Yesus hadir dengan luka-luka yang tetap ada, termasuk luka bekas paku di tangan dan luka bekas tusukan tombak di perut.
Hari itu aku mengambil tes kesehatan mental sesuai permintaan psikiaterku. Saat hasil tes sudah keluar, sang psikiater memaparkan hasil diagnosisnya kepadaku. Katanya, kondisi mentalku yang pernah selama kurang lebih 3 tahun mengalami depresi berat itu sudah pulih. Secara medis aku sudah bukan penderita depresi lagi.
Perasaanku begitu campur aduk mendengarnya. Di satu sisi, aku sungguh bersyukur. Siapa sih pasien yang tidak senang mendengar diagnosis kesembuhan dari penyakitnya? Siapa sih yang tidak senang dengan pengharapan akan hadirnya masa depan yang lebih cerah karena telah pulih dari penyakit? Tentu jelas aku senang pula mengetahui dosis obatku semakin diturunkan.
Di sisi yang lain, aku merasakan kejanggalan. Sembuh? Pulih? Benarkah? Tapi aku sendiri kok masih merasa “belum sepenuhnya sembuh” ya? Kepahitan-kepahitan di masa lalu masih mempengaruhi cara berpikirku. Kepanikan-kepanikan yang bersifat tiba-tiba masih tidak jarang muncul. Belum lagi dosa-dosa yang mengiringi kejatuhanku dalam depresi parah di masa lalu, hingga kini masih aku gumuli.
Photo by Ben White on Unsplash
Aku cukup risau dengan “perasaan belum pulih” itu dan memikirkannya untuk beberapa waktu.
Pemikiran ini menggangguku sampai suatu hari ada suatu perenungan pribadi yang mengagetkanku dengan pemahaman iman yang kumiliki. Perenungan itu mengenai Yesus yang bangkit dan menampakkan diri pada murid-murid-Nya. Baru kusadari benar-benar, Yesus yang menang melawan maut dan bangkit itu, hadir menunjukkan dirinya kepada para pengikut-Nya bukan dengah kemegahan-Nya. Bukan sebagai sesosok agung yang terlihat begitu mulia disertai bala tentara malaikat.
Tidak. Yesus datang dengan kesederhanaan dirinya, dengan tubuh daging yang utuh. Tubuh yang apa adanya itu, yang tak ada indah-indahnya secara penampakan luar. Tidak spesial. Lebih mengagetkan lagi, Yesus hadir dengan luka-luka yang tetap ada, termasuk luka bekas paku di tangan dan luka bekas tusukan tombak di perut. Bahkan Yesus menantang Tomas, murid-Nya yang skeptis itu, untuk menyentuh bekas lukanya.
Para murid yang masih menyimpan secercah iman namun secara umum telah berputus asa, tiba-tiba dibangkitkan lagi pengharapannya. Pengharapan bahwa ternyata maut yang merenggut Sang Guru dari mereka tidak mustahil untuk dikalahkan-Nya, dan gagal memisahkan-Nya dari mereka.
Apakah luka-luka di tubuh Yesus membuat mereka kecewa karena Dia tidak seratus persen pulih secara tubuh? Tidak! Setelah sempat heran dan tidak percaya, kehadiran Yesus dalam tubuh penuh luka itu justru menghadirkan pengharapan yang luar biasa kepada para murid-murid. Mereka diyakinkan bahwa Allah ikut berduka bersama manusia, ikut merasakan kesakitan dan penderitaan manusia. Lebih jauh, Dia bahkan turut masuk ke dalam maut dengan segala sengatnya, untuk kemudian menghunjam rezim kematian tepat di titik kritisnya dan bangkit menyatakan kuasa-Nya atas maut.
Photo by Bryan Minear on Unsplash
Benar luka itu tidak bersih hilang, tapi apalah artinya dibandingkan dengan kenyataan bahwa Dia telah bangkit. Kehadiran-Nya menimbulkan optimisme pada murid-murid bahwa pengharapan itu sungguh tidak sia-sia.
Dari sini aku tersadar sesuatu, bila Yesus, Sang Penyembuh dan Penebus itu, bangkit tanpa kehilangan wujud luka-Nya, mengapa aku harus menuntut kesembuhan total sebelum menjadi penyembuh bagi sesama?
Benar, Tuhan telah menebus dan melayakkan manusia, tapi apakah itu berarti aku akan seketika berhenti bergumul dengan masa lalu kita yang penuh luka dan dosa? Jangan-jangan, seperti Yesus dengan kebertubuhannya yang penuh luka dipakai Allah untuk memuliakan Dia, Allahpun juga ingin menjadikan luka-luka kita sebagai alat untuk memuliakan-Nya?
Dari sini aku menangkap relevansinya terhadap pergumulanku. Aku perlahan-lahan mengerti mengapa “pemikiran belum sembuh” itu terus menggentayangi pikiranku.
Aku salah fokus.
Aku fokus pada luka yang masih ada, bukan bahwa pada anugerah bahwa aku telah disembuhkan dan dipulihkan. Aku terlalu egois berpegang pada kekhawatiran dan lupa berpegang pada pengharapan dan kasih yang mengalahkan segala ketakutan.
Padahal mungkin saja Tuhan ingin memakai pemulihanku ini untuk menghibur dan menguatkan rekan-rekan yang mengalami perjuangan serupa. Luka yang kumiliki dan mungkin masih terasa sakit itu secara paradoks malah menuntutku untuk bisa berempati terhadap rasa sakit yang dialami dunia sekitarku.
Aku diajar dan dihajar untuk menjadi penyembuh yang terluka, yang diajak-Nya untuk tidak terus menerus memikirkan sisa-sisa luka, namun untuk mulai melihat sekitar dan membagikan pengharapan akan pemulihan.
Photo by Anthony Ginsbrook on Unsplash
Ah ya, penyembuh yang terluka. Wounded healer. Konsep yang ternyata sudah dipakai dan dibahas psikiater Carl Jung dan teolog Henri Nouwen. Mereka membahas betapa pentingnya luka-luka diri justru sebagai pendorong untuk peka terhadap orang-orang yang mengalami luka juga.
Bila melihat sekitar kita, sungguh begitu mudah untuk merasa bahwa dunia terasa begitu penuh luka. Relasi yang renggang dalam keluarga, masa lalu yang traumatis dan penuh penindasan, dendam antarkolega karena pengkhianatan, kawan yang berubah sikap, serta segala bentuk akar kepahitan lainnya. Dalam skala besar segala akar itu meluas dan menjalar menjadi nafsu untuk menguasai dan mengalahkan satu sama lain, menghasilkan relasi yang begitu rusak antara manusia dengan sesama manusia, sesama makhluk hidup, dan sesama ciptaan-Nya.
Segala fungsi kehidupan berantakan, dan semua itu disebabkan kanker yang sudah begitu mengakar.
Kanker yang seiring berjalannya sejarah manusia tak kunjung kehilangan keganasannya, dan terus mengajak kita kepada kematian.
Kanker itu bernama dosa. Hanya Sang Penyembuh Sejati yang bisa memulihkan segala kerusakan yang terjadi, dan kabar baiknya, Sang Penyembuh itu sudah datang. Pemulihan yang Dia lakukan terus berlangsung pula, saat ini dan di sini, juga seiring berjalannya sejarah. Dia yang sudah mengalahkan kematian itu, menjanjikan hal yang serupa kepada kita. Pemulihan yang sebenar-benarnya. Pengharapan yang tak habis-habisnya.
Photo by Annie Spratt on Unsplash
Gilanya, dalam proses pemulihan ini, Sang Penyembuh mengundang kita untuk ikut ambil bagian dalam misi penyembuhan-Nya. Kita diundang untuk bergerak menghadirkan pengharapan dalam konteks perjuangan masing-masing.
Kita? Memangnya bisa apa kita manusia penuh dosa ini? Kita kan orang-orang sakit juga?
Tak jarang pertanyaan yang penuh keraguan itu muncul. “Kenapa harus kita?”
Mungkin pertanyaannya perlu diganti.
“Kenapa tidak?”
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: