I'm on a roller coaster that only goes up. And it is my privilege and my responsibility to ride all the way up with you. -Augustus Waters, TFIOS
Waktu kebersamaan Hazel Grace Lancaster dan Augustus Waters memang singkat dibandingkan dengan ketidakterbatasan waktu. Namun, keterbatasan itu tidak mengurangi nilai dan kesan yang Gus berikan bagi Hazel Grace. Gus yang awalnya berada dalam kondisi relatif lebih baik dari Hazel Grace ternyata harus mengalami penurunan kondisi yang cukup cepat dan tajam karena sel kankernya sudah menyebar. Seperti bisa diprediksi tetapi tak ingin diterima oleh pembaca, Gus akhirnya menghembuskan napas terakhirnya dan meninggalkan Hazel Grace yang harus hidup bersama dengan kenangannya.
Hidup seperti Gus dan Hazel Grace mungkin bukanlah hidup yang dibayangkan oleh kebanyakan dari kita. Siapa yang berharap bahwa di usia 18 tahun ia kehilangan satu kaki atau bergantung pada tabung oksigen? Orang tua mana yang menginginkan anaknya lebih dulu meninggalkan mereka? Kehidupan seperti ini bukanlah kehidupan yang mudah untuk dijalani dalam aspek apapun. Yang mengherankan, di tengah hidup yang tidak mudah itu Gus tetap dapat menjalaninya dengan self-content, seperti saya tuliskan dalam artikel sebelumnya.
Photo by Mackenzie Ross on Pinterest
Saya terkesima dengan bagaimana Gus bisa menikmati kehidupannya dan memaknainya, tidak hanya bagi dirinya sendiri tetapi juga orang lain. Saya rasa kita pun bisa menarik pelajaran dari kehidupan Gus supaya kita pun bisa memaknai kehidupan kita. Mari kita belajar beberapa hal mengenai self-content dari Gus.
1. Menerima diri
Gus sadar bahwa dengan penyakitnya ini, ia mungkin tidak akan dapat bertahan lama. Namun, dikelilingi oleh sesama penderita kanker, dia menyadari bahwa tidak hanya dia yang mengalami kesulitan, bahkan beberapa mungkin dia lihat mengalami hal yang lebih sulit. Memang dia sempat berada di fase denial (menolak keadaan) ketika sel kankernya mulai menyebar. Namun, dia tetap bisa menemukan makna kehadirannya bagi Hazel Grace, Isaac, dan orang tuanya. Dia bahkan menerima bahwa mungkin waktunya sudah tidak lama lagi sehingga ia meminta Hazel Grace membuat dan melatih eulogi untuknya.
“Tetapi jawab Tuhan kepadaku: ”Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku” (1 Kor. 12:9). Paulus, rasul yang sangat berapi-api dalam mengabarkan Injil, juga tidak lepas dari kelemahan. Ketika dia memahami bahwa kelemahan dirinya hadir untuk suatu maksud, dia dapat menerima keadaannya. Begitu juga dengan Gus yang menerima dirinya dan berusaha memanfaatkan hidupnya supaya jadi bermakna bagi orang di sekitarnya. Menggambarkan keberadaan dirinya, Gus berkata, “I'm on a roller coaster that only goes up, my friend.“
2. Memberikan diri untuk orang lain
Saat diminta untuk berbagi tentang ketakutan terbesarnya, Gus berkata, “I fear oblivion. I fear it like the proverbial blind man who’s afraid of the dark.” Dia menggambarkan ketakutannya seperti seorang buta yang tidak bisa membedakan bagaimana berjalan dalam gelap atau tidak, tetapi tetap takut akan kegelapan. Sekalipun dia tidak tahu bagaimana rasanya benar-benar dilupakan, dia tetap takut terhadapnya. Ketakutan inilah yang memotivasi Gus untuk hadir bagi orang-orang yang penting bagi dirinya, termasuk teman-temannya dalam support group yang dia ikuti. Mungkin ini adalah sebuah motivasi yang asing atau aneh bagi kita, tapi herannya orang pun dapat memiliki motivasi seperti ini untuk menjadi bermanfaat bagi orang lain.
Kata Paulus kepada jemaat di Galatia, “Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus” (Gal. 6:2). Hidup dengan orang lain, terlebih saudara seiman, seharusnya membuat kita menyadari bahwa tiap orang memiliki kelemahan dan kekuatan. Yang kuat dapat menanggung yang lemah, dan dengan demikian kita dapat saling membantu. Kita tidak pernah tahu sampai kapan kita hidup, tetapi kita bisa hidup memberikan makna bagi orang lain melalui kehidupan kita, seperti yang Gus lakukan.
3. Meninggalkan warisan (legacy)
“Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama,” demikian kata sebuah peribahasa dalam Bahasa Indonesia. Kalau kata Gus, “I want to leave a mark.” Gus, yang takut dirinya dilupakan setelah meninggal, menyatakan bahwa dia juga ingin meninggalkan jejak di dunia ini. Dia ingin hidupnya memberikan kesan yang berharga bagi orang-orang di sekitarnya. Paulus berpesan kepada Timotius, “Jangan seorang pun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu” (1 Tim. 4:12). Tidak peduli berapa umur kita atau siapa kita, seharusnya kita menjadi teladan bagi orang-orang di sekitar kita (Tit. 2:7a). Teladan itulah yang akan kita tinggalkan sebagai warisan hidup kita, lebih dari apapun yang ada di dunia. Gus setidaknya meninggalkan warisan bagi Hazel Grace karena menemaninya melalui pengalaman yang tak ternilai selama hari-harinya yang terbatas. Seperti Hazel Grace ungkapkan dalam euloginya, “You gave me a forever within the numbered days, and I'm grateful.”
Photo by Joshua Hoehne on Unsplash
Saya melihat bagaimana Gus bisa mengungkapkan self-content melalui cara dia hidup. Saya sendiri juga adalah seorang yang menikmati warisan dari kehidupan orang lain, yaitu opa dan oma saya. Berinteraksi sehari-hari dan terlibat merawat ketika mereka sakit cukup menjadi saksi betapa mereka peduli dengan keluarga dan ingin agar kami jadi kesaksian juga bagi orang lain. Dalam kondisi yang tidak mudah, saya dan keluarga juga berproses menerima kondisi harus merawat mereka ketika sakit, sambil menikmati waktu untuk berbagi perjalanan iman dengan mereka. Sekarang keduanya sudah tiada, tetapi memori yang berkesan masih teringat seperti baru terjadi kemarin. Saya bersyukur karena sempat menikmati hidup bersama mereka yang sudah merasa cukup dengan hidupnya dan belajar dari mereka.
Ignite People, selalu ada hal buruk yang tidak bisa diubah, entah itu bagian dari diri kita, pengalaman kita, maupun keadaan dunia. Hal-hal ini mungkin meninggalkan luka bagi kita. Untuk itu, mari kita belajar menyadari dan menerima hal-hal tersebut, serta melakukan apa yang bisa kita lakukan untuk membuat hidup kita bermakna. Sepenggal dari Serenity Prayer ini saya harap bisa membantu kita lebih memaknai hidup dan luka kita.
“God, grant me the serenity to accept the things I cannot change, courage to change the things I can, and the wisdom to know the difference.”
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: