Rumah itu adalah akumulasi dinamis konflik-konflik yang ditaklukkan, dalam pimpinan Tuhan, bersama orang-orang yang kepadanya rasa sayang kita terus bertumbuh.
Hal yang saya suka dari bahasa Inggris untuk kata “rumah” adalah adanya dua kata yang mewakili, “house” dan “home”. Tentu sudah kita banyak dengar tentang pemaknaan kedua kata tersebut, di mana “house” hanya menunjukkan fisik bangunan yang menjadi tempat tinggal, sementara “home” mempunyai bobot kehangatan, afeksi, dan intimasi yang membuat kita nyaman menyebut sebuah tempat atau komunitas sebagai “rumah”.
Ketika kita membicarakan pulang ke “rumah”, mungkin “home” yang seutuhnya inilah yang begitu kita rindukan.
Pertanyaannya, bagaimana jika tempat yang seharusnya dapat menjadi “home” kita yang paling dasar, keluarga inti, hanya terasa seperti “house”, atau bahkan lebih buruk lagi, “prison”? Bukan tempat ingin berpulang, melainkan tempat yang darinya kita justru ingin kabur?
Entahlah, saya tidak punya jawabannya, dan daripada memaksa saya sanggup memberikan jawaban, saya ingin membagikan pengalaman pribadi, dan bagaimana proses pergumulan Yakub diam-diam begitu influentialbagi saya dalam menyelesaikan konflik dengan keluarga saya.
Kisah itu Dimulai
Sejak kecil, saya bertumbuh sebagai anak yang relatif baik-baik, dalam keluarga yang terlihat baik-baik. Saya pun pada dasarnya bukan orang yang senang mencari masalah. Malah, saya cenderung berusaha menghindari masalah, dan menyembunyikan masalah bila ada. Belajar yang rajin, mengikuti kemauan orang tua, memenuhi harapan mereka di sekolah dengan selalu meraih peringkat yang bagus, tidak membuat onar, dan segala hal yang dapat dikualifikasikan dalam norma sosial sebagai predikat anak baik-baik.
Photo by Aaron Burden on Unsplash
Sampai suatu saat ketika SMA, saya menyadari suatu hal.
Saya mulai muak dengan kedua orang tua saya. Dengan cara mereka menuntut kesempurnaan prestasi kepada kedua anaknya. Dengan cara mereka memaksakan tuntutan dan ekspektasi mereka akan anak-anaknya. Dengan cara mereka membangga-banggakan keberhasilan anak mereka di depan teman-temannya. Dengan sindiran-sindiran mereka kepada hal yang tidak sesuai keinginan mereka. Dengan cara mereka memperlakukan kegagalan yang dialami anaknya.
Pelan-pelan saya sadari tidak ada kehangatan di tempat bernama rumah itu. Hanya tuntutan keberhasilan yang terasa begitu dingin. Rumah, dalam representasi keluarga inti, hanyalah tempat karantina.
Seiring dengan kebencian yang terus bertumbuh terhadap orang tua, keinginan saya untuk bunuh diri mulai terasa kencang, dan awan gelap bernama depresi itu mulai bernaung.
Dalam rasa putus asa sekaligus kemarahan terhadap orang tua, saya mulai ingin memberontak dalam diam.
Percikan-percikan pemberontakan itu bermunculan saat SMA, ketika saya dalam diam tidak mengusahakan prestasi sama sekali hingga saya dalam kondisi di ambang tidak naik kelas saat kelas 11 IPA (jurusan yang mereka paksakan).
Mereka yang terbiasa menuntut excellence, harus menanggung malu mengetahui panggilan wali murid karena nilai yang hancur tanpa alasan yang jelas (karena sayapun tidak pernah berbuat masalah di sekolah). Air mata yang begitu jarang keluar dari mata mereka, mengucur.
Dalam tangis mereka, muncul senyum kecil dari bibir saya.
Hari itu saya menyadari, saya memang membenci kedua orang tua saya.
Photo by Tommy van Kessel on Unsplash
Buat saya saat itu, dalam upaya mengais keinginan melanjutkan hidup, tidak ada yang lebih membahagiakan daripada tangisan malu mereka. Semangat untuk membuat mereka sedih, dengan tetap terlihat sebagai “anak baik-baik”, secara begitu ironis menjadi bahan bakar melanjutkan hidup.
Kehidupan terus berlanjut. Saya tetap lulus SMA walaupun dengan nilai pas-pasan, dan masuk ke kampus dan jurusan yang tidak sesuai mimpi orang tua saya namun tetap tidak memalukan. Kemampuan menghindar dari inti masalah ini terus bertahan sepanjang kuliah, di mana saya bisa menghindari rumah dan kontak dengan orang tua dengan alasan kesibukan kampus.
Hingga tiba masa-masa pengerjaan skripsi.
Saya rasa tidak berlebihan bila saya melihat kemampuan skripsi mengobrak-abrik diri mahasiswa, membuka berbagai kenyataan yang selama ini disembunyikan.
Saya mulai sering di rumah dan berjumpa dengan orang tua lagi. Lambatnya pengerjaan skripsi membuka konflik pribadi dengan orang tua, bahkan memperjelas bagaimana konflik itu sudah mengakar begitu dalam, dengan pernyataan-pernyataan amarah dan kekesalan yang makin frontal dari mereka.
Kemudian tiba hari itu, ketika tiba-tiba orang tua melabrak dosen pembimbing saya. Saya mendapatkan amukan dari orang tua maupun dosen pembimbing.
Hari itu, sampai hampir dua tahun berikutnya, saya menjadi zombie. Hidup segan, mati tidak mau. Depresi bertambah parah, dan orang tua semakin sedih dan malu dengan kondisi anaknya ini.
Dua tahun itu adalah masa-masa yang begitu gelap. Masa ketika saya mendoakan kematian saya setiap pagi. Masa di mana saya pernah nyaris menghentikan mobil di tengah rel kereta api. Masa ketika saya menghindari semua orang yang menanyakan kabar saya. Masa saya mengisolasi diri karena sudah tidak mampu melihat keberhargaan sebagai manusia, namun juga tidak memiliki keberanian untuk bunuh diri.
Pelan-pelan kelihaian saya menghindar dari masalah dan melarikan diri dari inti pergumulan terus digerus oleh Tuhan. Kebanggaan diri saya akan kemampuan ini makin lama makin pudar. Semua amunisi dan toolsuntuk mengulur waktu itu pelan-pelan habis.
Kita tahu kisah Yakub yang terus menerus melarikan diri dan mengulur waktu berjumpa dengan orang yang memiliki konflik begitu berat dengannya, Esau. Setelah semua dikirimkan ke Esau, dan usaha membangun “benteng” terhadap konflik itu sudah mencapai titik akhir, tinggallah Yakub seorang diri. Yakub kehabisan waktu dan alasan mengulur. Yakub pun terkunci dan tidak bisa lari lagi. Pertemuan dengan “sang musuh” yang adalah anggota keluarganya sendiri itu akan datang.
Saat-saat inilah ketika saya merasakan betapa nyatanya kisah Yakub dalam hidup saya. Saya terpojok. Tidak bisa melarikan diri lagi. Satu-satunya jalan keluar adalah dengan berhadapan langsung dengan “sang musuh”, yang adalah orang tua saya sendiri.
Mungkin terdengar berlebihan, tapi pada saat itu, saya merasa harus mengambil pilihan antara hidup dan mati. Pergumulan pribadi yang pelik ini membawa saya pada situasi yang dialami Yakub ketika sendirian: berkelahi dengan Tuhan.
Photo by Joseph Argus on Unsplash
Sebuah Pertarungan yang Mengubahkan
Kita mungkin belajar dari Yakub bahwa di balik pergumulannya yang singkat namun mengubahkan dengan Allah itu, ada bertahun-tahun akumulasi latar belakang kehidupan yang membawa pada perjumpaan itu.
Saya pun melihat bahwa bertahun-tahun konflik pribadi dan keluarga itu terbangun, ternyata membawa saya pada titik ini. Titik nadir. Titik hidup dan mati. Bergumul dan bertarung dengan Tuhan.
Berbeda seperti pembacaan atas Yakub, pertarungan saya dengan Tuhan berlangsung tanpa kurun waktu yang jelas dan definitif. Tapi dalam jejak-jejak kehidupan, secara gradual saya menyadari pertarungan yang mengubahkan itu.
Pertarungan itu dimulai dengan kemuakkan menghadapi depresi dan keputusasaan hidup yang tak kunjung selesai, status di kampus yang terancam Drop-Out, dan konflik dengan orang tua yang menunggu untuk mencapai titik ledak yang mengerikan.
Masa-masa itu menyadarkan saya, bahwa bila saya masih ingin terus melanjutkan hidup, ada tiga peperangan yang harus dihadapi. Dua di antaranya adalah peperangan dengan konsep diri yang hancur dan dengan sesama, dalam kaitannya dengan hal ini, keluarga sendiri, terutama orang tua.
Tapi ada yang harus dihadapi terlebih dahulu sebagai akar dari semuanya.
Saya punya semacam kemarahan dengan Tuhan yang saya anggap seolah membiarkan ini semua terjadi.
Sebuah konflik yang saya hindari selama ini dan sempat salah saya terka karena keterlibatan aktif saya dalam kegiatan rohani dan bagaimana saya menikmati proses “berkenalan” dengan Tuhan di masa itu.
Seperti Yakub, ada motif egois dalam diri saya ketika berelasi dengan Tuhan.
Saya disadarkan bagaimana segala diskusi dan pencarian saya akan Tuhan di masa itu hanyalah sekadar pemenuhan nafsu logika untuk memahami konsep Tuhan, bukan demi perjumpaan yang mengubahkan kekerasan hati saya.
Maka dengan pelan-pelan saya belajar bertobat dan menyelaraskan hati saya dengan apa yang saya pahami sebagai kemauan Tuhan.
Kisah Yakub menuntun saya dalam pergumulan dengan Tuhan ini untuk menyelesaikan konflik lainnya.
Photo by Anthony Intraversato on Unsplash
Saya, dalam segala kejatuhan dan kehancuran diri, pelan-pelan merintis jalan untuk bangkit.
Saya mulai hubungi dosen pembimbing saya lagi setelah kepala program jurusan dengan ajaibnya memberikan saya izin cuti supaya bisa menyelesaikan skripsi di semester depan.
Saya mulai beranikan mengakui kejatuhan mental saya dan menuruti resep obat psikiater, yang selama ini menjadi momok begitu besar yang saya hindari.
Saya mulai berani terbuka mengakui kondisi mental yang saya hadapi kepada orang-orang yang peduli kepada saya.
Saya memberanikan diri berjumpa dan membuka segala kebencian saya kepada orang tua, dalam suatu dialog yang melelehkan air mata. Akhirnya kami dituntun pada kesepakatan untuk bersama-sama merendahkan hati di hadapan Tuhan dan bertobat. Proses pertobatan itu juga termasuk terlibat dalam deret konsultasi yang melelahkan bersama psikiater.
Penjara kehidupan saya yang bernama “keluarga” yang begitu dingin itu, pelan-pelan menghangat.
Pergumulan bersama Allah itu, pelan-pelan saya rasakan membawa pemulihan dalam keseharian hidup saya. Saya mulai merasakan lagi dunia, dan secara spesifik, keluarga, sebagai rumah yang menghangat dan mulai nyaman untuk ditinggali. Nyaman, karena konflik-konflik yang ada dipulihkan satu demi satu, dalam pimpinanNya.
Singkat cerita, skripsi saya selesai, saya lulus kuliah, konflik dengan orang tua mereda, dan proses pemulihan diri saya terus berlangsung hingga sekarang.
Apakah bisa dibilang semuanya berakhir dengan bahagia, happily ever after?
Saya rasa tidak, atau mungkin lebih tepatnya belum. Masih ada berbagai pertengkaran dengan orang tua, pemberontakan kepada Tuhan, dan self-love yang belum sepenuhnya tulus. Tapi saya mulai melihat kehidupan dan keseharian sebagai “rumah” dengan segala dinamikanya, yang awalnya menakutkan namun ternyata mengajar diri untuk bertumbuh sebagai manusia.
Penyelesaian konflik besar dalam keluarga ini membuat saya lebih yakin untuk menyelesaikan satu demi satu konflik yang ada. Satu demi satu. Demi membangun keluarga inti yang mana saya sendiri bisa kembali merasakan kehangatan.
Photo by Annie Theby on Unsplash
Atas pergumulan ini, saya kini menyadari bahwa ada paralel dalam pergumulan untuk membereskan konflik diri dengan keluarga: saya, seperti Yakub, harus menelan bulat-bulat kemampuan gengsi yang begitu besar. Gengsi yang membuat saya terus menghindari konflik.
Akhirnya saya tidak punya pilihan selain tunduk dan memohon berkat Tuhan, yang menginisiasi rekonsiliasi dengan segala ciptaan. Walaupun saya menyadari benar bahwa setiap keluarga memiliki permasalannya masing-masing. Saya hanya mencoba membagikan sebuah pergulatan yang membuat saya lebih mantap dalam bertumbuh.
Bahwa “rumah”, home, yang menjadi tempat kita berpulang, ternyata dapat kita benar-benar rasakan selama hidup di dunia ini. Dan mungkin berbeda dari pemahaman kita selama ini, rumah itu bukanlah suatu hal statis yang selalu terasa membahagiakan. Rumah itu adalah akumulasi dinamis konflik-konflik yang ditaklukkan, dalam pimpinan Tuhan, bersama orang-orang yang kepadanya rasa sayang kita terus bertumbuh.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: