"Pasangan yang berbeda iman? Kenapa tidak? Kita tetap akan saling menghargai satu sama lain, saling mencintai, dan bahagia." "Ini adalah suatu kesempatan yang baik untuk mengenalkan Kristus kepadanya." “Dia bahkan lebih baik daripada orang-orang Kristen di gereja. Lagipula kami cocok dan saya merasa mendapat pengaruh baik darinya.”
Saya mencoba mengumpulkan alasan-alasan yang paling sering diungkapkan oleh pemuda-pemudi Kristen dalam menyikapi masalah pacaran atau pernikahan tidak seiman. Mereka adalah teman-teman dan keluarga Kristen yang menjalin relasi dengan pasangan yang tidak percaya, yang bukan saja berbicara tentang mereka yang berbeda agama, tetapi juga orang-orang Kristen KTP (Kristen Tanpa Pertobatan).
Berbicara mengenai cara pandang Kristen, maka mau tidak mau kita harus menetapkan suatu dasar dari segala pemikiran kita yaitu, Allah dan Alkitab yang kita percayai berotoritas. Kita percaya bahwa Allah berotoritas karena Dia adalah Sang Pencipta dan kita adalah ciptaan-Nya. Artinya segala sesuatu di dalam dunia ini berpusat kepada kehendak dan ketentuan Sang Pencipta. Begitu juga dengan Alkitab yang berisi kehendak dan ketentuan Allah yang berotoritas. Maka, saya harus berkata bahwa hubungan percintaan yang berbeda iman adalah suatu hal yang tidak saya setujui menurut cara pandang Kristen. Saya menyebut ketiga alasan di atas sebagai mitos yang seringkali dijadikan alasan dalam membenarkan relasi ini.
Jadi apa kata Alkitab mengenai ketiga mitos ini?
Mitos #1 - Saling Menghargai, Mencintai, dan Bahagia
Tentu ketika berbicara mengenai pluralisme dan universalisme, kita bisa saja menyikapinya dengan sangat humanis."Mereka yang berbeda iman juga manusia yang sama seperti kita. Kita akan tetap saling menghargai, dan tidak melarang satu sama lain menjalankan ibadahnya." Ini adalah perkataan yang begitu mudah diucapkan dalam relasi yang masih sebatas pertemanan, pendekatan, ataupun pacaran tetapi kenyataannya sulit diterima dalam relasi yang lebih dalam, yaitu pernikahan.
Mungkin kita sering mendengar cerita-cerita 'kesuksesan' pernikahan yang berbeda iman. Mereka bahagia dan setia sampai maut memisahkan. Wow! Kedengarannya pasangan ini sangat #relationshipgoals dan sesuai dengan nilai Alkitab. Akan tetapi, kita perlu menggarisbawahi kata 'kesuksesan'. Apakah ukuran kesuksesan (#relationshipgoals) menurut cara pandang Kristen?
2 Korintus 6:14 (TB) "Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?"
2 Corinthians 6:14 (NIV) Do not be yoked together with unbelievers. For what do righteousness and wickedness have in common? Or what fellowship can light have with darkness?
Photo by hardieshu hardi on Unsplash
Dalam terjemahan bahasa Inggris (NIV), Alkitab memakai gambaran kuk (yoke) dalam menjelaskan ketidakseimbangan antara pasangan yang percaya dan tidak percaya. Kita dapat membayangkan seandainya kita pergi ke sawah dan melihat seorang petani membajak sawah. Apa jadinya jika kuk atau bajak tersebut dipasangkan pada seekor kerbau dan seekor kambing yang jelas berbeda ukuran dan tenaganya? Pastilah binatang yang memiliki tenaga dominan akan menyeret dan melukai yang lemah.
Jika kamu adalah seorang Kristen yang sejati, maka kamu akan mengerti dan dapat membayangkan ayat ini begitu nyata di dalam pernikahan antara seorang Kristen dan pasangan yang tidak percaya. Seperti dua sisi koin yang terpisah, kamu tidak dapat menjalani panggilanmu sebagai seorang Kristen yang sejati sekaligus menjalani pernikahan dengan pasangan yang tidak percaya.
Sebagai seorang Kristen yang sejati, kita dituntut untuk menjalani panggilan Tuhan setiap hari. Tuhan memanggil kita untuk tidak menjadi serupa dengan dunia ini (Roma 12:2). Inilah ukuran kesuksesan menurut cara pandang Kristen. Kesuksesan tidak dinilai oleh manusia, tetapi bagaimana kita dapat taat akan panggilan Tuhan. Tuntutan ini bukanlah tuntutan yang mudah, diperlukan keberanian untuk menembus kebiasaan-kebiasaan, natur, dan cara pandang yang dianut dunia pada umumnya. Pasangan yang tidak percaya tidak akan mengerti akan hal ini. Jauh dari kata bahagia, malah kita akan menjalani jalan kesendirian yang sepi selama sisa hidup kita. Berdoa, membaca Alkitab, pergi beribadah, pelayanan, bergumul, semuanya yang tidak terelakkan itu mau tidak mau harus kita jalani sendirian.
Mitos #2 - Kesempatan untuk Penginjilan
Tuhan menguduskan relasi pernikahan. Pernikahan bahkan digambarkan seperti relasi Kristus dengan jemaat-Nya (Efesus 5:32). Relasi pernikahan bukanlah sesuatu yang main-main di mata Tuhan. Ia memiliki tujuan semula dalam menciptakan pernikahan. Sehingga bagaimana kita mempersiapkan pernikahan jugalah penting bagi-Nya.
Kejadian 1:31 (TB) "Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik."
Photo by Riccardo Chiarini on Unsplash
Tujuan semula Allah menciptakan pernikahan adalah untuk memuliakan Allah. Semua yang Ia ciptakan baik adanya. Namun, semua yang baik itu berubah dan mengakibatkan keterpisahan antara manusia dengan Sang Pencipta. Ketidakpercayaan manusia terhadap Allah adalah akibat dari kejatuhan manusia dalam dosa. Pernikahan yang semula diciptakan agar manusia beranak cucu dan memenuhi bumi untuk memuliakan Kerajaan Allah telah menjadi rusak. Sehingga tujuan mula-mula pernikahan bukanlah dimaksudkan untuk penginjilan.
"Tuhan, tolong ubah hati si X agar dia mau bertobat ketika kuinjili. Jamah hatinya, sehingga kami dapat menjadi pasangan yang sesuai dengan kehendak-Mu..."
Doa di atas mungkin sudah menjadi pokok doa harian dari seorang Kristen yang sangat ingin pasangannya bertobat. Padahal Pencipta kita bukanlah pesuruh, kita hanyalah ciptaan di hadapan-Nya. Sungguh merupakan suatu ironi ketika seringkali ada manusia yang tidak melakukan kehendak Penciptanya tetapi malah menuntut Penciptanya untuk bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan manusia tersebut. Inilah yang seringkali dilakukan manusia bukan? Menciptakan gambaran penciptanya sendiri menurut gambar dan rupa mereka.
Photo by Ben White on Unsplash
Mitos #3 – Dia Membawa Pengaruh Baik
Setelah manusia jatuh dalam dosa, manusia cenderung dan akan terus berbuat dosa sepanjang hidupnya. Dosa telah menjadi sebuah natur dalam hidup manusia, bahkan tanpa diajari pun seorang anak kecil dapat berbuat dosa.
2 Timotius 2:10 (TB) “Karena itu aku sabar menanggung semuanya itu bagi orang-orang pilihan Allah, supaya mereka juga mendapat keselamatan dalam Kristus Yesus dengan kemuliaan yang kekal.”
Paulus tahu benar bahwa tidak ada hal yang lebih membahagiakan bagi seorang manusia selain mengetahui bahwa dirinya telah diselamatkan. Bahkan demi memberitakan hal ini, Paulus rela menderita dan dianiaya. Fakta bahwa kita telah diselamatkan jauh lebih berharga daripada prestasi-prestasi yang dapat kita peroleh dan kebaikan-kebaikan yang dapat kita terima atau lakukan. Jikalau kita sungguh-sungguh mengenal Allah, maka kita akan mengerti apa yang sesungguhnya Ia inginkan dari hidup kita. Persembahan-persembahan yang berkenan bagi hati-Nya bukanlah kemurahan hati kita dalam memberikan persembahan, prestasi-prestasi yang dapat kita peroleh dalam studi atau pekerjaan, seberapa banyak kita beramal dan membantu orang lain, dan lain sebagainya. Namun, yang Ia inginkan adalah hati yang hancur dan menyadari bahwa kita adalah manusia berdosa yang membutuhkan pengampunan-Nya.
Pasangan yang tidak percaya mungkin kadang memang memiliki sikap yang baik dan tidak jarang membawa pengaruh yang baik untuk pasangannya. Namun, itu tidak akan mengubah fakta bahwa kita semua adalah manusia yang berdosa, rusak total, dan membutuhkan anugerah-Nya. Ketika kita lebih tertarik kepada pasangan kita, sesungguhnya ini menandakan bahwa kita lebih tertarik dengan kebaikan pasangan kita ketimbang kebaikan dan anugerah Allah.
Photo by Toa Heftiba on Unsplash
Kathy Keller, istri dari Timothy Keller, seorang penulis buku rohani, pernah menceritakan kisah anak mereka yang menjalin relasi dengan pasangan yang tidak percaya.
"Beberapa tahun yang lalu anak laki-laki kami mulai menghabiskan waktu bersama dengan seorang wanita Yahudi yang tidak percaya. Sudah bertahun-tahun dia mendengar kami berbicara mengenai penderitaan akibat ketidaktaatan seorang Kristen dengan menikahi seorang non-Kristen, sehingga dia mengerti bahwa itu bukanlah sebuah pilihan (sesuatu yang juga sering kami ingatkan). Namun, persahabatan mereka berkembang menjadi sesuatu yang lebih. Kami bangga, ia berkata kepada wanita itu: "Aku tidak dapat menikahimu kecuali kamu adalah seorang Kristen, dan kamu tidak dapat menjadi seorang Kristen hanya untuk menikah denganku. Aku akan duduk di gereja bersamamu, tetapi jika kamu serius untuk mempelajari Kekristenan kamu harus melakukannya sendiri--carilah kelompok kecilmu sendiri, bacalah buku, berbicaralah kepada orang lain selain aku." Bersyukurnya, wanita ini sangat berintegritas dan berani, dia mengarahkan dirinya untuk mencari kebenaran Alkitab. Selama dia bertumbuh semakin dekat dengan iman Kekristenan, kami terkejut karena anak kami pun mulai bertumbuh dalam iman untuk bisa menyeimbangkan diri dengan wanita itu. Wanita ini bahkan pernah bercanda kepadaku, "Seharusnya anakmu jangan pernah mendekatiku." Dia sampai kepada imannya dan anak kami yang menemaninya ketika dia dibaptis. Seminggu setelahnya, anak kami melamarnya dan sekarang mereka sudah menikah selama 2,5 tahun, bersama bertumbuh, bersama bergumul, bersama bertobat. Kami mencintai mereka berdua dan sangat bersyukur karena wanita ini ada dalam keluarga kami dan juga bersama dalam tubuh Kristus."
Photo by Sai De Silva on Unsplash
Seorang anak akan menuruti perkataan ayah dan ibunya ketika anak itu percaya kepada mereka dan anak itu mengasihi orang tuanya. Kita juga menunjukkan rasa cinta dan percaya kita pada Allah dengan melakukan kehendak-Nya. Namun, ketika kita memilih untuk tidak menuruti perkataan-Nya bukankah itu artinya ada hal yang lebih kita cintai daripada Allah atau mungkin sebenarnya kita tidak percaya pada Pencipta kita?
Rasanya juga tidak adil jika kita berdoa agar pasangan kita mau memberikan hatinya pada-Nya, di saat kita sendiri tidak benar-benar memberikan hati kita pada-Nya. Hal yang dapat kita lakukan pertama-tama adalah meminta Allah untuk mengubah hati kita terlebih dahulu sehingga kita mau menuruti kehendak-Nya, dan dengan segenap kesadaran menyerahkan relasi dan keseluruhan masa depan untuk Dia pimpin. Seturut kehendak-Nya.
"Bukan seorang yang bodoh, dia yang mau melepaskan apa yang dapat hilang daripadanya demi mendapatkan sesuatu yang tidak akan hilang darinya." - Jim Elliot
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: