Mengasihi diri sendiri berarti mampu menerima diri apa adanya sesuai dengan maksud dan tujuan Tuhan menciptakan kita.
Berbicara tentang toxic relationship seringkali yang kita dengar adalah kekerasan dalam pacaran, pasangan yang posesif, pasangan yang tidak bisa diajak berkomunikasi, dan sebagainya. Berada di balik meja konseling ketika magang membuat saya belajar banyak tentang permasalahan kehidupan yang tidak terungkapkan ke permukaan. Setiap kali saya melakukan intake interview sebelum si klien konseling ke psikolog, saya menanyakan beberapa pertanyaan untuk melihat akar permasalahan klien. Uniknya dari semua klien yang pernah saya temui memiliki permasalahan yang berakar dari keluarga, sekalipun mungkin masalah utamanya berbicara tentang relasi dengan pasangan, pertemanan, bahkan masalah diri.
Tak dapat dipungkiri bahwa peran orang tua dalam budaya Indonesia sangatlah kuat. Hubungan anak dengan orang tua merupakan hubungan yang jelas dan tidak setara sehingga perlu adanya sopan santun dalam berkomunikasi. Jika tidak sesuai dengan unggah-ungguh yang berlaku, tidak jarang ketakutan akan label anak durhaka menyelimuti perasaan sang anak. Seolah-olah marah kepada orang tua adalah sesuatu yang tidak pantas. Marah yang dimaksud ialah ketika sang anak mengungkapkan rasa kekecewaan atau ketidaksukaannya terhadap apa yang diperbuat oleh orang tuanya. Di balik itu, orang tua sering merasa bahwa apa yang diperbuatnya memang yang terbaik untuk anak. Sehingga memendam emosi seringkali menjadi pilihan sang anak ketika tidak bisa melakukan apapun. Emosi yang terus dipendam ibaratkan sebuah gunung berapi yang akan meletus pada waktunya.
Kita memang tidak pernah bisa memilih akan ditempatkan di keluarga seperti apa. Seolah-olah penempatan keluarga ini adalah sebuah “takdir” yang Tuhan izinkan untuk berproses di dalamnya seumur hidup kita. Bahkan perilaku, value, kepribadian kita sedikit banyak dipengaruhi oleh keluarga. Kepribadian dipengaruhi oleh nature dan nurture. Nature berbicara tentang gen dan nurture berbicara tentang lingkungan. Keluarga merupakan lingkungan pertama kita di dunia. Katanya tempat pulang ketika kita tidak tahu harus pergi kemana adalah keluarga tetapi seberapa banyak dari kita yang justru muak dengan keluarga kita sendiri bahkan enggan untuk kembali ke rumah?
Photo by christophe Dutour on Unsplash
Salah satu tokoh psikologi bernama Erikson (dalam Santrock, 2013) mengungkapkan tentang teori perkembangan psikososial manusia. Pada masa bayi, kita memiliki pergumulan tentang trust vs mistrust. Tugas psikologis mendasar bagi bayi adalah mengembangkan perasaan bahwa pengasuh dan lingkungannya responsif, dapat diandalkan, dan konsisten. Dengan kata lain, mereka dapat percaya bahwa kebutuhan dasar mereka akan terpenuhi. Ketika bayi dalam kesulitan misalnya karena kelaparan, kelelahan, cedera, atau butuh ganti popok, dapatkah mereka berharap bahwa pengasuh akan memenuhi kebutuhan mereka? Jika kebutuhan mereka segera terpenuhi maka timbulah rasa percaya dari bayi kepada pengasuhnya. Namun jika kebutuhan mereka tidak terpenuhi maka bayi akan memiliki ketidakpercayaan pada pengasuhnya. Hal ini akan mempengaruhi pola kelekatan mereka dengan pengasuhnya yang seringnya adalah orang tua mereka.
Kelekatan menurut Ainsworth (dalam Santrock, 2013) adalah ikatan emosional antara individu dengan individu lainnya yang bersifat kuat dan spesifik. Terdapat tiga macam pola kelekatan yaitu secure attachment, resistant attachment, dan avoidant attachment. Secure attachment ditandai dengan individu yang penuh kasih sayang, memiliki konsep diri yang bagus, memiliki kepercayaan ketika menjalin relasi dengan orang lain. Resistant attachment ditandai oleh individu yang kurang perhatian, enggan mendekati orang lain, dan khawatir jika individu lain tidak mencintainya karena individu dengan pola kelekatan ini seringkali berpikir bahwa orang lain tidak akan menyayanginya dan merasa takut jika ditinggalkan. Avoidant attachment ditandai oleh individu sulit menjalin relasi dengan orang lain, keterlibatan emosinya sangat rendah ketika menjalin relasi, serta tidak mudah berbagi pemikiran dan perasaan dengan orang lain.
Photo by Michel Paz on Unsplash
Segala bentuk pola kelekatan inilah yang akan mempengaruhi kita dalam menjalin hubungan romantis. Contohnya dalam toxic relationship, mengapa individu enggan keluar dari hubungan yang toxic atau mungkin individu menjadi toxic bagi pasangannya karena alasan cinta. Rasa tidak aman yang dipengaruhi oleh pola kelekatan membuat individu enggan keluar dari hubungan yang pernah membuatnya nyaman sekalipun saat ini hubungan tersebut sudah tidak baik. Perasaan enggan ditinggalkan membuat individu melakukan apapun agar pasangannya tidak pergi. Hal ini terjadi karena individu takut apabila perasaan tidak aman muncul kembali setelah berhasil terobati dengan hadirnya pasangan. Kalau begitu jika hubungan romantis sedikit banyak dipengaruhi oleh pola asuh dan kelekatan di masa kecil atau hubungan antara orang tua dengan anak, bagaimana dengan anak yang tidak memiliki hubungan baik dengan orang tuanya? Apakah tidak ada harapan untuk memiliki hubungan romantis yang sehat dan bertumbuh? Tentu saja ada!
Satu hal yang perlu disadari bahwa orang tua kita juga manusia yang tidak sempurna. Menjadi orang tua memang bukan suatu hal yang mudah. Zaman sekarang kita bisa dengan mudah mengakses literatur tentang parenting atau melalui berbagai akun parenting di media sosial. Bayangkan orang tua kita yang hidup di era belum secanggih sekarang. Dengan minimnya literasi pun membuat mereka mengasuh anak berdasarkan apa yang dilakukan orang tua mereka terdahulu. Bahkan apa yang dilakukan orang tua mereka pun menimbulkan luka batin bagi orang tua kita. Orang tua kita juga terjebak dalam luka batinnya. Sehingga luka batin ini ibarat lingkaran setan yang tidak ada habisnya.
Photo by Ed Robertson on Unsplash
Kita bisa memutus rantai luka batin itu dengan berdamai dengan rasa sakit dan mengampuni orang tua kita yang mungkin jauh dari kata sempurna. Mengampuni merupakan wujud cinta kasih kita kepada orang tua kita. Memang rasanya pasti sulit apalagi perasaan benci itu sudah terpendam selama puluhan tahun. Tidak ada proses mengampuni yang mudah apalagi ikatan keluarga bukanlah ikatan yang bisa kita putuskan kapanpun kita mau.
Ada satu pribadi yang kasihNya selalu sempurna, yaitu Tuhan Yesus Kristus. Ia selalu baik di saat situasi sedang tidak baik. Ia selalu menyenangkan sekalipun situasi sedang tidak menyenangkan. Dia adalah pribadi yang kasihNya tidak pernah mengecewakan. Kita menyadari bahwa kemampuan manusia terbatas sehingga yang bisa kita lakukan hanyalah meminta cinta kasihNya untuk memampukan kita berdamai dan memaafkan segala luka yang telah digoreskan orang tua dalam kehidupan kita.
Photo by Yannis Papanastasopoulos on Unsplash
Seperti kata Matius 22:39 “Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”
Ayat tersebut mengajarkan kita untuk mengasihi orang lain seperti bagaimana kita mengasihi diri kita. Mengasihi diri sendiri berarti mampu menerima diri apa adanya sesuai dengan maksud dan tujuan Tuhan menciptakan kita. Menerima diri apa adanya juga bermaksud berdamai dengan segala pengalaman hidup dan goresan luka yang selama ini menyelimuti kita. Ketika kita sudah full dengan kasih Kristus dan berdamai dengan luka batin, kita bisa mengasihi orang lain tanpa diselimuti oleh goresan luka yang pernah membelenggu kita. Sehingga timbullah keinginan untuk bertumbuh dalam hubungan yang sehat dan saling mengasihi tanpa adanya rasa tidak aman.
Dunia semakin krisis kasih sayang tetapi bukan berarti tidak ada jalan untuk kita menebarkan kasih sayang. Akan selalu ada jalan menuju hal yang baik ketika kita mau mengusahakannya. Masih ada kesempatan untuk memutus lingkaran setan yang selama ini membelenggu kehidupan keluarga kita. Biarlah setiap perjalanan yang kita lewati dapat mengajarkan kita untuk tidak menjadi toxic parents bagi generasi kita kelak. Mari berdamai dengan luka batin dan selamat menikmati prosesnya! Tuhan Yesus beserta kita.
Daftar Pustaka:
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: