini dan akan kita jumpai muka dengan muka nanti. Sebelum hari itu tiba, kiranya Allah memberikan kekuatan dan damai sejahtera bagi kita untuk setia! Amin!
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: