Si Liyan, Si Lemah

Best Regards, Live Through This, 07 July 2020
Kita telah melalui begitu banyak momen penuh keraguan akan diri sendiri, malam hari yang dipenuhi hela napas keletihan, mata yang lesu karena derai air mata, dan tangis yang berteriak dalam diam. Sudah tak terhitung rasanya betapa banyak momen kepedihan yang kita lewati.

Ignite People, kamu udah pernah dengar lagu “Si Lemah” karya RAN dengan kolaborasi mereka bersama Hindia? Kalau belum, aku sangat menyarankan kalian untuk sejenak menengok music video mereka. Lagu “Si Lemah” adalah salah satu lagu dari rangkaian “Omne Trium Perfectum”. Kata Rayi sih, omne trium perfectum tuh artinya “everything that comes in three, is perfect”. Rangkaian album ini mengisahkan kehidupan setiap personil RAN, mulai dari Rayi, Asta, dan Nino. Menurut aku, ketiganya memiliki keunikan, terutama dalam mengekspresikan diri mereka masing-masing. Nah, lagu “Si Lemah” ini adalah salah satu ekspresi diri Nino.

Hal yang sangat membuat aku tertarik dengan lagu ini bukan soal musiknya yang enak atau “RAN banget”. Lagu ini justru tidak benar-benar terlihat seperti RAN yang selama ini kita kena: Colorful, riang, dengan musik yang seolah “melompat”. Justru, lagu ini tidak memiliki rap, music video dibuat monokrom, tidak seperti RAN biasanya. Perpaduan lirik dan music video yang berbeda dari RAN biasanya ini membuat aku merasa ada sesuatu yang lain di lagu ini. Videonya berusaha menunjukkan bahwa setiap orang memiliki luka, cela, dan itu nampak betul dari wajah yang memelas belas kasih. Sayangnya, orang-orang yang terluka dan berbeda itu justru merasa dikelilingi oleh orang-orang sekitar yang memaksa mereka untuk menggunakan topeng kebahagiaan. Mereka tidak lagi mengekspresikan diri mereka apa adanya. Semua terlindung di balik topeng rusak, hingga…

 "bohongmu tak lagi berbohong lagi,

yang kau tipu dirimu sendiri"

Kebohongan yang dibangun dengan topeng coreng-moreng itu menjadi kebohongan bagi diri kita sendiri. Kita malah menghabiskan daya untuk membangun kegembiraan semu, gambar diri yang palsu, serta pertemanan yang malah menjadi racun. Semuanya menghabiskan tenaga yang terlalu besar sampai kita kehabisan daya. Hanya letih dan bebanlah yang kita tanggung melalui kebohongan itu. Percayalah, ia tidak akan membawa kita kemanapun. 


Kita tidak perlu memaksa diri kita untuk berubah ketika itu memang tidak diperlukan, apalagi ketika perubahan itu malah menutupi otentisitas kita. Justru kita perlu merengkuh realitas kita sebagai sosok “the other” bagi orang lain. Ignite People, mungkin kamu pernah memiliki pengalaman menjadi sosok “si liyan” dalam sebuah komunitas; merasa menjadi sosok yang tersingkir dari lingkaran komunitas tertentu. Sepanjang perjalanan hidupku, terdapat satu hal yang selama ini menjadi kenangan pahit dalam hatiku. Sudah lama aku tidak mengenangnya. Biarkan aku mengenangnya sekarang.

2019. Beberapa hari sebelum ulang tahunku yang ke-21. Ayah menelepon untuk merencanakan ulang tahunku bersama keluarga inti. Saat itu aku sedang di Surabaya dan keluarga di Jakarta. Ayah ingin kita semua bisa berkumpul di Surabaya dan merayakan “hariku”. Aku yang mendengarnya pun merasa seolah memori burukku saat ulang tahun yang ke-17 terpanggil lagi dalam benakku. 4 Agustus 2015, ketika aku berusia 17 tahun, aku merasa ayah dan ibu memaksaku untuk merayakan ulang tahun bersama orang-orang yang tidak kukenal dan bahkan hanya sebatas kenalan bagiku. Saat itu, aku bahkan merasa bahwa mereka tidak benar-benar senang untuk datang ke pesta ulang tahunku. Jujur, pengalaman itu menjadi suatu pengalaman yang membuatku trauma akan ulang tahun dan aku tidak lagi ingin ulang tahunku dirayakan terlalu rupa. Ketika ayah menelepon untuk mengabari rencananya akan perayaan ulang tahunku yang ke-21, aku pun mencoba mengungkapkan perasaanku dan kenanganku akan ulang tahunku yang ke-17. Aku menceritakannya dengan penuh kesedihan yang berusaha kutahan. Dan tahu apa yang ayah katakan padaku? “Astaga! Itu sudah lima tahun yang lalu dan kamu masih mengungkit itu? Sudahlah ya, kita anggap itu sudah selesai. Gak perlu terlalu dipikirkan lah! Sudah, sudah!” ucap ayah.

Sakit. Rasanya seperti diremehkan. Aku sedang menceritakan traumaku, dan aku merasa tidak benar-benar didengarkan. Seolah aku menjadi sosok lain yang begitu lemah, tidak bisa membela perasaanku sendiri. Ironinya, yang meremehkan perasaanku adalah ayahku sendiri. Perasaan itu membuatku merasa layaknya sosok liyan yang tersingkirkan dari dunia ayahku. Aku terlihat terlalu sensitif dan “trauma akan hal kecil”, sedangkan ayahku adalah sosok tegar dan kuat menjalani hidup. Ia superior dan aku inferior. Aku merasa menjadi si lemah ketika bicara dengan ayahku. Berangsur-angsur aku mulai merefleksikan pengalaman ini. Aku menjadi sadar betapa sedihnya, betapa hancurnya menjadi sosok liyan yang tersingkir.


Ketika aku mengenang kembali pengalaman ini sembari mendengarkan “Si Lemah”, aku justru semakin merasakan desakan untuk bersolider dengan siapapun mereka yang merasa tersingkir. Aku merasa setidaknya ada satu hal penting yang bisa kulakukan bagi setiap manusia yang menceritakan kisah mereka menjadi orang tersingkir, menjadi si lemah, menjadi si liyan, menjadi si manusia tidak autentik. Aku ingin menjadi pendengar bagi mereka, menyediakan telinga dan jiwa yang lapang untuk menerima kisah unik mereka. Aku tidak ingin sebatas mendengar dan mengangguk. Aku ingin mendengarkan mereka hingga mereka merasa bahwa cerita mereka itu nyata, perasaan mereka itu valid, dan mereka tidaklah remeh. 

Buat kamu yang sedang membaca tulisan ini, aku punya pesan untukmu:

Aku percaya bahwa setiap kita pasti telah melalui begitu banyak momen penuh keraguan akan diri sendiri, malam hari yang dipenuhi hela napas keletihan, mata yang lesu karena air mata terus berderai, dan tangis yang berteriak dalam diam. Sudah tak terhitung rasanya betapa banyak momen kepedihan yang kamu lewati.

Namun ingatlah pesan RAN dan Hindia melalui lagu mereka:

Hai, si lemah, buatlah semesta menerima dirimu apa adanya

Relakanlah…

Masih banyak senyum di dunia yang bisa terima semua indah kurangmu

Bila engkau berbeda, jangan kau benci dirimu

Peluk hangat dari aku, 

si lemah yang kuat,

gmp

Tercipta bersama Eka Nur Raharja

Terinsipirasi dari lagu RAN – Si Lemah

LATEST POST

 

Akhir Oktober biasanya identik dengan satu event, yaitu Halloween. Namun, tidak bagi saya. Bagi saya...
by Immanuel Elson | 31 Oct 2024

Cerita Cinta Kasih Tuhan (CCKT) Part 2 Beberapa bulan yang lalu, saya mengikuti talkshow&n...
by Kartika Setyanie | 28 Oct 2024

Kalimat pada judul yang merupakan bahasa latin tersebut berasal dari slogan sebuah klub sepak bola t...
by Jonathan Joel Krisnawan | 27 Oct 2024

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER