Ketika gereja hanya menjadi sebuah tempat ibadah, kelumpuhan yang fatal di dalam kehidupan Kekristenan terjadi. Suara kebenaran tidak lagi terdengar.
Pemilu sudah semakin dekat Indonesia diperhadapkan dengan pemilihan pemimpin serta wakil rakyat. Banyak figur mulai memilih untuk mendukung satu koalisi tertentu, banyak juga kelompok masyarakat yang memilih untuk menyuarakan salah satu paslon eksekutif. Bagaimana dengan Gereja?
Bicara soal Gereja bukan bicara soal organisasi struktural suatu sinode, apalagi gedungnya. Definisi yang paling mendasar dari Gereja adalah kumpulan orang percaya—dan mereka hidup, bergerak, serta ikut memilih di negeri ini. Saya ajak saat ini kita menelisik ke dalam diri kita sebagai anggota gereja, pilihan apa saja yang kita buat di tengah dinamika politik negeri ini?
Gereja Memilih untuk Diam
Sebagian kelompok masyarakat sepakat bahwa urusan politik tidak untuk dikaitkan dengan urusan agama, dan begitu sebaliknya. Penekanan semakin terlihat ketika di tingkat publik maupun privat adu gagasan politik dihindari di dalam kalangan orang Kristen sendiri. Gereja lebih memilih untuk tetap nyaman di dalam “akuarium” berkat-berkat dan “kurungan” akivitas pelayanan sehingga lupa bahwa mereka masih hidup di negara yang berbudaya dan berpolitik.
Seorang teolog bernama Harry Blamires, dalam bukunya yang berjudul The Christian Mind, mengkritisi hilangnya pemikiran Kristen yang tergerus oleh pemikiran manusia modern sekuler. Gereja hanya menjadi kumpulan moralitas, penyembahan, budaya spiritual, tanpa disertai wawasan hidupnya yang religius. Isu-isu duniawi dipisahkan dari isu-isu gerejawi, sehingga perihal sosial, politik, dan budaya tidak lagi dikaitkan dengan landansan doktrinal iman Kristen. Hal ini berakibat fatal pada pergerakan pemerintahan Amerika: pengambilan keputusan di parlemen tidak lagi didasari oleh pemikiran-pemikiran Alkitabiah. Firman Allah kalah dengan pemikiran humanis.
Ketika gereja hanya menjadi sebuah tempat ibadah, kelumpuhan yang fatal di dalam kehidupan Kekristenan terjadi. Suara kebenaran tidak lagi terdengar. Manusia yang suka mendefinisikan kebaikan dan kejahatan menurut persepsi mereka sendiri semakin kehilangan arah dan tidak tahu ke mana harus melangkah. Hal ini tidak sesuai dengan Amanat Agung Yesus Kristus yang sudah Ia sampaikan pada murid-murid-Nya ketika naik ke sorga.
Kita semua tentu hafal dengan isi khotbah Yesus mengenai garam dan terang. Kita soroti bagian garam, terkhusus ketika garam itu menjadi tawar: apakah gunanya selain dibuang dan diinjak orang?
Gereja Memilih untuk Bergerak
Satu-satunya keputusan yang paling tepat untuk diambil Gereja adalah kembali pada Firman. Jika kita melihat kembali Alkitab Perjanjian Lama, terkhusus bagian kitab-kitab Nabi, suasana yang paling melekat dalam tulisan-tulisan tersebut adalah suasana di dalam pembuangan. Kita tentu tahu kisah ketika bangsa Israel berada di pembuangan dan ada di bawah pemerintahan manusia yang tidak takut akan Tuhan. Mereka tertindas.
Photo by Allen Taylor on Unsplash
Sebagian orang Israel yang berada di dalam pembuangan memilih untuk melawan pemerintah dan melakukan gerakan perlawanan, sementara sebagian lain memilih untuk mengadopsi kultur dan menerima dewa-dewa penyembahan pemerintah. Bersyukur, tidak hanya berhenti ada dua pilihan: Yeremia menyuarakan untuk mengusahakan kesejahteraan kota dengan bekerja, membangun rumah, menjalankan keluarga, dan membagi kasih kepada pemerintah.
Hal senada juga ditunjukkan oleh Daniel dan ketiga rekannya ketika menghadapi pembuangan. Mereka tidak tergerus arus pemerintah, tetapi juga bukan gerakan anti-pemerintah yang menerjang arus tanpa alasan. Daniel, Sadrakh, Mesakh, dan Abednego menunjukkan sikap yang patut dipelajari orang Kristen dalam menghadapi dinamika politik kita saat ini; yakni dengan tetap terlibat dalam politik secara pribadi namun tidak meninggalkan Tuhan sebagai satu-satunya pusat hidup mereka. Kita perlu berpikir ulang jika kita sering menunjukkan sikap fanatisme terhadap suatu koalisi tertentu. Bisa jadi hal ini menggeser Tuhan dari pusat kehidupan kita.
Di Alkitab, kita dapat melihat bagaimana Yesus sebagai seorang manusia menjadi teladan yang sejati dengan menunjukkan loyatitas terhadap pemerintah tetapi tetap menyuarakan kebenaran di saat yang bersamaan. Ia bahkan taat terhadap hukum ketika mengadapi persidangan yang membawanya kepada putusan salib itu. Justru, kemudian dari salib itulah Yesus bangkit kembali dan menunjukkan diri-Nya sebagai Sang Raja Sejati yang memimpin Kerajaan Kekal.
Masa-masa politik ini membawa banyak pilihan dalam hidup kita sebagai Gereja. Kita bisa memilih untuk diam, sehingga suara kebenaran tidak tersampaikan; kita bisa memilih untuk bersuara namun kehilangan Kristus sebagai pusat hidup kita; atau kita bisa bergerak dengan Kristus, tetap menjadikan Dia pusat kehidupan kita dalam segala sesuatu, termasuk politik di dalamnya. Jika Kristus menjadi pusat hidup kita, sudah seharusnya arah suara politik kita, sikap kita, dan segala ucapan kita mencerminkan Kristus, serta bertujuan untuk hal yang lebih mulia dari sekadar memenangkan Pemilu—memenangkan jiwa-jiwa kepada Kristus, mungkin?
Penulis: Eleazar Moeljono
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: