“Deposuit Potentes de Sede et Exaltavat Humiles” - kalimat penutup novel keempat Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Buru, "Rumah Kaca", dari terjemahan Latin Lukas 1:52
“….Sejauh apa sejarah telah benar-benar membebaskan kita?”
Kalimat tanya ini mengakhiri takarir Rara Sekar dalam videonya ketika menyanyikan lagu “Tini dan Yanti” di Pulau Buru. Rara menyampaikan pengalamannya berkunjung ke Pulau Buru pada Desember 2021 setelah sekian lama hanya membaca dan membayangkannya.[1]
Pulau Buru adalah area pengasingan tahanan politik Orde Baru yang dihubung-hubungkan dengan peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965. Kini tempat itu sepi, menyisakan mantan tahanan politik yang masih berdiam di sana, di usia tuanya, dalam upaya memaafkan dan tidak mendendam. Demikianlah perlawanan terakhir mereka, menurut Rara: untuk merawat harapan dan kehidupan sampai napas terakhir di hari-hari tersisa.
Betapa pilunya pengalaman berkunjung ini bagi seseorang yang banyak terlibat aktivisme sosial seperti Rara. Ada berbagai macam emosi, perasaan, dan pikiran berkecamuk baginya kala itu: marah, kecewa, tak berdaya, sedih, bersalah. Perasaan yang mungkin kita, kelas menengah perkotaan dengan hidup (relatif) aman dan nyaman, akan rasakan juga bila mau coba memahami fakta-fakta sejarah atas peristiwa pembantaian dan penahanan ratusan ribu hingga jutaan manusia kala itu.
“LA HISTORIA ME ABSOLVERA”
Dalam kalutnya, pada satu momen Rara menyempatkan duduk merenung di mulut panggung Gedung Kesenian Savanajaya, menyanyikan lagu “Tini dan Yanti”. Lagu ini adalah versi gubahan ulang mantan kolektif musiknya, Banda Neira, atas himne dari tulisan Ida Bagus Santosa di dinding penjara, tentang Tini, istrinya, dan Yanti, anaknya dalam kandungan.[2] Lagu sekaligus doa segenap tahanan politik pasca-G30S atas ketidakadilan dan penyiksaan yang mereka alami. Kalimat terakhir lagu itu dinyanyikan berulang-ulang oleh Rara:
“La historia me absolvera...”
Kalimat bermakna “sejarah akan membebaskanku” ini diucapkan Fidel Castro di pengadilan melawan dakwaan kepadanya atas serangan terhadap barak militer Kuba.[3] Di kemudian hari namanya dibersihkan. Castro bahkan bertransisi dari pemimpin pemberontakan bawah tanah menjadi pemimpin Kuba. Sejarah memang membebaskannya.
Namun, sejauh mana sejarah benar-benar membebaskan yang tercatat sebagai pecundang?
Photo by Guille Álvarez on Unsplash
“SAYA BISA APA?”
Hidup benar-benar tidak adil bagi begitu banyak orang. Kita pun sering luput berefleksi dan bersolidaritas dengan mereka yang dipecundangi para penguasa sejarah. “Sejarah ditulis oleh para pemenang” bisa jadi diam-diam sungguh meresap dalam diri kita sehingga kita juga merasa tak berdaya di hadapan “para pemenang” itu.
Pertanyaan bernada kekalahan itu pun muncul, “Saya bisa apa?”
Pertanyaan “Saya bisa apa?” ini bisa hadir dalam banyak kondisi kehidupan, dari yang personal sampai yang politis. Ada rasa tak berdaya di hadapan carut-marut dunia. Perang antarbangsa, penindasan dan eksploitasi oleh yang merasa berhak berkuasa, perusakan lingkungan demi keserakahan, pengesahan regulasi yang merampas ruang hidup dan berpendapat, perselisihan antargolongan, kegagalan berdamai dengan sekitar, tidak harmonisnya hubungan kerja profesional, konflik pribadi dengan orang-orang terdekat, sampai keinginan menyudahi hidup karena putus asa.
Perasaan tidak berdaya ini semakin menyadarkan saya bahwa yang diutarakan Carol Hanisch dalam esainya[4] ada benarnya, “the personal is political.” Ketidakberdayaan personal yang begitu mengimpit ini tidak lepas dari konteks sosial ketika yang berkuasa dan berpunya semakin menyatakan kekuatannya dan bertindak semaunya, mengisap keberdayaan orang-orang yang sebenarnya bahkan hanya ingin hidup. Penguasa yang berdaya secara material dan spiritual, secara ekonomi dan politis, yang disebut Walter Wink sebagai “the powers that be”[5], merenggut ruang-ruang pribadi dan komunitas untuk berkarya, berdaya, dan bernapas.
MARIA, YANG PERSONAL DAN POLITIS
Bila saya sebagai laki-laki Jawa kelas menengah dengan keleluasaan hidup lebih banyak di Indonesia saja merasa tidak berdaya di hadapan para “pemenang sejarah” di hari-hari ini, entah bagaimana perasaan Maria, “Yang Melahirkan Allah” (theotokos).
Maria adalah definisi (calon) pecundang sejarah. Warga kelas dua, perempuan belasan tahun yang menjelang waktunya dinikahkan. Sebentar lagi dia akan menjadi milik seorang laki-laki, seperti banyak perempuan Yahudi lainnya yang diperistri. Dia harus tunduk pada sistem patriarkis yang menetapkan kodratnya sebagai perempuan.
Secara personal, dia lemah. Konteks kelemahannya sebagai perempuan muda jelata diperparah keadaan bangsanya, Israel, tanpa daya dalam jajahan imperium Romawi. Secara politis, bangsa Israel sedang berputus asa, merindukan nabi yang sudah ratusan tahun tidak hadir untuk menubuatkan juruselamat politis yang membebaskan mereka dan memulai kebangkitan bangsa pilihan Allah. Ketidakberdayaan personal berkaitan dengan konteks politis kaumnya di masa itu.
Saya tak akan heran jika Maria bertanya-tanya, “Saya bisa apa?” Keterkejutannya seperti yang tertulis dalam Lukas 1:29 akan kehadiran malaikat Gabriel dan pertanyaan penuh kecemasannya ("Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?") menyiratkan ketidakberdayaan serta ketakutannya karena akan melahirkan Firman yang Menjadi Daging “di luar nikah” oleh peran kuasa Roh Kudus. Berita yang terasa mustahil dan mengagetkan di tengah hampanya pengharapan.
Photo by Michael Payne on Unsplash
SANG PENEBUS SEJARAH
Segala konteks menuju “berita mustahil” itulah yang membuat cara Maria berproses dalam Lukas 1:26-56 sungguh menarik. Dari ketidakberdayaan menuju keberanian (walau tentu juga dalam kecemasan). Dari seorang perawan muda yang lemah dan takut, dikuatkan lewat janji yang disampaikan malaikat Gabriel bahwa “bagi Allah tidak ada yang mustahil”, konfirmasi mukjizat yang juga dialami Elisabet yang akan melahirkan Yohanes Pembaptis, hingga kemudian dalam keberaniannya yang mengejutkan dan dicatat penulis Injil Lukas dia mendaraskan nyanyian revolusioner di Lukas 1:46-56 (“Magnificat”). Simaklah Lukas 1:52-53:
“Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah; Ia melimpahkan segala yang baikl kepada orang yang lapar, dan menyuruh orang yang kaya pergi dengan tangan hampa;”
Bagaimana bisa Maria beranjak dari segala ketidakberdayaan menuju keberanian untuk mengucapkan pujian kepada Allah?
Ini semua di luar nalar. Sejatinya wajar, karena tak ada yang mustahil bagi Allah.
Pembacaan kembali bagian ini akan menggelisahkan dan menolong kita untuk menyadari bahwa Juruselamat hadir untuk penebusan holistik. Sejarah keselamatan selalu menjadi bingkai Allah bekerja dalam semesta. Sang Juruselamat hadir menebus segenap sejarah, baik secara personal (atas pribadi-pribadi yang merindukan penebusan dosa) maupun politis (atas segenap ciptaan yang berada dalam penindasan rezim kerajaan maut yang berkuasa).
Sang Penebus Sejarah yang kita kenal dalam diri Yesus Kristus—yang lahir dari perempuan yang lemah secara personal dan politis—mengalami hidup penuh pergumulan personal dan politis juga, sampai kematian-Nya sebagai kriminal dengan tuduhan makar, turun-Nya dalam kerajaan maut, hingga bangkit-Nya yang menaklukkan segala kuasa kegelapan.
PENEBUSAN YANG MEMBEBASKAN
Tahun 2022 mungkin ditutup dengan pesimis. Ancaman pertarungan antarkekuatan dunia, ketidakpedulian terhadap lingkungan yang mendekatkan kita pada krisis ekologis, terancamnya ruang kebebasan berpendapat, kondisi ekonomi menjelang resesi yang melahirkan banyak ketidakpastian, hingga tingkat keinginan bunuh diri yang meningkat karena rasa tak berdaya itu begitu kuat.
Tidak ada momen yang lebih tepat untuk mengingat dan berpegang pada janji yang begitu indah yang datang dari kemustahilan. Dia yang lahir dalam kesederhanaan personal dan ketidakberdayaan politis, akan menaklukkan segala penguasa di udara, menebus sejarah, sungguh-sungguh membebaskan semesta dari belenggu dosa, menghadirkan “langit dan bumi baru”, semesta yang terpulihkan.
Karena Yesus Kristus, Sang Penebus Sejarah, yang lahir di kandang domba itu menebus kita secara personal, satu demi satu, untuk memberdayakan kita secara politis, menang melawan kerajaan maut.
Yesus Kristus yang sama juga akan menghapuskan air mata segenap semesta karena penindasan yang berkuasa, ketika kerajaan maut dan kungkungan dosa itu benar-benar telah ditaklukkan-Nya untuk selamanya.
Yesus Kristus yang sama jugalah Pribadi yang mengaruniakan Roh Kudus, Penuntun yang menggerakkan kita untuk berdaya dan saling menguatkan, melawan segala ketidakberdayaan hidup, hingga Maranatha.
Selamat menyambut kelahiran Sang Penebus Sejarah. Kebenaran-Nya membebaskanmu.
Referensi:
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: