"To clasp the hands in prayer is the beginning of an uprising against the disorder of the world.” - Karl Barth
BERDOA SAJA?
Sebagai perantau di kawasan Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek), saya menyadari bahwa diri saya merupakan bagian dari kepadatan kawasan ini. Saya adalah satu dari 30 juta lebih orang yang memenuhi area urban terbesar kedua di dunia[1] setelah megalopolis Tokyo ini. Wilayah Jabodetabek sedemikian sesaknya, diisi warga asli pun pendatang dari seluruh pelosok Indonesia yang mencari penghidupan lebih layak akibat ketimpangan antara ibukota dan daerah.
Maka, sejatinya wajar bila udara Jabodetabek tidak cukup sehat. Begitu banyak kendaraan bermotor, begitu terbatas transportasi umum, begitu banyak industri berjalan dengan segala limbahnya, begitu intens “pembangunan” yang digerakkan para konglomerat tamak.
Bahkan pada 13 Agustus 2023, berdasarkan data situs IQAir, indeks kualitas udara (AQI) di Jakarta berada di angka 170, masuk dalam kategori tidak sehat. Situs pemantau kualitas udara dengan waktu terkini tersebut pun mencatatkan Jakarta sebagai kota dengan udara terburuk di dunia.[2]
Parahnya lagi, dengan kesadaran akan kondisi udara yang demikian rusak, di mana tentu saya juga punya punya andil dalam kerusakan tersebut (minimal sebagai pengendara mobil rutin), saya tetap kesal ketika membaca berita berjudul “KLHK soal Cara Cepat Kurangi Polusi Udara: Minta Doa Turun Hujan.”[3]
Dengan polusi seperti ini, bagaimana mungkin pejabat yang bertugas mengelola lingkungan hidup negara berseloroh santai, meminta bersama-sama berdoa supaya hujan segera turun?
Menyadari bahwa penyebab limbah udara terbesar berasal dari pengolahan energi dan industri, sungguh menyebalkan ketika orang-orang yang digaji pembayar pajak, alih-alih menyampaikan langkah taktis seperti kebijakan kerja dari rumah dan pembatasan aktivitas industri serta energi, malah memberikan jawaban sedemikian enteng.
Berdoa saja? Ketika warga menuntut bukti kerja? Ketika kita mengharapkan keseriusan pemangku jabatan dan pelaku kebijakan menggumulkan dan mengeksekusi solusi?
Bukankah begitu mengesalkan bila kita menghadapi situasi-situasi genting dan menuntut gerak konkret, tapi yang tertuturkan hanyalah kata “doa”?
Image on Christianity
KETIKA “BERDOA SAJA” JAUH DARI CUKUP
Namun sadar atau tidak, lingkungan, entah keluarga, teman, kolega, bahkan diri kita sendiri, begitu mudah mengucapkan kata-kata demikian. Begitu terbatasnya sumber daya dan kreativitas menyelesaikan konflik, mengatasi masalah dengan mencari solusi, ataupun mengambil tindakan taktis, terkadang yang terucap hanyalah ajakan berdoa.
Saya tidak mengecilkan makna doa. Dalam iman, saya sadar betapa berharganya melipat tangan dan menundukkan kepala. Betapa berartinya doa-doa bagi sesama. Betapa berpengaruhnya rutinitas berdoa bagi pembentukan iman yang sehat. Betapa pentingnya menyerahkan segala sesuatunya kepada Tuhan, untuk senantiasa berdoa sekaligus berupaya (ora et labora).
Sedemikian besarnya kekuatan doa, Karl Barth berkata, “to clasp the hands in prayer is the beginning of an uprising against the disorder of the world.”
Namun justru karena melipat tangan dalam doa adalah permulaan upaya perlawanan ketidakberesan dunia, kita sepatutnya sadar seberapa murahannya kita menilai anugerah Tuhan – seperti apa yang Dietrich Bonhoeffer sebut “cheap grace”) – jika kita menganggap akses komunikasi terhadap Tuhan sebagai solusi super tanpa mengupayakan bagian kita.
Bagaimana jika refleks kita mengucap doa sebagai sebagai anjuran untuk memecahkan masalah justru karena enggan untuk mendengarkan lebih tekun?
Bagaimana jika kita cepat berpikir untuk berdoa justru karena menolak undangan menggumuli problematika sesama lebih dalam?
Bagaimana jika kita segera mencari orang yang “jago” berdoa justru karena menginginkan jalan pintas penyelesaian tantangan kehidupan?
Bagaimana jika kita begitu mudah berespons terhadap masalah dengan berdoa justru karena ingin menghindar ketika Tuhan mengutus menjadi jawaban doa?
Bagaimana jika kita berdoa justru karena ingin melewatkan suara Tuhan yang berteriak dalam keluhan dan penderitaan sesama?
Image by pixelheadphoto on iStock
SUPAYA DOA TAK MEMBUATMU MELEWATKAN SUARA TUHAN
Dalam refleksi pribadi, saya teringat berbagai situasi saat merasa tak berdaya setelah membaca berita ataupun menerima informasi tentang sekitar. Saya mencoba berdoa, tapi tidak bersedia menggumuli pokok doa lebih jauh. Dalam situasi-situasi demikian, saya perlu merenungkan ulang arti bercakap-cakap dengan Tuhan dan mendengarkan suara-Nya, berdoa dan menjadi jawaban doa.
Yakobus 1:19-27 (diberi judul “Pendengar atau pelaku firman” oleh Lembaga Alkitab Indonesia) menjadi perikop Alkitab yang dengan kuat menuntut gerakan pribadi dan komunal dalam mengerjakan panggilan Tuhan.
Surat Yakobus, secara tradisi ditulis oleh Yakobus saudara Yesus – yang sempat skeptis dengan Yesus tapi kemudian menjadi tokoh penting gereja mula-mula – adalah surat “aneh”. Martin Luther pernah menyebutnya “surat jerami” karena mencurigai tidak ditulis oleh rasul, juga karena kesulitan menemukan harmoni antara teologi Paulus yang begitu fokus pada anugerah Allah tanpa syarat perbuatan (sola fide ‘hanya karena iman’) dengan teologi Yakobus yang begitu menggaungkan matinya iman tanpa perbuatan.[4]
Namun di kemudian hari, muncul kesadaran tafsiran anugerah, iman, dan perbuatan oleh Bapa-Bapa Reformasi Protestan seperti Philip Melanchthon, John Calvin, Ulrich Zwingli, maupun Martin Bucer. Formula iman bertransisi menjadi, “we are justified by faith alone, but faith that justifies is never alone.” Kita dibenarkan hanya karena iman, tapi iman yang membenarkan tak pernah sendiri. [5]
Yakobus memulai dengan peringatan keras untuk: cepat mendengar, tapi lambat berkata-kata, juga lambat marah (ayat 19). Untuk belajar lebih dalam mendengarkan Allah berkata-kata dan menyatakan diri melalui Yesus di dunia. Untuk tidak sekadar berkata-kata dalam doa lalu cepat bersungut-sungut bila doa tidak segera terwujud.
Lebih jauh, Yakobus mendorong agar melampaui mendengarkan; jadilah pelaku firman (ayat 22). Hidupi doa-doa, jadikan itu penggerak untuk lebih peka menjumpai Yesus dalam segala hal, kerjakan bagian kita merespons firman Tuhan.
Yakobus pun menegur kita yang rajin beribadah tapi tidak mengekang lidah kita sehingga menipu diri (ayat 26 dan 27). Begitu mudah merasa taat, tapi menipu diri dengan tidak mengerjakan ibadah keseharian. Marty Folsom menyebut bahwa aktivisme keagamaan (entah doa-doa khusyuk, ritual-ritual rutin, pun keterlibatan aktif dalam kegiatan-kegiatan gereja) bisa saja menghalangi jalan menuju pengenalan akan Yesus. Aktivitas menggantikan persahabatan (companionship) dengan Yesus. Kita pun mengalami kehampaan karena melewatkan Yesus.[6]
Ibadah murni dan tak bercacat di hadapan Bapa, menurut Yakobus, adalah mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan, dan menjaga dirinya sendiri tidak dicemarkan dunia. Artinya peduli terhadap sekitar, menjumpai sesama dalam pergumulannya, menyediakan telinga untuk mendengarkan, pun mengelola diri tidak larut dalam keputusasaan dan kebekuan dunia yang tidak mengenal Tuhan. Upaya mengerjakan panggilan Tuhan dalam memperhatikan sesama pun adalah bentuk doa. Seperti peribahasa modifikasi dari ora et labora, laborare est orare . Bekerja adalah berdoa!
Image on John Templeton Foundation
KETIKA DOA MENUNTUNMU MENCARI SUARA TUHAN
Doa yang sejati akan menggerakkan kita mencari suara Tuhan di mana pun Dia hendak menyatakan diri. Karenanya, kita belajar bergerak dan berupaya menjadi jawaban doa. Soren Kierkegaard berkata, “the function of prayer is not to influence God, but rather to change the nature of the one who prays.” Apabila di dalam doa-doa kita tidak berbuah pada perubahan natur diri sendiri, sungguhkah kita berdoa?
Isu polusi udara tidak hanya dihadapi dengan berdoa. Ada orang-orang yang dari tahun lalu berupaya menjadi jawaban doa dengan mengajukan gugatan kepada pemerintah. Hasilnya, tergugat dinyatakan melawan hukum berkaitan dengan penanganan polusi udara.[7] Tentu pemerintah berkelit dan mengajukan kasasi[8], tapi pesannya sudah tersampaikan, yaitu upaya menjadi jawaban doa selalu membuka jalan untuk melawan.
Saya pun teringat sharing Josua Collins pada IGNITE Conference 2020[9]. Dia adalah salah satu orang yang mengajukan gugatan atas Undang-undang MD3 yang berpotensi memberikan kuasa terlalu besar kepada anggota DPR. Gugatan dikabulkan sebagian[10]. Sharing-nya mengingatkan saya: apabila umat Kristen Indonesia tidak sekadar numpang slamet[11] dan apatis, atau hanya menampakkan aktif pada musim Pemilihan Umum (“jangan golput!”), sejatinya selalu ada ruang untuk menjadi jawaban doa dan berperan aktif dalam menghidupi kemerdekaan bangsa, seberapapun sulitnya untuk tidak ciut nyali.
Yakobus 1:25 menyebut bahwa hukum yang memerdekakan adalah ketika tidak hanya mendengar untuk melupakannya, tapi juga sungguh-sungguh melakukannya, supaya kita berbahagia karena perbuatan kita. Bersediakah kita tidak hanya memanjatkan doa, tapi juga berfokus mendengarkan suara Tuhan yang menyatakan diri lewat Yesus dalam keseharian? Lebih jauh, bersediakah kita tidak hanya mendengar, tapi juga bergerak?
Kiranya Allah Sang Pembebas memampukan kita untuk bebas dari gelembung isolasi diri berkedok doa dan untuk berkarya. Mari terus menggumuli lebih jauh bagaimana menjumpai Allah dan menjadi jawaban doa.
Referensi:
[1] Rafael Martinez dan Irna Nurlina Masron, “Jakarta: A city of cities,” Cities, Volume 106, 2020, 102868: https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0264275120312166
[2] “Kualitas Udara Jakarta Terburuk Nomor Satu di Dunia pada Minggu Pagi,” CNN Indonesia, 13 Agustus 2023: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230813072748-20-985386/kualitas-udara-jakarta-terburuk-nomor-satu-di-dunia-pada-minggu-pagi
[3] “KLHK soal Cara Cepat Kurangi Polusi Udara: Minta Doa Turun Hujan,” CNN Indonesia, 14 Agustus 2023: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230814151351-20-985874/klhk-soal-cara-cepat-kurangi-polusi-udara-minta-doa-turun-hujan
[4] Philip Schaff, History of the Christian Church, Volume VII. Modern Christianity. The German Reformation, (Oak Harbor: Logos Research Systems, Inc., 1997): https://www.ccel.org/ccel/schaff/hcc7.ii.iv.iv.html
[5] Andrew T. Le Peau dan Phyllis J. Le Peau, A Deeper Look at James: Nine Sessions for Groups and Individuals (Downers Grove: InterVarsity Press, 2013), hlm. 65.
[6] Marty Folsom, Karl Barth’s Church Dogmatics for Everyone, Volume I – The Doctrine of the Word of God (Grand Rapids: Zondervan, 2022), hlm. 49.
[7] “Gugatan polusi udara: Pengadilan Tinggi Jakarta sebut Presiden Jokowi hingga Menkes 'lalai' sehingga kualitas udara menjadi buruk,” BBC News Indonesia, 20 Oktober 2022: https://www.bbc.com/indonesia/articles/cg38wdpjxjwo
[8] Amy Heppy, “Jokowi Ajukan Kasasi, Sidang Pencemaran Udara Jakarta Berlanjut,” Tempo, 28 Januari 2023: https://metro.tempo.co/read/1685027/jokowi-ajukan-kasasi-sidang-pencemaran-udara-jakarta-berlanjut
[9] IGNITE GKI, “Melawan stigma "Pasif dan Apatis" Orang Kristen dalam Konteks Hukum dan Politik | Josua Collins,” 3 Juni 2020: https://www.youtube.com/watch?v=zOMiZWZlHBo
[10] M. Ahsan Ridhoi, “Yang akan Terjadi pada Anggota DPR Usai Gugatan UU MD3 Dikabulkan,” Tirto, 30 Juni 2018: https://tirto.id/yang-akan-terjadi-pada-anggota-dpr-usai-gugatan-uu-md3-dikabulkan-cNfn
[11] Abel K. Aruan, “Kristen Indonesia dan Kecenderungan Numpang Slamet”, IGNITE GKI, 8 April 2019: https://ignitegki.com/article/3-kristen-indonesia-dan-kecenderungan-numpang-slamet
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: