“The remarkable thing about God is that when you fear God, you fear nothing else, whereas if you do not fear God, you fear everything else.” - Oswald Chambers
SAAT PENGUASA BERKATA “JANGAN TAKUT”
8 Februari 2022 malam, dalam segala privilege mengakses internet, lini masa media sosial saya terasa mencekam. Rasa miris yang saya alami tidak berarti apa-apa dibandingkan kondisi lapangan atas kejadian tersebut.
Paginya, di desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, sejumlah besar aparat memasuki desa. Kurang lebih 200 aparat berseragam dan 50 personel berpakaian sipil dikerahkan untuk mendampingi 70 petugas Badan Pertanahan Nasional dan Dinas Pertanian melaksanakan pengukuran tanah dan penghitungan tanaman tumbuh warga yang setuju lahannya dibebaskan untuk keperluan penambangan andesit di perbukitan desa Wadas.[1]
Hasil penambangan itu digunakan untuk pembangunan Bendungan Bener, bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) berlokasi 10 kilometer dari Desa Wadas. Pembebasan lahan yang sesungguhnya amat kontroversial dan mendapat resistensi kuat dari sebagian besar warga yang menolak lahannya dibebaskan.
Betapa tidak, secara turun-temurun, warga Wadas hidup tercukupi. Alam telah begitu baik. Pertanian multikultur melimpah, mencukupkan kebutuhan ekonomi warga (rata-rata hasil pertanian per bulan lebih dari dua kali Upah Minimum Kabupaten Purworejo) sambil tetap menjaga harmoni dengan alam.[2]
Maka ketika ada yang mengharuskan mereka pindah demi “pembangunan” dan menawarkan “ganti untung” yang sejatinya tidak “untung” karena mencerabut mereka dari ekosistem yang berkah, mereka gelisah. Pengentasan kemiskinan atau penggemukan dompet yang berpunya?[3]
Kegelisahan semakin beralasan setelah untuk kesekian kalinya mereka diancam, ditakut-takuti, bahkan dihajar. Walau warga mencoba berlindung di sebuah masjid, aparat tetap berani bertindak represif. Warga Wadas yang menolak tambang ditangkap paksa. Paling tidak 64 warga ditangkap. Tidak sedikit yang mengalami kekerasan fisik dan verbal. Kuasa hukum warga Wadas dari LBH Yogyakarta pun ikut ditangkap.[4]
Segala aksi pengepungan, kekerasan, represi, dan penangkapan massal itu membuat warga ketakutan dan trauma. Kekerasan semacam itu rawan terulang kembali sampai mereka menyerahkan lahannya.
Atas naiknya berita yang mencekam ini, apa kata kepala daerah mereka dalam merespons segala kesewenang-wenangan itu?
“Iya ada pengukuran, hanya pengukuran saja kok, tidak perlu ditakuti, tidak akan ada kekerasan.”[5]
Jangan takut.
Warga diminta tidak menyikapi serbuan aparat secara berlebihan. Semua akan berjalan aman dan kondusif, bahkan walau ketakutan itu sungguh wajar ketika begitu banyak aparat datang membawa senjata lengkap, listrik dimatikan dan saluran internet dilambatkan.
Iya. Jangan takut. Walau terancam persekusi tanpa mengetahui apa salah mereka, warga tetap dilarang takut.
Sungguh lucu, bukan?
Ungkapan “jangan takut” sungguh tidak selaras dengan tindakan-tindakan birokrat sedari masa perizinan penambangan di Wadas dimulai hingga saat ini, ketika sengketa masih berlangsung. Segala tindakan sewenang-wenang dan keganjilan pengambilan keputusan rezim terasa tidak konsisten dengan ucapan-ucapan yang mencoba menenangkan namun tidak menyelamatkan. Warga pun harus berjuang membela dirinya sendiri, dengan cara-cara nirkekerasan yang sayangnya begitu kontras dengan kedigdayaan sumber daya pemilik kuasa dan modal untuk mempertahankan keputusan mereka.[6]
Ketika yang berkuasa dan berpunya berkata jangan takut, tidakkah mereka sebenarnya berharap yang mereka kuasai takut dan tunduk? Untuk menghadirkan efek jera bila tidak mau takut? Untuk menghadirkan, seperti tema besar novel George Orwell, “Nineteen Eighty Four”[7], budaya ketakutan?
Membaca segala kepiluan ini, saya kembali merasa tak berdaya dan bingung bisa berbuat apa, merasa lemah dan ciut.
Benarkah kita tidak boleh takut ketika dunia begitu kuat ingin menakut-nakuti kita?
Photo by Priscilla Du Preez on Unsplash
SAAT ALKITAB BERKATA “JANGAN TAKUT”
Tampaknya Alkitab menangkap dengan kuat ketakutan-ketakutan manusia yang hadir dalam berbagai situasi, tidak hanya dalam situasi mencekam, tetapi juga yang sifatnya terkesan remeh dalam keseharian. Konon, menurut sebuah ungkapan motivasional, frasa “jangan takut” muncul sebanyak 365 kali di Alkitab, untuk mengingatkan orang percaya setiap hari dalam setahun, bahwa kita tidak perlu takut.[8]
Saya tidak sepenuhnya yakin itu tujuan utama frasa “jangan takut” muncul di Alkitab. Saya juga tidak yakin frasa itu muncul sebanyak 365 kali. Namun dalam estimasi paling pesimistis pun, sejauh saya membaca Alkitab, frasa itu begitu sering muncul. Tema supaya tidak takut, jangan-jangan, memang terus bergema sepanjang Alkitab.[9] Kasih Allah, yang mengalahkan segala ketakutan, dengan kuat berteriak dari halaman pertama sampai terakhir Alkitab.
Kasih yang mengalahkan segala ketakutan itu juga bergema saat kita membaca narasi kebangkitan Yesus. Pada Matius 28:1-10, frasa “jangan takut” muncul dua kali, di ayat 5, saat malaikat-malaikat menenangkan para perempuan yang menjadi saksi pertama kebangkitan Yesus, dan di ayat 10, saat Yesus sendiri menjumpai, meneguhkan, dan menguatkan mereka untuk menyampaikan kepada saudara-saudara-Nya supaya mereka pergi ke Galilea, sebab di sanalah mereka akan melihat Dia.
Pun pada Yohanes 20:19, dalam ketakutan para murid terhadap orang-orang Yahudi sehingga mereka mengurung diri, Yesus datang. Dia berdiri di tengah-tengah mereka dan berkata: “Damai sejahtera bagi kamu!”
“Jangan takut” dari-Nya hadir di saat paling tepat, ketika yang percaya kepada-Nya sungguh ngeri dengan pergumulan dunia, tetapi kehadiran-Nya menjanjikan kemenangan sejati.
Sungguh kontras dengan “jangan takut” khas penguasa yang ingin menggunakan kekuatannya untuk mendominasi, bukan?
Walau begitu, untuk tidak takut adalah perjuangan besar dalam hidup sebagai manusia berdosa. Ketakutan senantiasa menjadi motivasi terbesar untuk bertarung memperjuangkan kehidupan. Ketakutanlah yang dalam proses evolusi menggerakkan manusia untuk menyintas dan bertahan hidup, bahkan menjadi spesies yang “menaklukkan” bumi.[10]
Kita takut dengan akibat dari kejadian masa lalu, konsekuensi dari perbuatan masa kini, dan apa yang akan kita hadapi di masa depan. Kita takut kenyamanan-kenyamanan kita direnggut. Kita takut dihabisi dan dieksploitasi pihak yang lebih kuat. Rasa takut begitu mendarah daging sampai-sampai kita tak sadar dia memotivasi kita dalam segala hal.
Tak pelak bahkan dalam beriman pun di hari-hari ini kita bertanya, apakah kehadiran-Nya sungguh menjadi alasan kuat untuk benar-benar tidak takut?
(BERSAMBUNG)
Referensi:
[1] https://projectmultatuli.org/cara-polisi-melakukan-kekerasan-ke-warga-wadas-penolak-tambang-andesit-saat-mengepung-desa-wadas-februari-2022/
[3] https://projectmultatuli.org/tanah-surga-wadas-dijadikan-tambang-mengapa-pemerintah-menindas-petani/
[4] https://projectmultatuli.org/wadasmelawan-tanpa-kekerasan-membalas-pukulan-polisi-dengan-hasil-bumi-untuk-ndoro-ganjar/
[5] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220208134242-12-756477/ganjar-pranowo-soal-polisi-kepung-desa-wadas-tidak-perlu-takut
[6] https://projectmultatuli.org/main-kata-di-isu-wadas-bagaimana-harmoni-persaudaraan-berpikir-positif-jadi-alat-pembungkaman/
[7] Orwell, George (1949). Nineteen Eighty-Four. Secker & Warburg.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: