Kamu nggak bisa pake alasan rohani ‘mencari kehendak Tuhan’ di dalam diri orang lain pada saat kamu sudah pacaran. - Wirawan (2018)
Sekitar pertengahan Februari, saya mendapatkan curhatan dari anak rohani saya. Diawali dengan pertanyaan, “Kenapa sih, kita bisa bermimpi?”, sampai berlanjut pada kriteria yang harus diperhatikan dari calon pasangan hidup (alias PH. Bukan, bukan pitsahat). Obrolan tersebut membuat saya ingat pada salah satu post di blog saya, yang berisi “wejangan” dari kakak rohani saya 5 tahun yang lalu, saat saya masih mendoakan calon PH saya (dan saat ini jadi pacar saya). Akhirnya, saya memutuskan untuk share bagian itu pada anak rohani saya. Begini isinya:
“Waktu kamu ngobrol sama dia (baca: calon PH-mu) itu, kamu juga harus lihat hidupnya dia.
Photo by Naassom Azevedo on Unsplash
Apakah dia mengutamakan persekutuan pribadi dengan Allah? Apakah dia punya rasa takut akan Tuhan lebih dari ketakutannya pada manusia?
Dalam hal kematangan pribadi, apakah dia:
Dalam hal tanggung jawabnya, apakah dia:
Lihat juga kalo dia lagi marah kayak gimana. Bisa nyelesaiin nggak, bisa mengampuni nggak?”
… dan list itu benar. Saya melihat banyak keteladanan dari pacar saya melalui list itu.
Photo by Andrik Langfield on Unsplash
Yang paling membuat saya speechless adalah saat pacar saya tahu kalau saya memikirkan orang lain—entah saat masih “masa mendoakan” maupun saat sudah berpacaran. Bagi sebagian orang, pacar saya berhak untuk meninggalkan saya (ya iyalah. Itu termasuk tindakan selingkuh, kan?). Lucunya, ini juga yang pernah memantik keinginan saya untuk putus, karena saya merasa dia tidaklah sebaik orang lain.
Biasanya, kami hanya bertengkar selama sehari—dan langsung berbaikan. Tapi saat saya berkata ingin putus, pertengkaran yang sempat terhenti justru berlanjut sampai beberapa hari kemudian. Saya tidak mau melakukan komunikasi apapun dengannya, bahkan nyaris mati rasa padanya. See? Sebuah pemikiran bodoh bisa berujung pada berakhirnya sebuah hubungan yang sudah diperjuangkan dengan susah payah (bonus air mata dan makan ati).
Tapi pacar saya tidak menyerah,
dan di situlah saya ditegur Tuhan habis-habisan.
Ketika saya menyadari kesalahan saya dan meminta maaf padanya, pacar saya mau menerima saya kembali. Apa yang dilakukannya mengingatkan saya pada Tuhan yang mau tetap mengasihi umat-Nya, walaupun mereka ngeyelan dan suka memberontak. Tuhan menegur saya melalui tindakan pacar saya yang mau merendahkan hati saat menghadapi saya yang “sok” ini, termasuk melalui perkataannya,
“Kamu nggak bisa pake alasan rohani ‘mencari kehendak Tuhan’ di dalam diri orang lain pada saat kamu sudah pacaran. Apapun alasan yang dipakai ya itu namanya selingkuh kalo masih ada ikatan dengan orang lain. Kalo ngomong ‘mencari kehendak Tuhan’, ya caranya harus selesaikan dulu dengan yang sebelumnya baru ada orang lain yang diizinkan masuk dalam hidupmu.”
Photo by Lina Trochez on Unsplash
DUEENGGG… Baru tahu saya hahahahaha… Selama ini, saya berpikir bahwa yang bisa berselingkuh hanya mereka yang melakukan hubungan secara sembunyi-sembunyi dari pasangannya. Ternyata, waktu saya memikirkan orang lain saat saya telah berpacaran, itu artinya saya juga sedang berselingkuh. Bagaimana saya bisa memuliakan Tuhan melalui relasi saya dengan pasangan, kalau dalam pikiran saja saya sudah melakukan hal yang salah? Percuma dong, saya sharing banyak hal tentang relasi yang benar di dalam Tuhan kalau pada kenyataannya saya gagal. Padahal orang lain juga melihat perbuatan, bukan?
Last but not least, saya teringat dengan kata-kata ibu dari teman saya,
“Sekali seseorang berselingkuh, maka akan sulit baginya untuk lepas dari ikatan perselingkuhan.”
Jadi selain list yang diberikan mentor saya di atas, saya juga ingin menambahkan dengan “Bagaimana sikap doi saat mengetahui ada yang tidak beres dengan kita? Apakah dia hanya akan marah-marah tanpa memberi solusi, atau tetap mengasihi kita dengan cara mendorong kita untuk berubah—seperti yang Kristus kehendaki bagi jemaat-Nya?”
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: