"Segala sesuatu diperbolehkan." Benar, tetapi bukan segala sesuatu membangun. 1 Korintus 10:23 (SABDA)
Saya bukan penggemar terbesar dari seri Toy Story dan selalu merasa film ketiga merupakan penutup yang sempurna bagi kisah Woody dan kawan-kawan. Di luar ekspektasi saya, Toy Story 4 menyajikan petualangan baru yang sedikit mengguncang otak saya untuk merefleksikan kembali diri lewat eksistensialisme. Film ini sangat menyentuh bagi saya karena saya pun mengalami apa yang para karakter tersebut alami di dalam narasi film.
The Story (Spoiler Alert)
Tanpa membocorkan terlalu banyak, Toy Story 4 menceritakan bagaimana Woody si mainan Koboi bertemu kembali dengan boneka gembala bernama Bo Peep, kekasih Woody ketika masih dirawat di rumah Andy – si anak pemilik mereka berdua. Dahulu, ketika Bo Peep akan dibuang oleh Andy, Bo Peep menawarkan pada Woody untuk ikut serta bersamanya. Woody yang setia teguh kepada Andy dan ingin terus menjalani perannya yang ia percaya seperti takdir, menolak dan memutuskan untuk tetap bersama Andy.
Tahun berlalu dan Woody menjadi mainan anak lain, ia harus meyakinkan mainan baru bernama "Forky” yang percaya bahwa dirinya adalah sampah, membantu Buzz Lightyear, mainan astronot yang memiliki dilema antara mengikuti kata hatinya atau petunjuk dari tombol di kostumnya serta Gaby – boneka yang mengalami kerusakan sehingga tidak bisa mengeluarkan suara dengan baik. Di penghujung perjalanan, mereka juga menemui Duke Caboom, mainan motor yang dalam iklan ditampilkan dapat mendarat dengan sempurna namun tidak dapat melakukan itu di kehidupan nyata.
Konflik utama timbul dari mainan-mainan yang berusaha memenuhi ekspektasi pencipta mereka. Gaby berusaha untuk mencuri paksa “kotak suara” mainan lain untuk jadi sempurna, Duke Caboom depresi karena tidak dapat mendarat dengan sempurna seperti di iklan. Woody dan Buzz kebingungan akan memilih mengikuti tujuan yang dipesankan pada mereka oleh pencipta mereka bahwa mereka hanyalah mainan dan harus hidup melayani anak-anak atau memilih bebas dan menentukan nasib mereka sendiri.
Pada akhirnya, Woody memilih untuk berpisah dari pemiliknya, tinggal bersama Bo Peep dan membantu mainan yang hilang menemukan pemilik baru.
Existentialism
Kita semua pasti pernah kecewa pada atau setidaknya mempertanyakan Kristus ketika kita melihat dunia ini. Di mana Tuhan saat ada Corona? Di mana Tuhan saat saya susah? Kok Tuhan mengizinkan semua ini terjadi? Hal ini biasa terjadi ketika kita sudah keluar dari gedung gereja atau komunitas Kristen. Kita seperti bangsa Israel yang dijanjikan banyak hal namun justru menghadapi berbagai kesulitan. Katanya ada “tanah perjanjian”, kok yang kita jalani malah pertumpahan darah? Katanya kita bangsa terpilih? Kok hidup kita susah? Mana berkat Tuhan?
Sama seperti kita merasakan hal tersebut, karakter-karakter di Toy Story juga mengalami krisis eksistensial. Kita akan membahasnya untuk mendalami permasalahan mereka dan apa yang bisa kita pelajari dari sana.
Sebelumnya, berikut penjelasan singkat mengenai eksistensialisme: Eksistensialisme itu paham filsafat di mana “eksistensi” mendahului “esensi”. Intinya begini: kamu itu didefinisikan dari tindakanmu dan pilihanmu dalam hidup. Tidak ada orang yang lahir jahat atau baik, adanya orang yang memilih menjadi jahat atau memilih menjadi baik. Tentu kita dapat mendalami lebih lagi, namun untuk sekarang definisi sederhana tersebut yang akan kita pakai untuk “menyelam”.
Deconstructing Faith and Free Within Christ
Seperti yang kita tonton, di dalam Toy Story 1 dan 2, kita melihat bahwa Woody dan kawan-kawan adalah sosok yang setia pada “Tuhan” mereka, dalam cerita ini yang dimaksud Tuhan adalah si pencipta mereka (pabrik mainan). Mereka mau menempuh jalan terjal nan sulit untuk mempraktikkan kesetiaan mereka pada pemilik mereka.
Coba kita refleksikan, mirip kan mereka dengan fase awal kehidupan kita? Umumnya sebagai individu yang mengenal Kristus, kita lebih fokus ke menuruti perintah untuk hidup benar. Karena tujuan kita adalah menuruti, dunia seakan hanya terbagi menjadi hitam dan putih: ikut atau tidak, benar atau salah.
Namun di film terakhir, kita melihat bahwa kini mainan pun bisa berpisah dari pemiliknya, bertindak tidak sesuai petunjuk yang diberikan dan tetap menjadi mainan yang baik. Kenapa ya pesan moral yang sebelumnya seperti ditinggalkan begitu saja?
Sama seperti kita, Woody dan teman-teman menghadapi krisis identitas ketika menyadari bahwa mereka memiliki pilihan untuk tinggal dengan pemilik mereka atau bebas. Kita pun melewati masa “menuruti” menuju tahap dewasa yang menuntut mereka untuk “memahami”. Ketika kita masih di sekolah, lebih mudah bagi kita untuk menjadi “baik” karena kita hanya perlu mengikuti petunjuk dan melakukannya dengan benar. Ketika kita dewasa, kita tidak lagi memiliki rasa aman. Kini kita harus berupaya memahami kompleksitas dalam hidup yang tidak selalu hitam putih. Kita bisa menjadi abu-abu karena konteks situasi dan kondisi yang membuat kita harus mengambil keputusan sulit.
Alkitab dan 10 Perintah Allah mengajarkan kita untuk tidak membunuh, namun ketika disodorkan dengan konteks kriminal dengan jiwa yang tidak stabil dan terbukti melukai bahkan menewaskan banyak orang maka hukuman mati muncul sebagai opsi yang meski tidak sesuai perintah Tuhan tersebut, memiliki nilai kebenaran juga. Perdebatan yang berlangsung dalam pengambilan keputusan akan membuka banyak aspek baru yang semakin mengaburkan batas antara putih dan hitam. Pada akhirnya, keputusan bukan sekadar melihat Injil namun juga apakah kita rendah hati untuk meminta kebijaksanaan dari Tuhan berdasarkan bukti dan konteks yang telah diperlihatkan.
Galatia 5:13
Saudara- saudara, memang kamu telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa. Melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih.
Woody awalnya menolak, ia ingin terus melayani anak-anak sebagai mainan karena untuknya ini lebih jelas, memenuhi kewajiban sebagai mainan lebih mudah dibanding mengikuti Bo Peep dan bebas menentukan apa fungsinya di dunia ini dari hatinya sendiri. Setelah ia menerima kebebasan tersebut dan memilih tinggal dengan Bo Peep, justru Woody dapat memberikan dampak besar bagi lebih banyak mainan lain yang tersesat atau hilang, baik dengan memberikan penghiburan maupun dengan mengantarkan mereka ke pemilik baru.
Ketika seseorang menggunakan agama dengan kaku, contohnya menjelek-jelekkan agama lain, memilih untuk menjadi sulit bergaul dengan orang lain yang tidak sepaham dan memandang gereja atau pendeta tertentu sebagai suci dan maha benar, maka kita tanpa sadar sebenarnya sedang memenjarakan diri sendiri dan lebih buruk lagi, kita dapat mempersulit orang lain.
Di awal penyebaran virus Corona, banyak sekali orang-orang yang masih vokal untuk melawan karantina. “Takut ya sama Tuhan, jangan Corona” katanya, “Tempat ibadah kok jadi sepi? Umat Tuhan kalah sama virus?” . Belakangan baru diketahui beberapa ibadah yang dihadiri banyak orang justru jadi tempat virus menyebar. Kelompok Kristen Shincheonji di Korea Selatan dan beberapa tokoh seperti Kenneth Copeland di Amerika Serikat menolak vaksin, tidak mau menunda kegiatan yang menghadirkan banyak orang, menyebarkan berita yang salah mengenai Corona dan “menjunjung tinggi kekuatan Tuhan” secara sembarangan.
Mereka lupa bahwa ketika ribuan gedung gereja ditutup, jutaan gereja-gereja kecil hadir di rumah-rumah jemaat. Bahwa Tuhan memberikan kita akal untuk melayani dan membantu satu sama lain, hati untuk menuntun hati kita berempati, dan iman untuk memperkuat mental untuk berani melakukan hal yang benar. Bukannya bebas dalam Kristus, mereka memilih untuk memenjarakan diri dalam kesombongan mereka dan mengklaim bahwa inilah jalan yang “Kristus” tunjukkan. Sebagai makhluk merdeka kita dapat memilih menjadi apapun dan selama kita ada di dunia ini Tuhan memberi kita kebebasan untuk memberi makna dalam hidup lewat pilihan yang kita pertanggung-jawabkan nanti. Lantas bagaimana kita memilih? Sudahkah ada akal, iman dan Tuhan di dalam pilihan kita?
Knowing, Doing, Being.
Tulisan ini awalnya berakar dari obrolan seputar jodoh, dan bagaimana menentukan pilihan itu kompleks, sulit dan harus disertai tanggung jawab. Saya dan teman-teman menyimpulkan dari diskusi kami bahwa sepertinya Tuhan tidak secara spesifik menentukan jodoh sehingga kalimat “mencari” jodoh itu tidak benar. Yang ada adalah kita membentuk keluarga secara sadar dan mempertahankan keputusan itu seumur hidup. Rencana Tuhan itu lebih seperti peta, bukan rel kereta api. Ini bukan ditarik dari Alkitab, ...ini hanya diskusi santai beberapa teman se-almamater.
Dari situ, kami menyimpulkan bahwa Tuhan tidak membentuk takdir kita seperti kita memainkan tamiya di trek. Kita punya pilihan untuk keluar dari trek, berputar-putar atau bahkan loncat seperti di anime Let’s Go! Dulu. Tuhan tahu bagaimana kita berakhir karena Ia mendengarkan hati kita. Ia selalu berusaha bicara dengan kita lewat akal dan logika, serta perasaan dan iman.
Di tengah hidup dan kebebasannya yang kadang membuat kita tak berarti, agama serta Tuhan merupakan panduan yang sederhana namun mendalam. Masalahnya kita sering terlalu nyaman dalam kesederhanaan tersebut sehingga lupa konteks “mendalam” yang ada. Kita lebih mudah melihat dunia sebagai hitam dan putih karena menghakimi orang lain dengan konteks yang sungguh terjadi adalah sulit dan rumit. Kita seperti Gabby Gabby dan Duke Caboom kadang juga terjebak dalam kesederhanaan yang sama sehingga menganggap setiap hal yang tak "plek" sesuai dengan teks adalah cacat dan gagal. Kita lupa bahwa Tuhan dapat tetap memakai kita atau mengubahkan orang lain menjadi lebih baik. Ia masih memberi kesempatan dan menghargai usahamu atau usaha orang lain untuk berusaha menjadi seperti-Nya.
Kini kita bebas menentukan hidup kita, maukah kita ekklesia? Sudikah kamu ketika dipanggil ke luar pula? Jawabannya tidak ada di tulisan ini. Coba cari di hatimu lagi, di akalmu, dan bila kamu tak menemukannya....di dalam iman.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: