Terkurung bukan berarti menjadi kerdil, terkurung bukan berarti tak bisa apa – apa dan tak mau apa – apa.
Sebelum kasus Virus Covid-19 merebak di Indonesia, saya sudah menjadi 'tawanan masyarakat';tidak diperkenankan ada di kerumunan, tidak bisa bertemu teman – teman, dan yang paling menyedihkan, tidak bisa masuk kerja. Saya terkena Virus Varicella Zoster (cacar air) pada 28 Februari 2020 lalu.
Mulai hari itu, saya resmi menjadi tahanan rumah, tidak bisa keluar dan bertemu siapa-siapa (mungkin mereka juga takut bila ingin bertemu denganku, haha) dan tidak bisa sembarangan beraktivitas. Ketika sakit itu pun saya sedang menggumulkan suatu kegiatan yang terjadwalkan. Rasa marah, kecewa, sedih, penolakan terus berkecamuk. Saya semakin tidak suka dengan penyakit ini. Hanya bisa diam di rumah, tidak bisa bekerja, bertemu orang menjadi sangat takut apalagi dengan kondisi muka yang sangat tidak terkontrol. Satu minggu pertama, saya merasa menyia-nyiakan waktu; hanya bisa diam, memaki keadaan, merasa kehilangan kesempatan baik. Mungkin juga efek obat yang menimbulkan kantuk, sehingga membuat saya tidak banyak beraktivitas.
Hidup saya kala itu merasa terkurung, karena saya seorang ekstrovert yang setiap harinya selalu bertemu banyak orang. Energi saya akan penuh bila bertemu, berbicara, tertawa, dengan banyak orang. Saya selalu semangat dikelilingi teman-teman. Tapi minggu itu seperti Tuhan menyimpan segalanya buat saya; kesempatan baik yang harus saya tinggalkan, rencana yang sudah saya rancang disingkirkan; sungguh jenuh dan tidak nyaman rasanya bila si ekstrovert ini diisolasi.
Kemudian di minggu kedua, saya mulai sehat dan segar, obat-obatan berkurang, rasa sakit pun berangsur hilang. Saya mulai bisa berpikir jernih, apa yang saya bisa lakukan selagi saya memiliki waktu luang? Hal apa yang tidak bisa saya lakukan ketika saya sibuk menjadi seorang ekstrovert? Saya mewarnai buku berpola kado dari seseorang yang misterius, membaca beberapa buku, hingga memasak berbagai resep yang sulit saya lakukan ketika sibuk.
Satu minggu saya habiskan dengan memasak dan membaca buku, hasilnya satu minggu tak ada gerutu, tak ada tangis, tak ada penyesalan. Banyak hasil masakan yang dicicip orang rumah dan teman-teman, mereka bilang enak hasilnya. Aku begitu senang dan merasa isolasiku kini tak membosankan.
Sekarang ini, atau mungkin ketika artikel ini rilis, saya masih terisolasi karena kantor belum mengijinkan saya masuk. Tapi kali ini tidak banyak perasaan negatif yang muncul. Kali ini saya berpikir bagaimana saya memakai waktu se-produktif mungkin. Pacar saya selalu mengingatkan walaupun di rumah, jangan selalu di dalam kamar - sempatkan keluar kamar setidaknya untuk membaca buku di luar atau melakukan pekerjaan di luar supaya otak segar dan hati lebih tenang.
Mengisolasi diri bisa jadi suatu hal yang akan membuat kita tersadar kalau kita ini perlu diam dan istirahat.
Isolasi diri juga bisa membuat kita mengasah kemampuan yang sulit kita tajamkan ketika sedang sibuk berputar di lingkaran sosial. Oh! Satu hal yang saya rasa penting bagi siapapun yang sedang sakit dan memang perlu untuk berjarak dari sosial, jangan sedih dan merasa minder. Kamu butuh istirahat dan pergunakan waktu istirahat ini menjadi bahan untuk bertumbuh.
Saat ini banyak orang bekerja dan belajar di rumah karena Virus Covid-19 yang menyerang. Tetaplah produktif dan jaga kesehatan! Aku jadi paham bagaimana pentingnya kesehatan. Berjarak dari lingkungan juga bukan merupakan hal yang 'buruk' - kamu akan mengurangi penyebaran virus untuk kebaikan bersama.
Semangat untuk kamu yang sedang berjuang di sana!
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: