The most dangerous person in the room is the one who listen, observe and think - Lee Jun Fan
Gue yakin kalian semua tahu Bruce Lee dan paling enggak pernah dengar tentang Ip Man. Buat kalian yang belum tahu, Bruce Lee adalah aktor keturunan Asia yang dianggap “pendobrak” stereotip orang Cina di layar lebar Hollywood.
Sebelum Lee menjadi mega bintang Asia, ia berlatih bersama Ip Man di Hong Kong. Pada waktu itu, Hong Kong merupakan jajahan Inggris dengan kondisi yang sangat miris. Berandalan dan geng Triad menguasai jalanan dan murid-murid perguruan kung fu sering berantem di jalanan hingga di atap rumah. Maka dari itu banyak orang Hong Kong berlatih kung fu untuk keperluan praktis alias demi melindungi diri sendiri. Hal inilah yang membuat Lee memiliki kemampuan kung fu aliran Wing Chun yang matang dan terbiasa menantang serta berkelahi dengan orang lain. Wing Chun yang diajarkan Ip Man sendiri merupakan filosofi dan teknis yang dinamis, tidak konvensional, serta sering dikritik oleh praktisi kung fu tradisional karena dianggap "tidak melestarikan budaya asli".
Pada masa itu, di belahan dunia lain (Amerika Serikat), orang Cina di layar lebar selalu digambarkan sebagai orang yang tidak percaya diri di depan wanita, bermental lemah, gampang di-bully, dan bahkan penjilat yang selalu termotivasi dengan uang. Bagi orang AS, orang China adalah golongan yang lemah dan mata duitan. Atau setidaknya, seperti itulah gambaran orang AS terhadap orang China saat itu. Orang-orang China banyak yang memilih untuk berimigrasi demi mencari kehidupan baru sebagai buruh yang membangun rel kereta api di AS. Status mereka yang jauh dari rumah serta butuh penghidupan membuat mereka harus tampil sopan dan menurut pada hukum serta aparat yang ada di sana. Banyak dari mereka sebenarnya jago kung fu, namun kemampuan itu lebih ditujukan untuk acara budaya sehingga, mungkin hingga sekarang kita melihat kung fu seakan menyerupai tarian pada saat tahun baru China. Misalnya: untuk jadi barongsai, atau tari naga, atau juga mungkin untuk kesehatan seperti Qigong dan Zhan Zhuang dalam kung fu yang lebih diajarkan untuk mengontrol pernafasan dan organ dalam.
Lee (kiri) berduel dengan Wong(kanan) untuk mempermalukan satu sama-lain dan mengusir yang kalah dari San Fransisco agar tidak bisa mengajar.
Saat Bruce Lee datang ke AS, banyak sifu dan guru beladiri tidak menyukainya. Lee juga enggak suka dengan guru-guru “palsu” ini. Menurutnya, kung fu harus praktis cepat dan kuat, nggak ada waktu buat mentel dan sok pakai gerakan indah. Intinya, Lee menganggap para Grandmaster yang ia lihat itu, penakut dan merusak citra kung fu.
Sebaliknya, menurut para Grandmaster yang sudah ada seperti T.Y Wong, dan Wong Jack Man, kung fu tidak boleh dipakai secara gegabah karena bisa membuat orang AS benci kepada orang China, karena mereka akan dinilai sebagai kelompok yang sering berantem dan terkesan ribut. Intinya, bagi mereka, Lee dinilai terlalu sombong dan nggak mau menghormati warga lokal dengan segala situasi dan kondisi yang mereka hadapi.
Mereka pun saling benci walau baru bertemu beberapa kali tanpa diskusi yang mendalam. Salah satu murid T.Y Wong berkata bahwa “Lee cuma datang satu kali ke perguruan dan menyombongkan diri serta menghina para guru besar, maka tidak salah jika komunitas kung fu langsung marah.”
Perbedaan perspektif kedua pihak tersebut berujung pada duel Bruce Lee dengan Wong Jack Man. Duel itu ditujukan untuk menunjukkan “bukti” siapa yang lebih benar. Taruhannya adalah yang kalah harus di-“cancel” atau dengan kata lain nggak boleh ngajar lagi dan harus pergi dari San Fransisco dan mengungkapkan rasa malu sudah menantang yang lain dengan mengaku kalah di koran. Hasil pertarungan itu pun tidak jelas. Ada yang bilang Lee menang namun ada juga yang bilang Wong yang menang.
Lee & Komunitas Grandmaster nggak pernah mengerti atau memahami satu sama lain. Kedua perspektif tersebut baru digali secara mendalam oleh jurnalis VICE Fightland bertahun-tahun setelah duel itu terjadi. Intinya, mereka berantem dan enggak pernah mau ngerti serta enggak pernah ngomong kenapa mereka benci satu sama lain. Mereka berantem karena enggak mau mendengar dan berpikir secara dingin.
Di Film Ip Man 4, Master Wan yang tradisional tidak menyukai gaya Wing Chun praktis Ip Man dan Bruce Lee karena tidak sesuai tradisi terdahulu. Ia sempat tidak mau memahami situasi berbahaya di HongKong.
Ip Man 4 & Cancel Culture: Ga Mau Tahu dan Ga Mau Ngerti
Senada dengan fakta sejarah di atas, film Ip Man 4 menampilkan Ip Man dan Bruce Lee, yang bangga dengan Wing Chun mereka, dibenci oleh para Grandmaster di San Fransisco, yang bangga dengan teknik tradisional. Terlebih lagi, mereka sebagai orang Asia, yang diperlakukan secara rasis oleh para perwira Marinir dan Polisi Amerika Serikat, yang mencurigai mereka karena mereka imigran atau keturunan imigran masa lalu. Akar permasalahan mereka sama: nggak mau mendengar satu sama lain dan akhirnya mereka nggak memahami perspektif lain secara penuh. Belum ngerti tapi udah nge-judge duluan.
Kung fu sendiri senyatanya adalah sebuah bentuk seni bela diri. Ngapain gue belajar berantem kalau ujung-ujungnya pas gue butuh enggak bisa gue pakai? Namun sebaliknya, gue juga seharusnya ngerti kapan konteks waktu dan wilayah yang tepat untuk mengekspresikan pemikiran gue.
Sebaliknya, terlalu praktis dan suka menantang bisa menarik bahaya ke diri kita. Ketika suatu daerah di-cap sebagai daerah sumbu pendek yang gampang ribut dan suka berantem, tentu kita akan punya ruang yang makin terbatas dalam berinteraksi di masyarakat luas.
Keduanya punya point of view yang oke, tapi malah berantem sendiri… akhirnya pesan dan poin mereka yang sebenarnya baik malah terlupakan dan nggak berhasil disampaikan ke pihak lainnya.
Amsal 1:5
Baiklah orang bijak mendengar dan menambah ilmu dan baiklah orang yang berpengertian memperoleh bahan pertimbangan.
Mendengar Untuk Menjadi Bijak
Akhir-akhir ini gue ngelihat di Twitter banyak banget orang yang berusaha meng-“cancel” orang lain. Cancel Culture adalah budaya menarik dukungan, mempermalukan dan mengucilkan orang yang dirasa atau terbukti berbuat salah menurut norma kelompok tertentu. Jadi orang yang ter-cancel ini kehilangan suara, kesempatan atau bahkan teman sebagai simbol bahwa dia enggak dianggap berharga untuk didengarkan. Secara lebih mudah, orang-orang yang ter-cancel terpaksa kehilangan hampir semua hak mereka. Gue pernah di-cancel dan gue pernah meng-cancel orang dalam hidup gue. Diputusin dan memutuskan hubungan baik teman, saudara, maupun bisnis tentu pernah gue lakukan.
Di masyarakat juga prinsipnya sama. Ketika ada permasalahan atau tindakan orang yang membuat masyarakat tidak nyaman, menurut gue tentu perlu pertanggungjawaban orang itu. Sayangnya, kita seringkali membuat keputusan sebagai masyarakat dalam konteks Group Think dan di dalam echo-chamber.
Pernah ga sih lu benci sama sesuatu hanya karena orang lain benci itu juga? Itulah Group Think dimana lu berpikir mengikuti pemikiran yang berkembang di grup lu aja.
Sebagai contoh, Bowo Alpenliebe. Bagi yang tidak tahu Bowo, ia dulu adalah artis TikTok dan Musical.Ly yang sering di- roasting para Youtuber dan dibenci masyarakat, karena dianggap norak dan sok ganteng.
Contoh lain? Jason Purnomo, Jussie Smollet, atau yang paling baru: kasus Amber Heard dan Johnny Depp dimana Depp dituduh melakukan KDRT. Netizen dengan cepat memaki Johnny Depp dan meminta ia dipecat untuk membuatnya malu dan sadar akan perbuatannya. Hanya karena tuduhan dengan bukti seadanya, atau bahkan kurang, ternyata sudah cukup membuat masyarakat di Twitter dan dunia media sosial langsung membenci dan meng-cancel Johnny Depp. Akhirnya baru-baru ini pengacara Johnny Depp dan kesaksian beberapa orang memberi narasi baru: Amber Heard juga melakukan KDRT bahkan selingkuh. Apakah itu akhir cerita? Tentu enggak, tapi dampaknya sudah terlanjur terasa dan terjadi. Bahkan beberapa orang yang meng-cancel Johnny Depp, sekarang juga berupaya meng-cancel Amber.
Contoh lain lagi, masih dari jagad dunia Twitter, adalah maraknya akun yang berupaya menyebar aib untuk membuat malu. Sering terlihat akun yang memberi topik seperti “Gue kenal cowok nakal ini, nunggu sampai 2000 RT (re-tweet) baru gue spill (ungkap) nama orangnya”. Again, ini sebenarnya baik. Orang yang bersalah termasuk gue kalau berbuat salah, memang perlu diedukasi.
Disinilah echo chamber masuk. analoginya lu mendengar suara lu sendiri sehingga menganggap lu benar. Sama kayak gema, intinya dalam pemikiran kelompok, kalian cuma mengulang-ulang pemikiran yang sama sehingga enggak terjadi pemikiran kritis untuk menguji kebenaran suatu pemikiran.
Misalnya ketika semua meng-cancel Johnny Depp, dalam kelompok besar netizen yang pro-Amber Heard maka semua itu udah fix salah Johnny Depp. Hal itu diulang-ulang sehingga mereka cuma yakin bahwa Amber ga mungkin salah. Justru kalau ada suara yang mempertanyakan Johnny Depp, itu salah maka mereka udah di-brainwash dan pasti di jalur yang salah juga sehingga ga perlu didengar atau malah harus dibungkam juga tanpa perlu ngejelasin.
Echo-chamber ga harus berbentuk orang lain, dengan kamu men-judge orang hanya berbekal asumsimu tanpa ada bukti maka itupun bisa jadi echo chamber yang membuatmu justru menjadi tidak bijaksana.
Cancel Culture, Group Think dan Echo Chamber nggak memberi ruang untuk kamu belajar menjadi orang yang kritis. Dan tanpa pemikiran kritis, kamu akan sulit menemukan kebenaran. Inilah mengapa kamu butuh menjadi pendengar yang baik untuk mendapatkan bahan pertimbangan sehingga dapat mengambil keputusan secara bijak.
Gue secara tidak langsung, pernah melakukan ketiga hal tersebut. bagi gue, sejujurnya bukan hal yang asyik untuk gue lakukan terhadap hubungan gue dengan orang lain. Gue lebih merasa bersalah, dibandingkan menang dalam "pertandingan" yang ternyata hanya merugikan gue dengan orang yang "bertarung" dengan gue.
Kini gue belajar bahwa mendengarkan, memahami dan enggak asal permalukan orang, cancel, tinggalin orang, block atau left group itu simple. Sulit, ada beban emosionalnya. Tapi itu worth it, memahami orang lain itu akal budi yang mungkin cuma dikasih Tuhan ke manusia termasuk kamu, Ignite People. Mendengarkan adalah langkah pertama untuk memahami orang lain. Apakah kita harus selalu setuju? Enggak, tapi dengan memahami paling enggak kita bisa memilih tindakan dengan lebih bijak.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: