Spoiler alert! Buat kamu yang kepo dengan film “Siksa Kubur”, silakan menonton terlebih dahulu lalu membaca artikel ini.
Film siksa kubur resmi tayang pada 11 April 2024, dan sebagai penikmat karya Joko Anwar, kami langsung menontonnya. Sebenarnya kami bukan penggemar film horor, cenderung masih sering menutup mata waktu ada adegan horor, pasti teriak waktu ada jumpscare, hehe. Namun kami menyukai karya JokAn di mana premis dari film yang ia ciptakan, cenderung mengajak orang berpikir akan segala konspirasi atau makna filosofis terkait gambaran dunia yang tidak ideal.
Buat kamu yang sudah menonton film ini, atau mungkin mengintip ramainya obrolan terkait film ini di X, percayalah review itu bersifat subjektif. Termasuk tulisan ini, cenderung subjektif, di mana kami melihat “siksa kubur” berdasarkan pemahaman yang dangkal dalam dunia teologi maupun dekonstruksi moraitas sosial yang ala kadarnya. Tentu akan lebih menarik jika setelah membaca tulisan ini, dan kamu merasa berbeda, tulislah artikel sebagai respons (S3 Marketing Ignite GKI).
Dalam teologi Islam, “siksa kubur” (Arabic: عذاب القبر, romanized: ʿadhāb al-qabr), merujuk pada konsep atas hukuman atau penderitaan yang dapat dialami seseorang di dalam kubur setelah kematian, sebelum Hari Kiamat1. Konsep siksa kubur tidak tertulis secara literal, namun berakar pada penafsiran akan teks agama, termasuk Al-Qur'an dan Hadis2.
“Siksa kubur” dipercaya sebagai konsekuensi dari amal perbuatan dan keadaan spiritual seseorang di dunia. Mereka yang menjalani hidup yang benar dan saleh, taat kepada perintah Allah, dan melakukan amal kebajikan dipercaya akan diberikan pengalaman yang damai dan menyenangkan di dalam kubur, yang dikenal sebagai "berkah kubur". Sebaliknya ketidaktahuan orang kepada Allah, menyia-nyiakan perintah Allah, dan melakukan tindakan maksiat kepada Allah akan mengalami siksaan3.
Apakah di kekristenan ada “siksa kubur”? Gak ada kok, tenang. Dalam Kitab-Kitab Ibrani dan Perjanjian Lama, kita mengenal “Sheol” sebagai alam jiwa/roh yang telah meninggal. Sedikit berbeda pada Perjanjian Baru, terdapat “Hades” padanan bahasa Yunani untuk "Sheol", di mana kadang digambarkan terbagi menjadi dua bagian: satu untuk orang benar (dikenal sebagai “pangkuan Abraham” dan satu lagi untuk orang tidak benar (dikenal sebagai tempat penyiksaan), dengan jurang yang besar di antara keduanya4.
Terus kalau “purgatorium” di Katolik apaan lagi? Purgatorium atau api penyucian adalah doktrin Katolik terkait konsep penyucian sementara bagi mereka yang meninggal dalam sebagai pengikut Kristus namun masih perlu disucikan dari dosa-dosa ringan sebelum masuk sorga5. Sederhananya “purgatorium” adalah proses penyucian bagi mereka yang ditakdirkan masuk surga, sedangkan “siksa kubur” adalah salah satu bentuk hukuman bagi orang-orang yang tidak benar hingga hari kiamat.
Sabar. Sebagai landasan, kita perlu paham bahwa agama berpotensi memiliki peran cukup besar dalam membentuk sistem moral tertentu dalam masyarakat yang cenderung religius6. Apakah agama membentuk sistem moral yang baik atau buruk ketika kita hidup dalam menggerakkan manusia dalam hidup bersosial di masyarakat? Hal tersebutlah yang dibenturkan oleh JokAn dalam film “Siksa Kubur”. Setiap poin di bawah akan ditutup dengan pertanyaan reflektif.
Dalam adegan di mana tokoh Sita kecil masih merasa trauma karena orang tuanya menjadi korban dari pengeboman, ia meragukan pembahasan sang ustadzah akan “siksa kubur”. Sayangnya sang pemuka agama justru menimpali dengan memberikan ucapan kutukan bagi Sita yang dianggap tidak percaya kepada Allah.
Jika kita dipertemukan dengan orang yang sedang dalam kondisi trauma, apakah kita berusaha menjadi pendengar dan penenang yang baik; atau kita berada di realita yang menghamburkan ucapan religiusitas kosong sebagai bentuk validasi atas pemahaman akan agama?
Sita kecil muak dengan pesantren dan bersama dengan Adil, kakaknya, ingin beranjak kabur dari pesantren. Usaha pertamanya gagal. Seorang ustadzah ingin memberikan pengampunan, namun ustadzah lainnya memaksakan Sita diberikan label pendosa dengan menggunakan jilbab berwarna merah.
Jika kita dipertemukan dengan orang yang diketahui berdosa, apakah kita akan tetap mau menganggapnya sama seperti kita lalu berteman seperti biasa; atau kita berada di realita yang akan selalu memandang orang tersebut sebagai pendosa?
Narasi bergulir menuju Sita yang beranjak dewasa menjadi suster pada sebuah panti wreda. Suatu ketika seorang nenek mendapati pasangannya selingkuh dengan seorang suster lainnya. Sita pun meminta sang nenek untuk berpisah kamar sementara. Namun karena kecerobohan, nenek tersebut justru mengalami kecelakaan yang mematikan. Adegan pun berlanjut hingga seisi panti wreda saling menyalahkan, menghakimi dan saling tikam.
Jika kita berada di situasi penuh kekacauan, apakah kita akan menjadi juru damai yang mengajak orang-orang yang terlibat untuk tenang lalu memecahkan masalah bersama-sama; atau kita berada di realita yang menunjuk orang lain sebagai penyebab segala kekacauan?
Bagi kami, film “Siksa Kubur” justru lebih banyak menggambarkan “siksa dunia”. Kami melihat JokAn memperlihatkan beragamnya moralitas yang dianggap ideal oleh masing-masing individu dan membenturkannya satu sama lain..
Dalam pertanyaan reflektif di atas, mungkin kita akan mudah memberikan jawaban yang cenderung mengarah ke idealisme tertentu. Namun terkadang merealisasikan moralitas yang kita anggap ideal akan cenderung sulit ketika kita turun dalam lingkungan masyarakat yang heterogen. Hal tersebut karena penafsiran tiap individu cenderung atas sistem moralitas dan nilai agama akan berbeda dalam suatu waktu dan tempat. Maka, akan sulit bagi manusia untuk terhindar seutuhnya dari “siksa dunia”, orang akan saling berujar kutuk, memberikan label, saling menuduh dan main hakim.
Film “Siksa Kubur” memang lebih lekat dengan ajaran Islam. Namun selain dipahami sebagai sebuah agama, “Islam” sangat erat kaitannya dengan konsep penyerahan diri kepada Allah. Dalam bahasa Arab, “Islam” berasal dari akar kata “aslama” yang berarti “berserah”7.
Sebagai seorang manusia yang terbatas, kita dipertemukan dengan banyak ketidaktahuan dan pertentangan. Kita tidak tahu apa yang terjadi di hari esok. Kita tidak tahu secara pasti kondisi after-life yang terjadi pada kita Sheol-Hades-Purgatorium. Selama hidup pun kita juga dapat berbenturan dengan moralitas yang dihidupi oleh orang lain, atau bahkan menjadi korban moralitas.
Dalam berbagai keterbatasan dan kerapuhan tersebut, mungkin yang bisa kita lakukan adalah berserah diri kepada Allah yang esa. Allah yang kami kenal yaitu pribadi Allah Bapa yang kita kenal melalui Allah Putra dalam pertolongan Allah Roh. Mungkin itu cara kami menjalani siksa dunia. Selamat menentukan bagaimana cara kamu menjalani siksa dunia.
"Trust in the Lord with all your heart and lean not on your own understanding" Proverbs 3:5
Sumber:
https://islamweb.net/en/fatwa/15269/torment-in-the-grave-according-to-the-sins
https://aboutislam.net/reading-islam/understanding-islam/what-actually-happens-in-the-grave/
https://islami.co/ini-sebab-sebab-seseorang-mendapatkan-siksa-kubur/
https://www.catholicbridge.com/catholic/sheol-hell-hades.php
https://catholicexchange.com/purgatory-answering-seven-key-questions-about-the-churchs-teachings/
https://religionsfacts.com/submission-in-islam-understanding-its-meaning-and-significance/
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: