Kami diundang untuk mulai berdamai dengan citra diri sebelum menyatakan damai itu dalam interaksi satu sama lain.
“Jomblo perak” adalah predikat yang sungguh saya banggakan. 25 tahun hidup tanpa pernah berpacaran (atau bahkan menyatakan rasa suka kepada siapapun), mungkin bagi sebagian orang terdengar ngenes, tapi tidak bagi saya.
Track record putih bersih itu adalah perpaduan dari berbagai faktor. Mulai dari ketidakmampuan melihat gunanya pacaran, kegelian melihat pasangan-pasangan mengumbar kemesraan, berbagai problematika hidup yang rasanya lebih penting diseriusi, rasa minder dengan kapasitas diri menarik hati orang lain, hingga tendensi biseksualitas yang sempat membuat saya menyeriusi opsi selibat (komitmen jomblo dan tanpa romansa seumur hidup).
Sesungguhnya 1 Korintus 7:1-16 adalah perikop favorit saya mengenai kehidupan romansa. Bahwa adalah baik bila seseorang tidak kawin, namun kawinlah bila tidak dapat menguasai diri, saya amini sebagai suatu idealisme yang menyegarkan. Kalau bisa tidak kawin, kenapa nggak? Paling tidak begitu pikir saya untuk waktu yang lama.
Tapi waktu akhirnya berbicara. Saya tidak kuat. HAHAHA. Semakin saya menyadari bahwa keinginan saya selibat lebih merupakan ambisi dan bukannya panggilan mempersembahkan hidup kepada Tuhan, semakin saya meyakini bahwa saya pun merindukan pasangan.
Saya mulai lebih sering mencoba berkawan dengan lawan jenis. Pendekatannya simpel: yang penting berteman dulu. Kalau ada yang menarik hati, syukur, kalau tidak ada, syukur juga, karena ambisi selibat masih bisa dipuaskan.
Photo on Unsplash
Eh, Kok Jadian?
Iya, saya kaget. Wajar kok kalau banyak yang kaget saya akhirnya pacaran, karena saya sendiri tidak menyangka, terlebih dengan segala prosesnya yang penuh spontanitas.
Perkenalan saya dengannya sungguh khas millennial: lewat media sosial. Keusilan membuka profil-profil di Instagram menggiring saya pada akunnya. Saya tertarik melihat namanya yang bagus, lalu buka akunnya, lumayan cakep orangnya, eh ternyata punya mutual followers pula (karena lingkaran pergaulan beririsan, sama- sama anak GKI dan persekutuan kampus). Tombol follow saya klik.
Lha kok ya orangnya gak lama nge-follow balik, dan lewat Direct Message langsung mengapresiasi tulisan saya yang dimuat IGNITE. Saya pun tertawa-tawa kecil. Dari situlah hubungan pertemanan kami dimulai, 7 Agustus 2017.
Photo on Unsplash
Seperti pertemanan kebanyakan, intensitas percakapan kami naik-turun. Ada kalanya kami asyik chat sepanjang hari, ada kalanya tanpa kontak untuk waktu agak lama, yang saya rasa wajar karena kami tidak sekota dan punya kesibukan masing- masing yang lebih menarik. Saya pun kadang lupa berteman dengannya, sampai untuk suatu alasan pada pada pertengahan Mei 2018 kami rajin chatting lagi, bahkan intensitasnya terus meningkat, membuat saya mulai meyakini bahwa kelihatannya dia worth it untuk saya nyatakan rasa suka.
Lalu bagaimana saya menyatakan rasa suka kepadanya? Sungguh, tidak ada romantis-romantisnya sama sekali. Hanya lewat pesan Whatsapp, sambil menunggu giliran kontrol ke psikiater di rumah sakit, sementara dia sedang makan nasi Padang.
Perencanaannya? Nyaris tidak ada. Saya hanya meyakini bahwa Juni 2018 nampaknya timeline yang tepat untuk saya mencari celah menyatakan rasa suka kepadanya. Bermodalkan improvisasi, celah itu pun saya temui. Malamnya saya telepon untuk mengelaborasikannya lebih lanjut dan mengajaknya mendoakan selama dua bulan. Hari itu 13 Juni 2018.
Niat awal dua bulan ternyata menjadi hanya tiga minggu. Dia mengajak kami bertelepon dan menjawab “ya” pada 2 Juli 2018, menjelang tengah malam. Sungguh ingin ketawa-ketawa kalau ingat hari itu. Nekat sekali kami berdua, bertemu secara langsung saja belum pernah, sudah merasa saling cocok.
Photo by on Unsplash
Relasi = Solusi?
Apakah relasi menjadi solusi buat kami? Mungkin iya, untuk membungkam pertanyaan-pertanyaan “kapan punya pacar” dari orang-orang sekitar (termasuk orang tua). Juga untuk meningkatkan hormon dopamin di otak karena banyak likes dan komentar manis masuk ketika kami memasang status in a relationship di Facebook maupun foto bareng di Instagram. Pun menjadi solusi ketika ekspresi afeksi yang kami sukai, yaitu sentuhan, akhirnya menemukan kepuasan ketika kami berpelukan ataupun berpegangan tangan, sesuatu yang kami begitu nikmati ketika sedang bisa bertemu muka dalam relasi jarak jauh ini.
Tapi kalau mau jujur, sebenarnya relasi ini lebih banyak menimbulkan ‘masalah’ daripada solusi. Kenapa? Karena kami ingin menjalani sebuah relasi yang serius. Relasi dengan visi untuk memuliakan Tuhan, menuju sebuah pernikahan dan kehidupan berkeluarga.
Kami sama-sama keluar dari zona nyaman masing-masing yang sebenarnya tidak ingin-ingin banget berpacaran. Ada ambisi maupun harapan yang harus dikompromikan dan didialogkan karena keyakinan akan dijalani berdua ke depan. Ada interaksi yang semakin intens, yang selama relasi ini kami jalani tujuh bulan sejauh ini, memang menghasilkan gesekan-gesekan yang menimbulkan luka.
Photo by on Unsplash
Belajar Lewat Luka
Namun demikian, luka yang saling kami torehkan membuat kami belajar, terutama soal tanggung jawab berelasi. Belajar menghancurkan ego dan meminta maaf maupun mengampuni kesalahan, juga mengambil langkah perbaikan sebagai bentuk refleksi atas apa yang sudah kami buat. Belajar untuk sadar bahwa ini akan menjadi perjalanan panjang, yang karenanya tak aneh bila diselingi kejatuhan- kejatuhan. Belajar untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama, dan menguatkan diri di titik-titik di mana kami rapuh.
Proses terluka dan pulih bersama ini membuat kami menyadari hakikat diri masing- masing. Kami diundang untuk mulai berdamai dengan citra diri sebelum menyatakan damai itu dalam interaksi satu sama lain. Sungguh indah ketika pelan tapi pasti, citra diri yang terpulihkan itulah yang kami bagikan untuk menjadi berkat dalam sebuah relasi. Bahwa kami sama-sama manusia penuh luka, berdosa namun dikasihi Allah tanpa batas.
Basis - Bangunan Atas
Maka sebenarnya, merupakan suatu tanggung jawab bagi kami untuk mendasarkan bangunan relasi ini pada sebuah basis fondasi yang kokoh, yaitu kasih-Nya akan semesta ini. Eksistensi kami bukanlah dari ruang hampa, melainkan dari tumpukan cinta kasih Allah yang menyentuh generasi-generasi yang mendahului kami. Sebuah kasih radikal yang memberontak di tengah dunia yang penuh kerusakan dan benci karena dosa.
Photo by on Unsplash
Kalaupun kami masih bisa ada sampai saat ini, itu karena kasih-Nya lewat orang- orang yang pernah menyentuh hidup kami. Sudah selayaknya bila relasi kami adalah perpanjangan rasa syukur karena telah dikasihi terlebih dahulu. Semesta sejatinya adalah sebuah cerita cinta yang Allah garap secara berkelanjutan lewat makhluk-makhluk di dalamnya. Bila kami diizinkan ambil bagian dalam cerita cinta itu lewat hidup kami, terlebih lewat relasi ini, biarpun amat kecil dan jauh dari sempurna, kami merasa tersanjung.
Pada akhirnya, apalah artinya sebuah relasi romansa bila hanya untuk memenuhi kepuasan pribadi tapi tidak menjadi berkat bagi sesama. Doa kami pun simpel: untuk jadi berkat. Perjalanan akan berat, tapi saya menemukan kelegaan karena akan menjalaninya bersama Dia, dan dia.
Baca Juga
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: