Di tangan anak-anak, kertas menjelma perahu Sinbad, yang tak takluk kepada gelombang, menjelma burung, yang jeritnya membuka kelopak-kelopak bunga di hutan, di mulut anak-anak, kata menjelma Kitab Suci. “Tuan, jangan kau ganggu permainan ini.” – Sajak berjudul “Di Tangan Anak-Anak” oleh Sapardi Djoko Damono.
Artikel #SPY4 telah membahas bagaimana rasa hormat dari anak terhadap orang tua itu ditumbuhkan dalam diri sang anak sejak dini. Lalu, cara seperti apa sih, yang orang tua gunakan untuk mendidik anak-anaknya? Apakah sebagai orang tua, kita harus menjadi layaknya seorang pelatih militer atau drill sergeant seperti yang dikatakan oleh Jim Fay, agar anak-anak mau patuh dan menghormati kita? Yuk, kita temukan jawabannya di sini!
Hedge with Love
Dalam artikel di laman resminya, Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat menyampaikan setidaknya ada tiga kebutuhan dasar yang harus dipenuhi dalam kehidupan seorang anak, yakni kebutuhan fisik-biologis (ASUH), kasih sayang dan emosi (ASIH) dan stimulasi (ASAH). Kebutuhan ASIH memuat rasa aman, dicintai, dan dihargai. Karena itu, dalam proses pengasuhan oleh orang tua yang berlangsung setidaknya hingga anak beranjak dewasa (dalam berbagai aspek), orang tua harus menyediakan pemenuhan atas perasaan-perasaan tersebut. Nah, Yael Trusch dalam prinsip parenting-nya yang keempat ini juga mengutip sebuah kalimat dari Sanhedrin 107b:
“The right hand draws near and the left hand pushes away”
Perikop tersebut menceritakan tentang pemerintahan Raja Daud, namun ayat keduanya menceritakan tentang Daud yang memohon pengampunan dari Allah, tetapi Dia tetap memberikan penghukuman atas dosanya tersebut. Namun penghukuman yang diberikan oleh Allah disertai juga dengan pengampunan dan perlindungan atas keturunan Daud yang terwujud pada jaman pemerintahan Raja Salomo. Dari kisah ini, kita dapat melihat bahwa dalam pengasuhan-Nya terhadap umat-Nya, Allah memang menghukum tetapi juga berbelas kasih dengan memberikan pengampunan dan perlindungan. Ada rasa aman yang diciptakan dalam pengasuhan Allah kepada Daud dan umat-Nya. Dari kutipan kalimat di atas kita dapat belajar bahwa dalam mengasuh anak, orang tua perlu memberikan perlindungan dengan "tangan kanannya" tetapi pada "tangan kirinya" orang tua memberikan dorongan bagi sang anak untuk terus melangkah maju dan berkembang secara optimal. Kebutuhan ASIH ini tidak boleh dilupakan apalagi disingkirkan dalam pengasuhan terhadap anak-anak.
Jim Fay menjabarkan ciri-ciri dari ketiga pattern pola asuh orang tua yang dikemukakan oleh Baumrind, yakni tipe Helicopter (Permissive) , Drill Sergeant (Authoritarian) dan Consultant (Authoritative). Pola asuh orang tua dengan tipe ‘Helikopter’ akan dengan senantiasa memberikan rasa aman dan nyaman kepada sang anak, namun perasaan itu diberikan atas dasar rasa ketidakpercayaan orang tua akan kemampuan sang anak dalam melakukan sesuatu, sehingga melupakan kebutuhan ASAH pada anak. Orang tua dengan tipe seperti biasanya sebisa mungkin membela anak mereka dalam setiap masalah dan mengambil peran atas tanggung jawab pribadi sang anak. Mungkin kita sering mendengar kata-kata seperti, “Udah sini mama aja, kamu gak bisa," atau orang tua yang over-protective dan mengeluarkan ungkapan serupa. Sayangnya, pola asuh dengan tipe ini akan menumbuhkan rasa kurang percaya diri serta anak yang kurang dapat bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, sebab tidak ada dorongan untuk mengembangkan kemampuannya.
Photo by 吴 迪 on Unsplash Di sisi lain, pola asuh dengan tipe Drill Sergeant seolah-olah melupakan kebutuhan ASIH pada anak. Orang tua dengan tipe seperti ini biasanya selalu menuntut dan berekspektasi tinggi pada anak. Masih menurut Jim Fay, biasanya orang tua yang demikian menjadi pemegang kendali atas keputusan-keputusan pribadi sang anak, sehingga dia tidak pernah diajak berdiskusi atas pilihan-pilihan yang ada. Misalnya, dalam menentukan ekstrakulikuler, sampai dengan jurusan di bangku kuliah. Kalimat-kalimat yang dilontarkan juga sering mengandung ancaman. Bentuk manifestasi pola asuh ini bisa terlihat dari hal-hal sederhana pada tingkatan awal. Misalnya, ketika anak susah makan, orang tua sering mengatakan kan, “Nanti Mama/Papa bawa ke dokter aja deh kalo gamau makan, biar disuntik! Sakittt lhooo”. Tipe pengasuhan seperti ini, bisa jadi menumbuhkan anak-anak yang pemberontak atau pendiam dan penurut bukan karena hormat tetapi karena trauma dan takut (termasuk tidak mau ke dokter karena asosiasinya yang langsung berujung pada kegelisahannya jika disuntik).
Nah, dalam bukunya, Jim Fay memang secara fokus membahas tipe Consultant, yakni pola asuh yang menggunakan logika tetapi juga cinta kasih dan senantiasa memberikan rasa aman. Pada awalnya, orang tua dengan tipe seperti ini akan memberikan pesan-pesan yang memotivasi anak untuk mau mencoba hal-hal baru. Ketika anak mengambil keputusanpun, mereka hanya akan memberikan pertimbangan sederhana bagi anak dan membiarkan mereka memilih dengan mengingatkan mereka akan konsekuensi yang ada pada setiap pilihan. Orang tua dengan tipe Consultant juga akan menjauhkan percakapan-percakapan soal tuntutan terkait tanggung jawab sang anak, misalnya dengan mengatakan, “Udah dibayarin sekolah mahal-mahal masih males aja kamu itu!” Mereka juga senantiasa menjadi teladan dan memberikan contoh untuk menyelesaikan suatu hal, sehingga anak menjadi tertantang untuk bisa melakukannya juga, dengan tanpa adanya sebuah ancaman. Pola asuh seperti ini akan menjadikan anak lebih percaya diri dan bertanggung jawab atas pilihan-pilihan dalam hidupnya.
Pengasuhan Allah yang tergambar dalam Sanhedrin 107b yang di satu sisi mengajarkan umat-Nya dengan memberikan penghukuman sebagai konsekuensi atas perbuatan mereka. Namun di sisi lain, Dia juga mengampuni, tetap memberikan perlindungan terhadap mereka, serta menerapkan pola asuh tipe Consultant yang disampaikan oleh Jim Fay (dan yang sangat ditekankan oleh Yael Trusch). Oleh karena itum sebagai mitra Allah, orang tua seharusnya juga menerapkan pola asuh seperti itu. Mungkin tidak semua orang tua memperoleh teladan dalam authoritative parenting, sehingga cenderung menggunakan pola asuh yang diturunkan oleh orang tua mereka. Di sinilah pentingnya letak kerendahan hati untuk terus-menerus belajar mendidik dan mengayomi anak seperti yang telah Kristus lakukan. Orang tua perlu memiliki teachable heart dan selalu bersedia untuk dikoreksi oleh Tuhan (dimana Dia bisa berbicara melalui apa saja) Memang tidak mudah, namun ketika anak-anak melihat perjuangan orang tua dalam mengasihi mereka, anak-anak akan semakin mengenal bahwa didikan yang diberikan juga bukti nyata dari cinta kasih Allah melalui orang tua.
Selamat menyatakan cinta!
*Prinsip-prinsip Jewish Parenting dari Yael Trusch lainnya akan dibahas pada artikel-artikel #SPY selanjutnya. See you!
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: