Seorang dengan penguasaan diri yang baik akan membuat keputusan dengan baik, hingga akhirnya ia mampu mendatangkan hasil yang baik dan berkenan di hadapan Allah
Kurang dari sebulan lagi, pemilihan Presiden dan wakil Presiden akhirnya akan digelar. Sepanjang perjalanan menuju pesta demokrasi tersebut, kita telah disuguhi berbagai macam peristiwa, mulai dari berita yang membuat kita mengeryitkan dahi—hingga sesuatu yang membuat kita tertawa geli.
Sadar atau tidak, Pemilu kali ini lagi-lagi membagi publik menjadi golongan-golongan besar. Kesemuanya merasa bahwa saling kritik dan menghina golongan lain seolah menjadi hal yang lumrah. Padahal seharusnya kita tidak perlu jadi seperti itu.
Saya pribadi melihat Pemilu kali ini sebagai ajang bagi kita—orang Kristen—untuk belajar menguasai diri lebih lagi. Di tengah lautan perbedaan pandangan, perbedaan pilihan, meruncingnya suatu hubungan, serta masifnya isu dan konten—baik benar mapun tidak—di berbagai media, penguasaan diri ibarat kemudi kapal yang menjaga arah gerak kehidupan kita.
Bukan tidak mungkin kita terseret oleh derasnya arus konflik antargolongan. Secara tak sadar, pikiran kita dapat terpengaruh hingga akhirnya membuat kita tak lagi berpikir jernih, luas, dan rasional; ibarat sedang memakai sebuah kacamata kuda.
Penguasaan diri
“Jika saya terpilih lagi di Pilkada tersebut, saya hanyalah seorang laki-laki yang menguasai balai kota saja, tetapi saya di sini (Mako Brimob) saya belajar menguasai diri seumur hidup saya,” – Basuki Tjahja Purnama.
Itulah sepenggal surat yang ditulis oleh mantan Gubernur DKI Jakarta sesaat sebelum ia bebas. Penguasaan diri kini begitu penting mengingat padatnya arus informasi yang beredar melalui berbagai media disertai kecerdasan buatan yang dikembangkan di berbagai platform teknologi. Kecerdasan buatan memiliki kemampuan untuk menerka apa artikel yang ingin kita baca dan hanya menyuguhkan berita-berita yang sesuai dengan pandangan kita.
Hiruk-pikuk dan tingginya tensi politik karena Pemilu menjadikan banyak orang—termasuk kita) kehilangan kendali diri. Perbedaan pilihan dan pandangan kerap menjadikan kita memiliki kecenderungan untuk menghina, merundung, hingga menghakimi seseorang yang berbeda pilihan dan pandangan dengan kita.
Saya ingat betul kasus ketika seorang perempuan yang pada waktu itu merupakan anggota tim pemenangan salah satu pasangan calon, mengaku dipukuli. Foto wajah lebamnya terlanjur viral tetapi berakhir dengan kenyataan bahwa lebam itu disebabkan oleh operasi plastik.
Oleh kejadian tersebut, sosial media hingga dunia nyata sudah menjadi begitu gaduh dibuatnya. Beragam komentar negatif pun sudah terlanjur muncul. Apakah kita merupakan salah satu oknum yang berkomentar negatif tersebut? Apakah kita termasuk orang yang menghakimi dan menyudutkan wanita tersebut? Lalu, apakah Kristus mengajarkan hal yang demikian?
Ingatkah kita akan cerita mengenai seorang perempuan yang dibawa oleh ahli Taurat ke hadapan Yesus karena tertangkap basah sedang berzinah. Apakah Yesus mengatakan kalau perempuan itu pantas dilempari batu—sesuai dengan aturan hukum Taurat? Apakah Yesus kemudian mengklaim dan menghakimi perempuan tersebut sebagai seorang pendosa ?
Tidak! Sebaliknya, Tuhan justru menantang para ahli Taurat tersebut untuk menjadi orang yang pertama melempari wanita tersebut jika mereka merasa dirinya tidak berdosa. Akhirnya, para ahli Taurat tersebut pergi satu per satu dan meninggalkan perempuan itu berdua dengan Tuhan.
“Tetapi buah roh ialah : kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal hal itu” – Galatia 5:23
Seseorang yang tidak mampu menguasai diri akan cenderung mengikuti hawa nafsu dan keinginannya sendiri. Baginya, tidak ada lagi kebenaran. Hanya ada pembenaran yang dibentuk oleh pemikiran dan pengetahuannya sendiri. Pengetahuan tanpa pengendalian diri hanya akan berbuah kesombongan serta menjadikan kita buta dan picik.
“Justru karena itu kamu harus dengan sungguh-sungguh berusaha untuk menambahkan kepada Imanmu kebajikan, dan kepada kebajikan pengetahuan,dan kepada pengetahuan penguasaan diri, kepada penguasaan diri ketekunan, dan kepada ketekunan kesalehan, dan kepada kesalehan kasih akan saudara-saudara, dan kepada kasih akan saudara-saudara kasih akan semua orang ” – 2 Petrus 1:5-7
Sadar atau tidak, saat ini banyak orang menjadi fanatik pada tokoh-tokoh tertentu dan menjadi marah ketika tokoh idolanya dikritik. Tidak jarang apa yang dikatakan dan diperintahkan oleh tokoh idolanya dianggapnya sebagai perintah Tuhan, walau opini tersebut secara normatif terang-terangan salah.
Fanatisme berlebih terhadap satu tokoh adalah contoh nyata bahwa banyak orang yang tidak dapat menguasai dirinya dengan baik. Mereka lebih memilih untuk menjadikan dirinya seorang berhala, bukan seorang hamba yang mau setia.
Dalam bukunya berjudul Kebenaran-kebenaran Dasar Iman Kristen, R.C. Sproul menuliskan bahwa kebajikan-kebajikan seperti yang tertulis pada kitab Galatia 5:23 merupakan karakteristik dari kehidupan orang Kristen yang dipenuhi oleh Roh Kudus. Artinya kehidupan seorang Kristen dikontrol oleh Roh Kudus dan bukan oleh hawa nafsunya.
Buah Penguasaan Diri
Seseorang dengan penguasaan diri yang baik akan membuat keputusan dengan baik. Ujungnya, ia akan mampu mendatangkan hasil yang baik dan berkenan di hadapan Allah. Salomo mampu menguasai dirinya dengan baik ketika ia lebih memilih meminta hikmat dalam menimbang setiap perkara kepada Tuhan daripada umur panjang dan kekayaan. Akhirnya, Tuhan mengaruniakan kepadanya lebih dari apa yang dimintanya. Yusuf juga menguasai dirinya dengan baik ketika istri Potifar menggodanya. Meski akhirnya ia harus dipenjara, Tuhan tetap memeliharanya dan sehingga apa yang diperbuatnya selalu berhasil.
Sebaliknya, mereka yang tidak mempu menguasai dirinya dengan baik akan mendapatkan murka Tuhan. Adam dan hawa tidak mampu menguasai dirinya dan terperdaya oleh tipu muslihat Iblis sehingga mejadi awal kejatuhan manusia dalam dosa. Daud juga gagal dalam menguasai dirinya dari hawa nafsu dan lebih menuruti keinginan dagingnya untuk memiliki Batsyeba. Tuhan pun murka dan menimpakan malapetaka keatasnya. (2 Samuel 12:11)
Menjelang Pemilu yang semakin dekat, teruslah belajar untuk mampu menguasai diri dengan baik dan tekun. Perlahan, dengan hikmat Tuhan, kita akan mampu menyelaraskan kehendak bebas dalam menetapkan pilihan dengan kehendak dan kedaulatan Tuhan, akan siapa yang ditetapkan oleh-Nya menjadi pemimpin di Indonesia.
Selamat memilih, selamat belajar mengendalikan diri, Tuhan memberkati.
Gbr : Unsplash
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: