Melawan Toxic Positivity: Belajar dari Mazmur

Going Deeper, God's Words, 21 February 2020
“Because [the] One has promised to be in the darkness with us, we find the darkness strangely transformed, not by the power of easy light, but by the power of relentless solidarity.” - Walter Brueggemann

Instagram adalah media sosial yang awalnya saya hindari. Sampai pertengahan 2016, ketika Indonesia merangsek ke peringkat ketiga pengguna terbanyak Instagram (22 juta akun)[1], saya masih tidak punya akun. Alasannya? Karena kesal melihat posting yang pernah saya buka sebelum-sebelumnya, penuh dengan hal yang tampak cemerlang, indah, dan positif. Pencapaian hebat, pemandangan tempat wisata eksotis, foto diri yang ditingkatkan kualitasnya, sampai kerennya pergaulan masing-masing. Saya tak punya bakat pasang topeng, pikir saya yang sok idealis saat itu.

Tentu saja karena dorongan sosial akhirnya saya membuat akun juga. HAHAHA. Tapi bahkan sampai kini, ketika akun Instagram saya berusia tiga tahun lebih, saya masih berkali-kali kesal dan muak; kesal dengan segala tampilan gemerlap dan pamer yang bermunculan ketika membuka aplikasinya. Konyolnya, saya juga ambil bagian. Sengaja menampilkan foto dan caption apik, dengan harapan mendapat likes atau pujian.

Photo by Georgia de Lotz on Unsplash

KETIKA KEINGINAN TAMPIL POSITIF MENJADI BERACUN

Katanya, Instagram memang media sosial dengan dampak terburuk untuk kesehatan mental.[2] Ya, media sosial lainnya juga berperan terkait maraknya depresi dan kecemasan masa kini. Namun, di Instagramlah salah satu penyebab masalah itu kita pertontonkan dengan vulgar: kecenderungan menampilkan hanya yang tampak indah, keren, menimbulkan kekaguman. Berbagai posting yang harapannya memotivasi serta menginspirasi yang melihatnya, menghadirkan komentar-komentar semacam body goal, relationship goal, dan goal-goal lainnya. Namun itu juga yang membuat para pemakainya lebih mudah minder, memiliki citra diri buruk, merasa tidak mampu bersaing, merasa sampah dibandingkan kekerenan yang berseliweran di timeline-nya. 

Belakangan, fenomena kecenderungan mempertontonkan dan mengutarakan yang “indah-indah” di dunia maya maupun nyata ini disebut dengan istilah: toxic positivity (positivitas beracun).[3] Disebut demikian karena upaya memaksakan “positif” ini tanpa disadari berdampak buruk, seolah menganggap emosi yang dipandang negatif (marah, takut, jijik, sedih) adalah salah, jelek, bahkan tabu. Akibatnya, timbul rasa tertekan untuk hanya menampakkan yang "oke" saja.

Benar, saya percaya sebagian besar orang punya maksud baik ketika berusaha memotivasi dan menginspirasi lewat posting maupun perkataan. Saya juga percaya pada akhirnya respons kita masing-masinglah yang menentukan, bahwa kita dapat dimampukan untuk hanya mengambil yang "baik", dan yang "jelek" dibuang saja. 

Namun demikian, saya juga khawatir cara berinteraksi seperti ini semakin memberikan stigma pada apa-apa yang tak tampak indah, bahagia, menyenangkan. Parahnya, saya khawatir cara berinteraksi demikianlah yang dianggap lazim bahkan dilestarikan dalam interaksi bergereja, dalam komunitas orang percaya.

Photo by Josh Rose on Unsplash

MAZMUR: KITAB SEGALA EMOSI

Michael Gungor, seorang musisi kontemporer Kristen, pernah mengutarakan status di Twitter yang menggelitik, demikian: “Kurang lebih, 70% dari kitab Mazmur berisi ratapan. Kurang lebih 0% lagu kontemporer Kristen terpopuler masa kini berisi ratapan.”[4] Saya tidak mengerti seberapa benar pernyataan itu, tapi saya jadi sadar betapa kultur toxic positivity jangan-jangan memang sebegitu dalamnya merasuki kehidupan bergereja. Contoh mudahnya, di antara sebegitu banyaknya konten ratapan dan penyesalan di Mazmur, seberapa banyak yang didaraskan atau dibicarakan dalam ibadah Minggu? Atau jangan-jangan kita pun hanya membiasakan diri mengingat Mazmur yang "menginspirasi" seperti Mazmur 23?

Kitab Mazmur, menurut pembacaan pakar Perjanjian Lama, Bernhard W. Anderson, memiliki konten ratapan dengan proporsi melebihi konten lainnya seperti pujian, ucapan syukur, dan kebijaksanaan. Di antara 150 Mazmur, lebih dari separuhnya diklasifikasikan sebagai ratapan. Kitab ini memang berisi kompilasi nyanyian dan doa untuk ibadah yang menurut tradisi sebagian besar ditulis Daud. Maka tidak heran bila kitab ini pun menggambarkan naik-turun kehidupan Daud beserta bangsa Israel di masanya.

Kenyataannya, ketika kita membaca Perjanjian Lama, kita akan melihat bahwa kehidupan umat Allah sungguh jauh dari "positif". Bahkan mungkin kita akan merasa kehidupan bangsa Israel benar-benar tragis. Terbuang, terhukum, terkalahkan, tertindas, tertekan, semuanya dialami. Maka tak heran bukan, ketika ratapan dan keluhan menjadi ungkapan yang lazim, bahkan bagi tokoh-tokoh saleh seperti Daud?

Lalu coba bayangkan, ketika kitab Mazmur telah terdokumentasi dalam kitab suci agama terbesar di dunia, dan telah dibaca miliaran manusia, termasuk masyarakat masa kini, baik yang mengaku Kristen maupun tidak. Andaikan saja segala konten Mazmur dari awal hingga akhir dibeberkan dalam status-status di media sosial. Bagaimana kira-kira respons kita yang terbiasa dan tergerak oleh frase-frase seperti “too blessed to be stressed” atau “positive vibes only” setelah membaca Mazmur dari awal sampai selesai, tidak hanya yang terkenal indah saja?   

Photo by Sincerely Media on Unsplash 

Dugaan saya, kita akan terkaget-kaget, ternyata sebegitu banyaknya porsi muram di dalamnya. Marah, kecewa, sedih, perasaan tertolak, tertekan karena dikejar-kejar musuh, rasa bersalah, tertuang dalam ungkapan-ungkapan mempertanyakan Allah, bahkan meragukan penyertaan-Nya. Malah ungkapan kemarahan Yesus di kayu salib, tentang Allah yang meninggalkan-Nya, bersumber dari Mazmur 22. Mazmur, alih-alih hanya menampakkan berkat dan keindahan, juga menampakkan kutuk, kegelisahan, ketakutan, kemuraman.  Singkatnya, Mazmur dalam Alkitab mengafirmasi semua bentuk emosi manusia, membiarkannya terbuka untuk dibicarakan, menjadi perlawanan terhadap kehidupan kita saat ini yang terobsesi dengan emosi positif.  


MENGHIDUPI MAZMUR: BERSOLIDARITAS DALAM SEGALA EMOSI

Afirmasi Alkitab yang demikianlah yang cukup mencerahkan saya dalam menggunakan media sosial. Sejak 2017 saya mencoba lebih jujur ketika menggunakan media sosial. Tentu aspek menjaga penampilan dan perasaan itu tetap ada, namun saya juga belajar bahwa keberanian mengungkapkan emosi yang dianggap negatif (untuk saya, misalnya, depresi), ternyata menghadirkan kelegaan, bahkan rasa syukur yang tidak dibuat-buat. Saya menemukan solidaritas bersama yang bersedih dan tertekan, saya menemukan bahwa manusia masih bersedia bertolong-tolongan.   

Walter Brueggemann pernah berkata soal Mazmur dengan segala ratapannya, “Bahwa karena Allah telah menjanjikan untuk bersama kita dalam kegelapan, kita akan menemukan kegelapan justru mengubahkan, bukan melalui kekuatan cahaya gampangan, namun melalui kekuatan solidaritas yang tak kunjung henti.” Mazmur, karena itu, adalah pengingat kita generasi orang percaya masa kini untuk saling bertanggungan, bersolidaritas, dalam kejatuhan maupun kebangkitan, untuk akhirnya menemukan bahwa Allah memang selalu bersama kita, tanpa menuntut kita terus-menerus tampak positif dan "bersyukur".

 

Referensi:

 

[1] https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20160623112758-185-140353/ada-22-juta-pengguna-aktif-instagram-dari-indonesia, https://id.techinasia.com/jumlah-pengguna-instagram-indonesia

[2] https://www.huffpost.com/entry/instagram-worst-mental-health_n_59245f86e4b034684b104a54

[3] https://www.psychologytoday.com/us/blog/the-man-cave/201908/toxic-positivity-dont-always-look-the-bright-side

[4] https://twitter.com/gungormusic/status/218422441985327106?lang=en

http://www.jillianbenfield.com/confronting-toxic-positivity-church/

LATEST POST

 

Akhir Oktober biasanya identik dengan satu event, yaitu Halloween. Namun, tidak bagi saya. Bagi saya...
by Immanuel Elson | 31 Oct 2024

Cerita Cinta Kasih Tuhan (CCKT) Part 2 Beberapa bulan yang lalu, saya mengikuti talkshow&n...
by Kartika Setyanie | 28 Oct 2024

Kalimat pada judul yang merupakan bahasa latin tersebut berasal dari slogan sebuah klub sepak bola t...
by Jonathan Joel Krisnawan | 27 Oct 2024

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER