Perempuan & Ekologi - Benarkah Beauty is Pain?

Best Regards, Live Through This, 30 June 2019
Bagaimana caranya agar rutinitas skincare tidak menjadikan kita ‘penjahat ekologis’?

Ketika sedang ‘remaja banget’ dan harus menghadapi kenyataan bahwa kulit saya yang selembut pantat bayi sudah berubah jadi pabrik minyak dan jerawat, dendam membara dalam dada. Saya ingin berubah menjadi ‘cantik’ – seperti sosok-sosok dalam media sosial yang berfoto di atas ranjang dengan wajah sesempurna unicorn, lantas berani-beraninya memasang caption #IWokeUpLikeThis, atau tren ‘no makeup makeup’ look para seleb di media online maupun cetak. 


Jangan salah, saya pun nggak berminat tampil seperti Queen Bey sedang konser dalam kehidupan sehari-hari, tapi hanya ingin tampak ‘normal’. Seperti Kendall Jenner difoto paparazzi keluar dari Starbucks, gitu. 

Selulus kuliah, saya bekerja di sebuah majalah fashion; di sana baru saya sadari, ternyata ‘normal’ itu nggak normal. Konsep wajah natural tanpa makeup itu nggak alami sama sekali, melainkan diraih dengan lapis demi lapis foundation, primer, bb cream, cc cream, concealer, dll. Dan sosok-sosok sempurna yang kita lihat di editorial fashion maupun materi iklan? Photoshop dan Photoshop. Bahkan kami punya staf digital imaging yang tugasnya memutihkan dan menghilangkan lipatan ketek di foto para model. Seleb-seleb plus-sized body yang diwawancarai untuk tampilan cover utama pun biasanya ‘dilangsingkan’ dalam editorial look.


Masalahnya setelah imaji-imaji tersebut tampil di media, benak kita sudah nggak peduli apakah ini asli atau nggak. Kita hanya ingin menjadi seperti mereka. Dan seperti penguin berbaris untuk menceburkan diri ke lautan, saya pun ikut antri untuk menjadi bagian dari #SobatMisqueen konsumen industri kecantikan. 

Nggak apa-apa kan? Toh rutinitas skincare saya beli dengan uang sendiri, bukan hasil malak orang atau korupsi. Paling banter, pakai PayLater lah. (Di sini yang udah terjebak ‘setan kredit’ baru bernama PayLater, mana suaranya? LOL).

Demikian seterusnya sampai suatu kali saya dapati, aktivitas saya yang ‘innocent’ ini ternyata bisa berdampak lebih luas pada lingkungan hidup. Beberapa waktu lalu, saya dikirim kantor ke Bali untuk konferensi mengenai lingkungan laut. Ternyata di salah satu sesi dibahas bahwa produk pembersih wajah atau lulur yang mengandung scrub (favorit saya!) itu tergolong microbeads yang dari kamar mandi kita akan mengalir sampai ke laut dan menimbulkan kerusakan serius pada biota laut – membunuh ikan dan terumbu karang. Membersihkan muka dengan produk scrub berarti membuang 94.500 microbeads bersama air limbah ke laut.  

Hal ini membuat saya berefleksi lebih jauh lagi dalam aktivitas keseharian saya sebagai perempuan yang:

-Menghapus makeup dengan cleansing milk/makeup remover/micella water  menggunakan kapas & cotton bud

-Mencuci wajah (semoga tidak mengandung scrub seperti saya)

-Memakai tone/primer  dengan memakai kapas

Itu hanya untuk membersihan wajah, sodara-sodara, belum dandan sama sekali! 


Ditambah lagi, siklus bulanan menstruasi yang cukup banyak menggunakan pembalut atau hanya pergi ke toilet untuk buang air pun, kita adalah spesies yang unik, karena kita butuh BANYAK tisu!) Dalam tas saya, selalu ada tisu basah, tisu kering, pembalut.  Belum kalau ada peristiwa memilukan seperti berpisah dengan serial Netflix kesayangan atau terserang influenza – saya bisa duduk menangis sambil merangkul sekotak tisu, dan tahu-tahu…habis isinya.

Benar-benar #terkedjoet, ternyata keseharian saya sebagai perempuan sangat menguras semua jenis kapas dan tisu dan olahannya. Lebih ngenes lagi, setelah semua ritual itu, yang namanya muka ya gini-gini aja sih. Kalau mau perubahan yang signifikan, memang kita harus pergi ke dokter. Jarum derma dan pisau bedah itu nggak bohong darling, beauty is indeed a PAIN. 

Nah, sama seperti klean semua yang meringis ketika facial karena ‘beauty is pain’, Bumi kita juga lagi meringis menahan luka akibat sejumlah rutinitas kita. Beberapa waktu lalu, Sungai Thames di London mengalami pencemaran hebat dan saluran air utama kota tersebut tersumbat oleh limbah sebesar 3 bus tingkat. Isinya? Limbah facial tissue dan tisu basah penghapus makeup sekali pakai! 

Itu yang ada datanya dan terdokumentasi, mungkin karena kejadiannya di London banget. Tapi hal ini kuyakin ada di semua kota, termasuk kota kita. Cuma, siapa yang mau bikin liputan soal sampah di gorong-gorong Kelapa Gading, misalnya?

Jadi apa yang harus kita lakukan, girls? Masa mau hidup liar tanpa product hygiene & beauty bagaikan wanita Amazon? 

Berikut sejumlah substitusi untuk ritual skincare kita yang saya riset, untuk kita coba bersama:

1. Pakai cotton bud yang tangkainya dari karton, bukan plastik

2. Ganti tisu (basah/kering) sekali pakai dengan handuk bahan flannel (bamboo flannel paling rekomendasikan). Atau setidaknya kalau masih sulit berpisah dengan tisu basah, jangan di-flush di toilet ya.


3. Pakai kapas organik yang bisa dicuci dan dipakai-ulang

4. Mulai mencoba mengganti pembalut biasa dengan menstrual cup atau pembalut reusable


Seperti apapun ritual beauty & skincare kita, semoga kita segera menemukan format yang paling pas untuk kulit kita, tapi juga minim dampaknya ke lingkungan. Selamat menjadi wanita keren yang hidup BERSAMA SEMESTA!

LATEST POST

 

Akhir Oktober biasanya identik dengan satu event, yaitu Halloween. Namun, tidak bagi saya. Bagi saya...
by Immanuel Elson | 31 Oct 2024

Cerita Cinta Kasih Tuhan (CCKT) Part 2 Beberapa bulan yang lalu, saya mengikuti talkshow&n...
by Kartika Setyanie | 28 Oct 2024

Kalimat pada judul yang merupakan bahasa latin tersebut berasal dari slogan sebuah klub sepak bola t...
by Jonathan Joel Krisnawan | 27 Oct 2024

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER