Saya tahu bahwa keluar dari toxic relationship itu tidak mudah, dan kita seringkali dibutakan oleh cinta, sehingga pikiran menjadi tidak rasional.
Saya ingin berbagi cerita tentang pengalaman saya yang pernah berada dalam toxic relationship. Saya ingat betul, waktu itu saya masih berada di semester dua masa perkuliahan. Ada seorang teman sekelas saya yang mendekati saya, lalu lama-kelamaan setelah dekat, kami pun berpacaran.
Selama 4 bulan masa pacaran, semua masih terasa baik-baik saja, namun setelahnya saya merasa bahwa hubungan saya dengan dia mulai tidak sehat, saya jadi mulai malas belajar, malas mengerjakan tugas, mengabaikan teman di sekitar saya, bahkan komunikasi saya dengan orang tua saya pun terganggu.
Saya menghabiskan waktu bersama dia hampir setiap hari, apapun yang dia katakan saya meng-iyakannya, bahkan dia berkata kasar pun saya diam, saya berusaha untuk tetap sabar dan memendam semuanya sendirian. Bahkan selama masa pacaran, lingkup pertemanan saya mulai terbatas, dia akan marah besar jika saya bersosialisasi dengan teman laki-laki saya, padahal teman laki-laki saya tersebut adalah sahabat saya sejak SMA.
Photo by Charlie Foster on Unsplash
Dia juga akan mengecek akun sosial media saya untuk memastikan apakah saya berkomunikasi dengan teman lawan jenis saya, hal itu dilakukannya setiap hari,setiap detik, setiap waktu.
Saya merasa terperangkap di dalam kandang, tidak bisa melakukan hal-hal yang saya inginkan dengan bebas, semuanya di bawah kendalinya, saya merasa kontrol saya atas diri saya sendiri kalah.
Waktu itu saya sadar betul bahwa hubungan kami sangat tidak sehat, namun saya mengabaikannya karena saya begitu menyayangi dia, bahkan waktu itu hubungan saya dengan Tuhan mulai renggang, saya jadi lupa berdoa dan mengabaikan untuk membaca firman Tuhan, bahkan saya menjadi orang yang berbeda, saya tidak lagi menjadi diri saya sendiri.
Seiring berjalannya hubungan pacaran kami, tidak terasa semester dua akan berakhir, sudah saatnya kami berdua pergi ke kota asal masing-masing. Di situ saya merasa sangat sedih dan khawatir karena akan menjalani LDR (long distance relationship). Akhirnya telah tiba waktunya kami untuk berlibur di tempat asal kami masing-masing, di situ perasaan saya mulai tidak nyaman, mulai terlihat perbedaan dari sikapnya yang menjadi lebih cuek dan jarang memberi kabar.
Photo by Annie Spratt on Unsplash
Singkat cerita ketika masa LDR akhirnya dia meminta untuk mengakhiri hubungan kami, jujur saya tidak terima dan merasa sangat sedih, seakan-akan seluruh dunia saya runtuh. Tapi saya berusaha tetap kuat, Puji Tuhan banyak orang-orang di sekitar saya yang memberi dukungan untuk saya. Mama saya tahu tentang hubungan saya dengan dia, dan mama saya mengatakan begini “Berdoa Nak, ga usah dipikirin, yang dari Tuhan pasti akan datang pada saat yang tepat, serahkan semuanya sama Tuhan Yesus…” akhirnya seiring berjalannya waktu saya mulai mampu melupakan segala rasa sakit yang saya rasakan, dan saya sangat bersyukur karena mama saya selalu mengajak saya untuk membaca renungan dan berdoa bersama.
Saya tahu bahwa keluar dari toxic relationship itu tidak mudah, dan kita seringkali dibutakan oleh cinta, sehingga pikiran menjadi tidak rasional. Saya pun seperti itu, namun dari hal itu saya banyak belajar bahwa semua ada masanya, sedih pun ada masanya. Pengalaman toxic relationship yang pernah saya alami kini mendewasakan saya, setelah kejadian tersebut ada banyak hal yang berubah dalam diri saya. Mulai dari kembali fokus pada kuliah, belajar dan mengerjakan tugas dengan serius, serta memperbaiki hubungan saya dengan Tuhan dan orang tua. Seiring berjalannya waktu nilai saya yang sebelumnya menurun kini membaik, hubungan saya dengan Tuhan dan orang tua pun kembali lekat.
Dari pengalaman tersebut saya belajar bahwa, mungkin inilah cara Tuhan menyelamatkan saya dari hubungan yang tidak sehat tersebut. Dengan mengakhiri hubungan itu sendiri, memang rasanya sedih dan sakit di awal, namun dengan berjalannya waktu akan ada banyak hal yang bisa dipahami dan disyukuri. Tuhan tidak ingin melihat saya terus-menerus berada di dalam hubungan yang tidak sehat, Ia ingin saya lepas sepenuhnya dari belenggu toxic relationship.
Photo by Riccardo Mion on Unsplash
Teman-teman, ingatlah bahwa pasangan hidup itu sudah disediakan oleh Tuhan, Ia pasti akan menyediakan yang terbaik. Tidak usah terburu-buru dalam mencari pasangan hidup, cukup berdoa dan berserah, mungkin Tuhan ingin kita menyelesaikan hal lain yang lebih penting, atau Tuhan ingin kita berbenah diri terlebih dahulu.
Saya ingat betul kata-kata mama saya,
“Nak, yang buta itu bukan cintanya, tetapi orangnya…”
Mendengar hal itu, jujur saya tertegun. Benar juga, cinta sebenarnya tidak membutakan, namun manusialah yang membutakan dirinya sendiri atas nama cinta.Inilah ceritaku, semoga bisa bermanfaat untukmu.
"Siapa bergaul dengan orang bijak menjadi bijak, tetapi siapa berteman dengan orang bebal menjadi malang.”
Amsal 13:20
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: