Benarkah doa-doa, peribadatan, kegiatan-kegiatan, bahkan keberadaan kita sebagai gereja, senantiasa mengarahkan kita untuk berelasi dengan Tuhan, yang mengajarkan kita untuk mengasihi sesama, seperti kita mengasihi Tuhan dan diri sendiri?
MISAL
Misalkan Aku datang ke rumahmu
Dan kau sedang khusyuk berdoa
Akankah kau keluar dari doamu
Dan membukakan pintu untuk-Ku?
(Joko Pinurbo, 2016)
Saat pertama kali membaca puisi ini, saya kagum dengan pilihan kata dan pesan yang disampaikan Joko Pinurbo. Berani sekali dia menggunakan perspektif Tuhan untuk mempertanyakan apa yang sedang manusia lakukan. Tetapi saat membaca Ed-Letter Ignite di bulan Agustus kemudian merenungkan tema Gara-Gara Gereja, puisi ini langsung melayang-layang di pikiran saya. Misalkan kita sedang beribadah di gereja, kemudian Tuhan datang di luar gerbang gereja, akankah kita sadar tentang kedatangan-Nya dan menyambut-Nya? Atau mungkin kita tetap lurus, fokus, khusyuk (dan mulai agak mengantuk) untuk melanjutkan peribadahan tanpa tahu sedang mengarahkannya kepada siapa?
Photo by Joshua Davis on Unsplash
Di Indonesia, gereja masih menjadi komunitas yang sangat penting bagi umat Kristen. Gereja juga menjadi elemen penting bagi identitas seseorang.
“Gereja di mana?”
“Di GKI.”
“Wah, rajin rapat nih, pasti pola pikirnya sistematis dan bijaksana dalam mengambil keputusan.”
“Gereja di mana?”
“Di GBI.”
“Wih pasti kreatif, energik dan ceria nih, secara ibadahnya selalu menyenangkan.”
“Gereja di mana?”
“Di Katolik.”
“Weeeh pasti melankolis dan romantis nih, sering devosi nih dia.”
Hehehe. Bagian ini hanya intermeso saja, tapi kayaknya memang ada ‘kan orang-orang yang mengenali orang lain lewat informasi dia bergereja di mana? :p
Gereja sebagai tempat beribadah umat Kristen dianggap sebagai pusat ruang pertumbuhan iman seseorang. Maka yang rajin ke gereja dan aktif berkarya di gereja akan mengalami pertumbuhan iman dan punya relasi yang dekat dengan Tuhan. Apakah ini pernyataan yang salah? Tentu tidak! Saya yakin ini terjadi di banyak pribadi dan banyak gereja. Ada banyak orang yang bertumbuh spiritualitasnya saat melekatkan diri pada gereja. Ia semakin kenal Tuhan melalui kegiatan-kegiatan gereja yang ia ikuti. TETAPI, jika pernyataan itu diubah menjadi “Maka hanya yang rajin ke gereja dan aktif berkarya di gereja yang akan mengalami pertumbuhan iman dan punya relasi yang dekat dengan Tuhan,” barulah saya protes!! Apakah hanya mereka yang bolak-balik gereja-rumah-gereja-rumah-lah yang imannya tumbuh subur di hadapan Tuhan?
The Good Samaritan by David Teniers
Ada satu bagian Alkitab yang cukup terkenal yang bisa kita bahas untuk melanjutkan tulisan ini, yaitu tentang orang Samaria yang baik hati. Cerita kebaikan hati orang Samaria merupakan tamparan keras bagi ahli Taurat yang bertanya pada Yesus tentang siapakah sesamanya (Lukas 10 : 25-37). Yesus secara tajam menyinggung gaya hidup pemuka-pemuka agama yang sangat “bertanggung jawab” atas rutinitasnya di Bait Allah hingga tidak punya kepekaan untuk menolong orang lain yang sangat membutuhkan bantuan.
Melalui cerita itu, Yesus menunjukkan sebuah ironi bahwa seorang imam dan seorang Lewi dapat dengan mudah mengabaikan seorang korban rampok setengah mati—yang kemungkinan besar baru saja beribadah dari Yerusalem. Sosok yang muncul sebagai penolong justru seorang Samaria. Seseorang yang berasal dari kelompok yang dianggap rendah karena keturunannya telah bercampur dengan suku lain. Orang Samaria itu menolong dengan sangat baik, ia merelakan tenaga, waktu, dan materinya untuk menolong sosok yang terluka.
Sebagai pengikut Kristus (alias orang-orang Kristen), kita tentu tidak akan heran dengan perumpamaan yang Yesus ceritakan kepada ahli Taurat. Yesus memang begitu, pikirannya nyentrik! Ia berbeda dengan pemuka-pemuka agama kebanyakan yang mengenal Allah lewat rutinitas keagamaan. Yesus hadir pada masa itu untuk “mengganggu” sistem beragama yang sudah paten. Untuk membuat orang mempertanyakan ulang apa yang sedang dilakukan dalam rangka menjalin relasi dengan Tuhan. Image by Jens P. Raak from Pixabay
Apakah benar peribadatan yang rutin dan menyita banyak waktu kita, adalah jalan utama untuk menjalin keintiman dengan Tuhan?
Apakah benar imam dan Lewi yang melaju terus tanpa memedulikan sosok yang terluka itu adalah sekelompok orang yang imannya bertumbuh subur?
Jika ditarik pada hidup kita di zaman ini, apakah benar dengan pergi ke gereja dan mengikuti berbagai kegiatan membuat kita punya iman yang seturut ajaran-Nya? Atau jangan-jangan rutinitas bergereja yang menyibukkan kita itu seringkali membuat kita mengabaikan orang-orang di sekitar yang sedang sangat membutuhkan bantuan kita?
Pertanyaan-pertanyaan tadi baru membahas kehidupan iman kita sebagai person, belum sebagai komunitas.
Photo by Anna Earl on Unsplash
Sebagai gereja, apakah segala peribadahan yang kita selenggarakan, benar-benar sebuah upaya kita untuk merasakan sapaan cinta kasih Tuhan? Atau justru hanya menjalankan rutinitas mingguan, harian, bulanan, tahunan, yang “emang harusnya begini” tanpa ada rasa gereget dan haus akan getaran-getaran cinta atas kehadiran-Nya di peribadatan kita?
Apakah segala pelayanan diakonia yang kita jalankan merupakan upaya kita yang serius untuk menyatakan cinta kasih pada jemaat dan masyarakat yang butuh ditolong? Atau justru hanya rutinitas penghabisan anggaran dan bentuk aktualisasi diri dari gereja itu bahkan sudah "melupakan prinsip mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri" dan hanya "mengasihi sesama demi kepuasan diri"?
Apakah segala rapat dan persidangan di gereja masih menjadi ruang bagi kita untuk berdiskusi dan bergumul di bawah tuntunan Roh Kudus untuk mencari dan menemukan kehendak Allah bagi setiap persoalan yang komunitas hadapi? Atau justru segala rapat dan persidangan itu hanya ruang bagi kita untuk adu argumen dan mengedepankan ego dan kepentingan masing-masing di bawah tuntunan Roh Kusud (alias pikiran-pikiran yang kusut dan berantakan)?
Image by Himsan from Pixabay Sampai sini mungkin kita sudah harus bertanya secara serius: sebenarnya, apa yang sedang kita lakukan sebagai gereja? Benarkah doa-doa, peribadatan, kegiatan-kegiatan, bahkan keberadaan kita sebagai gereja senantiasa mengarahkan kita untuk berelasi dengan Tuhan yang mengajarkan kita untuk mengasihi sesama seperti kita mengasihi Tuhan dan diri sendiri?
Hmm entahlah. Saya tidak tahu. Saya juga belum tahu apakah saya sudah menjadi gereja. Tapi mungkin ayat di bawah ini bisa membantu kita untuk memeriksa diri kita sebagai gereja:
Matius 25 : 40
“..Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.”
(ditulis oleh seorang pengikut Kristus yang sedang berproses jadi hamba Tuhan.
Kira-kira nanti saya akan jadi pelayan seperti imam, orang Lewi, atau orang Samaria yang baik hati ya?)
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: