It’s iced, and her world just got colder.
"WFH/Week43/Day144"
Ketik Sirna di layar komputernya, sembari mencoba bersandar rileks ditemani aroma kopi. Di tengah lockdown culture ini, keluar rumah dan duduk di tempat umum adalah sebuah kemewahan, jika tidak mau dibilang kelangkaan. Sirna tidak pernah ragu untuk memanfaatkan hari-hari seperti itu, hari ketika PSBB dilonggarkan dan kedai kopi favoritnya yang berada di dalam mall terbesar di kotanya melayani dine-in.
“Kak Sirna, gak mager? Kayaknya mau hujan loh? Lagian kenapa nggak order Kopi Penuh Khayal aja ke rumah, dia lagi promo loh, semua temanku beli itu, murah banget aseli!” Adik Sirna berceloteh ketika melihat sang kakak memasang masker medis, face shield, penutup rambut dan sarung tangan di depan pintu pagi ini. Sirna melihat langit, memang mendung menggantung. Tapi ia tidak takut hujan dari langit - ia lebih takut pada derai hujan dalam dirinya.
“Perhatian kepada seluruh pengunjung mall yang kami hormati...”
Lamunan Sirna terputus oleh suara robotik yang berulang kali terdengar tiap beberapa menit. Setelah pandemi ini hadir, mall-mall di perkotaan berlomba mengadopsi teknologi yang makin hari makin cerdas, untuk mengurangi interaksi antarmanusia secara langsung. Berawal dari robot, yang berperan membantu paramedis agar tidak bersentuhan langsung dengan pasien terinfeksi, hingga para minis--robot asistensi berukuran kecil yang rutin berkeliling untuk memastikan semua orang mematuhi protokol kesehatan. Seperti anjing kecil milik kawan sekolahnya dulu, robot kecil itu sungguh cempreng menyalak dan menjengkelkan. Tapi ia tidak akan berhenti bersuara hingga kita mematuhi perintahnya.
Bip, bip...Bip.
Alarm kecil di meja Sirna berbunyi. Tidak terlalu menjengkelkan. Ini penanda pesanannya sudah jadi, dan akan segera diantarkan oleh sebuah cart kecil otomatis. Sedetik kemudian kopinya tiba, Sirna membaca tulisan di badan gelasnya. “Mbak Sirna, have a lovely day. Iced latte, no sugar, no syrup, decaf.” Sirna mengenali tulisan itu, milik Manuel, barista yang sudah sangat mengenal pesanan Sirna yang selalu sama. Mereka dulu biasa bertukar obrolan kecil di counter.
Sirna menenggaknya. Seteguk, dua teguk. Dingin. Mendadak, kilatan lain menusuk masuk telinganya:
“Love, maaf baru balas, lagi sibuk tadi. Iya, sudah mau sore nih di sini. Aku tadi ngorder kopi, tapi kurirnya ribet banget."
“Apa? Oh, bukan buat aku, sayang. Ini loh untuk Nirmala, dia ulang tahun. Iya, Nirmala yang itu," tukas suara itu kembali setelah Sirna menjawab.
“Ya ampun Love, nggak usah over-reaction bisa? Lagian bisa nggak kamu sebut dia ‘Nirmala’ aja? Selalu mantan, mantan...dia punya nama, tahu. Ya udah ya udah, nanti aku kirim kopi ke kamu juga, oke?," jawabnya dengan sedikit gemetar setelah Sirna sedikit menaikkan nadanya.
Dulu, Sirna mengira yang namanya patah hati hanya terjadi di akhir sebuah hubungan. Namun ternyata, kita bisa tetap berada dalam sebuah hubungan, dengan hati yang dipatahkan berkali-kali.
Sirna menutup telinganya dengan earphone dan memutar musik. Ia perlu menyelesaikan sebuah dokumen untuk dikirim ke koleganya hari ini, dan (seharusnya) tidak ada ruang untuk memutar ulang drama kehidupannya.
Setelah telinganya disibukkan dengan musik, giliran sudut mata Sirna yang jadi lebih sensitif. Ia melihat orang-orang lain yang duduk di kedai kopi ini, yang tidak bisa lebih dari 2 orang per meja. Semua sama seperti dirinya, para pekerja dengan sindrom cabin fever yang membutuhkan angin segar, bekerja dari tempat yang bukan rumah. Semua sibuk dengan dunia dan tanggung jawabnya. Sirna tidak tahu apakah grafiti kedai kopi bertuliskan Nothing Brings People Together Like a Good Coffee yang telah ada sejak sebelum pandemi diam-diam telah menjadi nubuatan. Jika iya, toh Sirna tak heran karena ini bukan kali pertama hal yang tertulis di tembok jadi nubuatan nyata.
Ah, tidak baik dan tidak produktif terlalu banyak melamun. Sirna kembali fokus bekerja.
***
Sore hari tiba, angin kencang tapi tak hujan. Sirna langsung mandi dan mendesinfeksi semua barangnya. Sibuk. “Kak!” Adik Sirna tahu-tahu menepuk bahunya. Biasanya sorot mata itu hanya muncul jika ia ingin sesuatu. Hm. “Kenapa?”
“Tadi ada kiriman kopi dari Kak Mara.”
“Oya?” Sirna bergegas menuju kulkas, sang adik mengikuti. “Buatku saja ya? Aku ada tugas sekolah sampai malam niiih...lagian aku penasaran sama kopi ituuuuu.”
Kopi Penuh Khayal.
Es Kopi Susu Gula Aren.
“...Lagian Kak Sirna kan suka sakit perut kalau minum kopi yang manis, udah deh buat aku aja ya?”
Sirna merasakan permukaan gelas kopi yang dingin itu membasahi tangannya. Sirna membayangkan isinya yang dingin juga.
“Nggak, kamu pesen sendiri aja ya. Kak Sirna mau minum ini.”
Sirna menusukkan sedotan ke kopi itu dan menyeruputnya, mencoba merasakan Mara di dalamnya. Matanya nyalang, melihat langit senja yang abu-abu karena awan mendung berarak. Betul, hari ini betul-betul hari yang dingin.
It's so cold out here in your wilderness
I want you to be my keeper
But not if you are so reckless
-Adele, Water Under the Bridge
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: