Tidak akan ada cinta bagimu, kemanapun kamu mencari, kapanpun kamu menunggu, bagaimanapun kamu mengusahakan. Tidak akan ada, kecuali kamu menyadarinya.
Aku tidak tahu mengapa aku mesti lahir ke dunia ini, paling tidak inilah yang sering terbesit di pikiranku akhir-akhir ini.
Namaku Ataraxia, tapi orang-orang biasa memanggilku Ata. Seperti yang sering kita dengar, banyak yang berkata bahwa nama adalah doa orang tua bagi anak—tapi entah mengapa, aku tak pernah merasa doa itu sungguh-sungguh terwujud. Entah apakah mereka tak berdoa dengan serius, atau iman mereka tak cukup kuat. Aku menjadi orang yang selalu diselimuti kegelisahan, membuatku hampir tak pernah bisa menikmati hidup. Meskipun begitu, aku tetap mencoba beraktivitas seperti biasa, sebagai seorang mahasiswa perantauan yang jauh dari keluargaku.
Hari ini aku sedang tidak ada perkuliahan, namun aku sedang cukup jenuh berada di kos. Entahlah, aku bertanya-tanya mengapa aku terus menerus jenuh berada di sini seorang diri. Padahal di luar pun aku lebih senang sendiri.
Aku berangkat pergi menuju warung kopi langgananku, memesan minuman yang sama. Sampai-sampai, sekarang pun aku tak perlu memberi tahu kepada mas-mas warkop apa yang mau aku pesan.
"Pagi, Mas," sapaku kepada pelayan warkop.
"Pagi, Mbak. Pesan yang biasa, ya", sahutnya.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum kecil. Aku langsung duduk di tempat biasaku, di dekat pohon kecil yang cukup rindang di ujung warung kopi itu. Aku mengeluarkan buku, dan sigaretku. Aku menyalakan sigaretku dan mencoba merasakannya lebih dalam. Kupejamkan mataku sembari merasakan asapnya masuk ke dalam tenggoranku, dan keluar kembali melalui mulut dan hidungku bersamaan dengan nafas beratku.
"Ini, Mbak Ata." Pelayan warkop itu mengantarkan kopi pesananku.
"Oh ya, makasih Mas", sahutku dengan sedikit kaget.
Aku menyesap kopiku, dan mulai membuka buku menuju halaman yang telah aku beri tanda. Sembari asap sigaretku mengepul, terbang bebas sembari menggerogoti setiap lembaran tembakau yang diikat dalam kertas. Pandanganku sedikit teralih, tulisan dalam buku itu seolah melayang bersama dengan asap sigaret yang ada di sela-sela jariku.
"Kemanakah asap ini pergi?" pikirku. "Apakah tembakau ini senang karena ia sudah lepas dari ikatan pada papir ini? Apakah ia diciptakan hanya untuk dibakar lalu habis?"
Tiba-tiba HP ku berdering. Saat diangkat, suaranya yang familiar membuat lamunanku terhenti.
"Halo ata, kamu lagi dimana?"
"Lagi di luar, Ma. Kenapa?".
Ya, Mama memang biasa meneleponku karena selalu khawatir terhadap anak perempuan yang sedang pergi merantau ini. Padahal aku sudah merantau selama tiga tahun, tapi rasa khawatirnya tidak pernah berubah. Hahaha...
"Lagi liburkah? Ini lho, kamu dapet salam dari Nino, anaknya Pak Bowo. Katanya dia mau main ke rumah waktu Natal. Kamu pulang sekalian, ya. Mama juga kangen, nih."
"Iya, Ma. Lihat nanti, yaa. Ata mau ngerjain tugas dulu ya, Ma".
"Kamu ini jangan nanti-nanti; Natal kemarin kamu udah gak pulang, lho. Paskah bulan lalu juga gak pulang, alasannya ada acara. Ini lho mumpung Nino mau sekalian dateng, dia kan temen dari kamu masih kecil, siapa tau bisa jodoh lho, Nduk. Yaudah, semangat ya, Nduk. Mama sama Papa sayang kamu."
"Ya Ma, Ata sayang Mama sama Papa juga."
Aku meletakkan HP-ku di meja, lalu kembali menikmati sigaret dan kopiku.
"Sayang, jodoh, hmm... Memang apa sebenarnya itu?" tanyaku dalam hati sembari kembali mengambil bukuku.
Sudah satu jam aku lewati di warkop ini, halaman demi halaman buku telah kubaca, dan sudah beberapa batang puntung di asbak. Aku meletakkan bukuku, dan melihat di sekelilingku sembari ku nyalakan lagi sigaret favoritku. Warkop mulai ramai, beberapa orang mulai memadati meja-meja yang tersedia. Ada yang sedang bermain game beramai-ramai, ada pula yang sedang sibuk dengan laptop-laptopnya ditambah dengan sedikit kerutan di dahinya, dan ada pula yang bergandengan mesra dan duduk saling memandangi dengan saksama.
"Ahh, mungkin menyenangkan menjadi seperti mereka..."
HP-ku kembali berdering. Kali ini temanku yang menelepon, Ana.
"Halo, Ata! Kamu lagi di mana?"
"Di warkop biasa. Kenapa, An?
"Halah kebiasaan banget sih, sukanya sendiri-sendiri mulu. Ngomonglah, ajakkin aku kekk."
"Hahaha... Iyaaa. Niatnya bentaran doang kok, cuma nyari wifi".
"Hishh kurang-kuranginlah. Eh eh Ta, gimana si Beni? Pedekatenya lancar ga, ajakjin dialah kalau ngopii."
"Pedekate apa, sih? Lagian kami cuman temenan aja."
"Ih, parah banget sih, kamu. Ga baik lho nge-PHP in orang. Beni tuh serius sama kamu, sayang sama kamu. Jangan batas-batasin diri, kamu lho jomblo terus ga bosen apa. Hahahaha... Mumpung ada orang baik dan suka sama kamu, lho."
"Ah, gampanglah kalau itu. Santai ajalah, An. Hahahaha... Yaudah, aku mau siap-siap balik kos. Dah dulu ya"
"Jangan gampang-gampang, kamu mah sukanya gampangin. Yaudah tiati yaaa. Love you, beb!"
Teleponpun mati.
"Ahahahaha... Love, sayang, pacaran... Apa sih sebenarnya mereka itu?" gumamku sembari menyalakan kembali sigaretku.
Aku tak tahu kenapa orang-orang giat mempromosikan cinta. Apakah mereka betul-betul tahu ketika mengatakannya? Kalau berkata cinta, sayang, apakah memang mesti terikat, ya? Seperti Mama dan Papa yang sering mengatakan bahwa mereka sayang padaku, Ana yang juga sering mengatakannya padaku, atau pula Beni dan Nino yang beberapa kali menuliskannya pada chat WA padaku di setiap malam, atau pula yang sering kudengar dikatakan orang-orang kepada pacarnya. Hm, apakah cinta memang harus terikat dan mengikat diri pada sesuatu? Misalnya pada hubungan keluarga, pertemanan, dan pacaran.
"Jangan-jangan, tembakau-tembakau dalam sigaretku ini juga terjebak pada ikatan cinta. Hahahaha..." gumamku sembari tertawa kecil.
Aku kembali nikmati kopiku yang sudah hampir habis, tapi aku tetap bertanya-tanya dan merasa gelisah,
"Apakah orang-orang sepertiku tidak akan pernah memiliki cinta? Orang-orang yang meragukan cinta. Bagiku, aku nyaman dengan diriku saat ini, menjadi bebas apa adanya aku. Mungkin seperti halnya tembakau yang terbakar menjadi asap ini, terbang bebas dan menyatu dengan udara... tapi, bukankah pedih dan sakit mesti terbakar, dahulu baru ia dapat lepas dan bebas? Bebas dari ikatan cinta papir yang mengikat setiap potongan tembakau yang akhirnya menjadi sigaret yang selalu kuhisap..."
Aku kembal mengisap sigaretku dan menyandarkan punggungku yang mulai berat ini.
"Bukankah tembakau yang terikat pada papir ini bisa menghasilkan kenikmatan? Paling tidak bagiku ini. Ia menolongku tetap rileks dalam penatnya perkuliahan dan aktivitasku. Haha, entahlah mungkin cinta juga demikian."
Aku mengemas barang-barangku ke dalam tas. Ketika hendak memasukan salah satu buku, aku melihat ada secarik tulisan di halaman belakang sampulnya.
"Tidak akan ada cinta bagimu, ke manapun kamu mencari, kapanpun kamu menunggu, bagaimanapun kamu mengusahakan. Tidak akan ada, dan kecuali kamu menyadarinya."
Aku tertawa kecil.
"Mungkin memang demikian. Hahaha... sepertinya Semesta memang memiliki selera humor yang tinggi."
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: