Stop running from what God is calling you to, because you can never cross the finish line running the wrong direction!
Siang ini, sebelum menulis di sini, saya sedang mencerna baik-baik tulisan seorang dosen. Rasanya seperti sok-sok-an pintar mencerna setiap kata. Kok, sok-sokan? Soalnya para mahasiswa butuh satu semester untuk lulus matkul ini, sementara saya? Kenapa malah merasa sudah memahami inti perkuliahan cuman berdasar satu tulisan saja. Maaf, slepet saja diri saya ini…
"Jangan ngadi-ngadi lu ya, Rim… Sombong amat!" (jangan lupa bacanya pakai ekspresi @Keanugl)
Well, kembali lagi, tulisan ini berangkat dari tulisan dosen saya. Beliau berbicara tentang Teologi Keramahan—atau yang akhir-akhir ini seringkali kita dengar dengan hospitalitas, hospitality, keramahan— dan dewasa ini diperkenalkan juga dengan sebutan kesanggrahan. FYI, kesanggrahan berarti kita sedang memberi “ruang” bagi sesama di “sanggar” kita, inti yang sama dalam makna keramahan.
So, apakah judul saya typo? Tidak. Memang begitu, hostipitalitas atau hostipitality adalah sebuah neologisme dari Derrida yang mempertemukan hospitalitas (keramahan) dan hostility (permusuhan) dalam sebuah jalinan kerjasama berdasarkan temporalitas atau dinamika waktu. Heh, apa itu maksudnya? Susah amat. Lalu, apa hubungannya dengan Yunus? Baik, pertanyaan Anda langsung tepat ke inti. Namun sebelumnya, izinkan saya menjelaskan beberapa hal dulu. Menurut Derrida, ketika kita diperhadapkan pada suatu situasi yang bisa membuat kita mentok atau buntu, dead-end, maka hospitalitas dapat berubah cepat menjadi hostilitas. Demikian juga sebaliknya, situasi dead-end dapat segera mengubah hostilitas menjadi hospitalitas. Itu semua tergantung dengan dinamika waktu situasi yang dihadapi seseorang dalam kondisi dead-end. Itulah cara kerja hostipitalitas. Sekarang sudah mulai bisa menangkap alurnya, kan?
Photo by Clay Banks on Unsplash
Nah, situasi hostipitalitas ini terjadi juga pada Yunus. Saat muncul sebuah situasi penting karena diutus Tuhan untuk harus menuju ke Niniwe (Yun. 1:1-2), Yunus diperhadapkan pada pilihan pergolakan dalam batinnya: hendak ber-hospitalitas atau ber-hostilitas. Jika mengambil jalur pilihan hospitalitas atau kesanggrahan, berarti Yunus akan menerima tugas panggilan Allah tersebut, dan belajar bergaul akrab dengan Niniwe meskipun dia tahu tugasnya tidak mudah. Sebaliknya, jika mengambil jalur pilihan hostilitas atau permusuhan, berarti Yunus akan memilih untuk putar balik dan menjauh dari tugas tersebut. Seperti yang kita tahu, keputusan akhir Yunus di hari itu jatuh pada pilihan, “Oke, aku kabur saja…” (Yun. 1:3)
Sebenarnya, bagi saya Yunus bukanlah nabi yang slengekan, bandel, dan sebutan-sebutan buruk lainnya, apabila ngana semua merasa dia demikian. Pilihan dia untuk menjalani hostilitas di awal panggilannya menuju Niniwe, tentu sudah dia pikirkan matang-matang. Maaf sebelumnya, bagian ini bukan berarti saya mau membela Yunus. Hanya saja, seorang Yunus pasti tahu persis siapa Pemerintahnya, Instrukturnya, Komandannya, yang tidak bisa dia sepelekan dan tidak bisa dia bohongi. Gara-gara dia merasa yakin bahwa Tuhan terlalu pengasih dan penyayang untuk mengampuni Niniwe yang kelewat durhakanya (Niniwe adalah ibukota Asyur yang sangat brutal dalam menyiksa manusia, dan saat itu Yunus justru diutus kepada bangsa penjajah Israel, bangsa kelahirannya), maka ia kabur dari tugas pokok dan fungsinya sebagai nabi (Yun. 4:1-2). Di sini kelihatan sekali Yunus tidak siap untuk menyambut Niniwe dalam kesanggrahan. Ia berpikir dalam kacamata keadilan manusianya yang merasa kejahatan jangan begitu saja diampuni. Manusiawi, bukan? Sama seperti kita sebagai warganet masa kini yang seringkali sadar atau tidak sadar menghakimi seseorang/kelompok saat membaca sebuah berita viral. Iissh, bahkan penghakiman lebih sering datang dalam kondisi kita sadar, memang sadar penuh mau menghakimi. Masih mau bilang Yunus nabi yang bandel? Wong ternyata kita sama. Nah, lho…
Satu bagian yang juga saya suka dari kisah Yunus adalah kesanggrahan Allah yang tidak mau menyerah, baik kepada Niniwe maupun—khususnya—kepada Yunus. Bagi Allah, penyelamatan Niniwe—meski pertobatan mereka seolah-olah hanya untuk menunda penghukuman-Nya, karena pada akhirnya kota itu ditaklukkan—sudah ada dalam plot big plan-Nya. Itu tidak bisa ditawar. Mungkin kita akan teringat pada kisah Abraham yang sampai tawar-menawar demi Sodom dan Gomora, karena di sana ada keponakannya yang bernama Lot. Toh dua kota itu tetap berakhir dengan eksekusi pemusnahan kota dan penyelamatan orang benar, 'kan? Peristiwa ini bukan berarti Allah menarik planning-Nya. Begitu juga dengan Niniwe: Allah tetap melanjutkan rencana penyelamatan-Nya. Hanya saja, dalam melanjutkan rencana tersebut, bisa saja Allah mengambil jalur penyelamatan lain. Yunus mungkin sudah lebih dulu bersinergi dengan pilihan hostilitasnya, kabur, melarikan diri sejauh mungkin menurut pikirannya, dan lebih baik Tuhan mencari orang lain saja. By the way, dalam budaya Timur Dekat Kuno (Ancient Near East), berlaku anggapan bahwa satu bangsa memiliki allah yang berbeda dari bangsa lain; jika bangsa-bangsa itu berperang, allah merekalah yang berperang. Nah, di sinilah hebatnya Tuhan. Di saat yang sama Ia hendak menyelamatkan Niniwe, sesungguhnya Tuhan juga sedang menyelamatkan Yunus. Pada refleksi mendalam ini, saya menemukan bahwa dengan tetap memanggil Yunus, Tuhan hendak menunjukkan bahwa Yunus adalah berharga bagi-Nya. Saat seseorang sudah menerima mandat sebagai utusan Allah, maka Allah akan menunjukkan seberapa besar penghargaan-Nya terhadap orang tersebut di hadapan-Nya. Yunus lari bukan berarti membuat Allah berpikir, ‘’Ah, Kucari orang lain saja.” Tidak, Ia tetap mengembalikan Yunus pada track-Nya. Jika menjadi Yunus pada saat itu, maka saya akan terkagum, “Wah, berarti sebegitu besarnya rasa percaya Allah pada saya untuk menjadi alat-Nya, untuk menjadi utusan-Nya!” Begitu luar biasanya kesanggrahan Allah!
Well then, Yunus kembali. Ia merengkuh situasi itu, meramahinya, menyanggrahinya, bergaul akrab dan menyelesaikan tugas tanggungjawabnya sebagaimana seharusnya. Ya, memang dia masih bersungut-sungut di akhir gegara pohok jarak, dan hostilitas muncul lagi di sini. Still, Tuhan masih memberi pelajaran hidup penting lagi lho, untuk Yunus dan kita melalui pohon jarak itu. Pelajaran penting itu adalah bagaimana kesanggrahan Tuhan pada kita dan besarnya cinta kasih-Nya adalah tak terbatas, sedurhaka apapun kita kepada-Nya. Inilah kesanggrahan atau hospitalitas sejati dari Allah yang tidak akan bisa dijumpai dalam diri siapapun, sebaik dan seramah apapun mereka.
Oke, Ignite People semua… Berkaca pada kisah Yunus, bukanlah seringkali kita juga demikian? Saat Tuhan mempercayakan kita pada sebuah situasi, pelayanan, pekerjaan, ataupun jabatan tertentu, kita sering memutuskan untuk mengenali dulu apa yang ada di depan sana menurut kacamata kita. Kalau "tawaran" itu oke untuk ukuran kenyamanan kita, maka kesanggrahan kita jalankan. Tapi kalau kita rasa tidak oke buat kita, wah pilih hostilitas aja deh, tolak, nggak mau, soalnya nggak bakal enak ke belakangnya. Padahal semua hanya berdasar rasa dan asumsi kita, dan tanpa dasar alasan yang jelas—apalagi kacamata iman malah ditanggalkan. Walaupun begitu, begitulah dinamika hidup manusia sebagai makhluk yang ber-hostipitalitas. Sedikit-sedikit mengadakan permusuhan, tapi saat terdesak jadi sebuah kesanggrahan, eh nanti bisa kembali lagi menjadi hostilitas; pokoknya berjalan bergantian begitu terus. Persis sama seperti dinamika yang Yunus alami.
Ignite People… Sudah berapa kali kita lari dari situasi pilihan Tuhan? Kisah Yunus cukup tegas dan keras menunjukkan kepada kita, bahwa lari dari Tuhan itu adalah perbuatan sia-sia. Kalau Dia sudah punya mau, then it would still happen, no matter what. Jangan ngadi-ngadi, deh, apalagi mau kabur-kabur segala. Trust me, saya sudah merasakannya, kok. Hehe…
Selamat merengkuh, meramahi, dan menyanggrahi situasi pilihan dari Tuhan. Ikat tali sepatu kencang-kencang, jangan malah kabur dan lari ke belakang, tapi tatap lurus ke depan, maju dan berjalanlah bersama Tuhan. Percayalah, bersama-Nya, kita bisa melakukan apa yang melampaui nalar yang terbatas, tinggal apakah kita mau percaya dan taat pada proses pembentukan yang Dia izinkan hadir, oke?
We can try to run away from God, or we can run to God... Or better yet, we can run with God...
Catatan penulis:
Yoo, Ignite People! Buat kamu yang tertarik juga untuk baca tulisan dosen saya Moreh Leo Eprafas dan teman-teman matkul Teologi Keramahan UKDW, bisa cek di link ini, yaa… Terima kasih sudah membaca. Tuhan memberkati! (FYM)
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: