"To work for a just world where there is not servitude, oppression, or alienation is to work for the advent of the Messiah." - Gustavo Gutiérrez
KEBENCIAN YANG MEMAKAI ALKITAB
Amos 1:6-7 berkata demikian:
"Beginilah firman TUHAN: "Karena tiga perbuatan jahat Gaza, bahkan empat, Aku tidak akan menarik kembali keputusan-Ku: Oleh karena mereka telah mengangkut ke dalam pembuangan suatu bangsa seluruhnya, untuk diserahkan kepada Edom, Aku akan melepas api ke dalam tembok Gaza, sehingga purinya dimakan habis;"
Saya kaget beberapa waktu lalu ketika tahu bahwa bagian Alkitab ini menjadi justifikasi bahwa suatu komunitas zionis berhak menduduki wilayah yang dijuluki Tanah Suci, termasuk Gaza, dengan membasmi penduduk yang sudah ada. Saya juga baru sadar bahwa itu bukanlah tafsiran di kalangan Kristen terbatas, melainkan tersebar cukup luas. Kesalahan tafsir atas ayat-ayat yang sebenarnya berada dalam konteks ruang dan waktu tertentu bagi bangsa Israel kala itu, bukan untuk negara modern Israel kini yang akar sejarahnya berbeda dari bangsa Israel Perjanjian Lama.
Setelah melakukan pencarian karena terheran-heran mengetahui interpretasi demikian, saya menemukan bahwa ternyata perdana menteri negara zionis itu pernah mengutip Amos juga dalam pidatonya di hadapan United Nations General Assembly pada tahun 2013.[1] Dia menyatakan bahwa negara yang dipimpinnya adalah pemenuhan nubuatan, mengutip Amos 9:14-15:
“Aku akan memulihkan kembali umat-Ku Israel: mereka akan membangun kota-kota yang licin tandas dan mendiaminya; mereka akan menanami kebun-kebun anggur dan minum anggurnya; mereka akan membuat kebun-kebun buah-buahan dan makan buahnya. Maka Aku akan menanam mereka di tanah mereka, dan mereka tidak akan dicabut lagi dari tanah yang telah Kuberikan kepada mereka," firman TUHAN, Allahmu.”
Baru belakangan ini pula saya menyadari bahwa atas pembantaian di Gaza dan Tepi Barat hingga kini, banyak komunitas Kristen yang, bila tidak mendukungnya, menganggapnya wajar. Bangsa pilihan Allah, katanya. Tanah Suci adalah hak yang Allah berikan kepada mereka, katanya.
Bagaimana bisa ada pendapat sekejam itu, di hari-hari ini, di hadapan kepiluan akan ribuan korban tewas, luka-luka, dan tercerabut dari keluarga maupun tanah kelahirannya, dengan korban terbanyak adalah perempuan dan anak-anak?[2]
Menyadari tidak sedikit orang-orang yang bisa memeluk pendapat penuh kebencian demikian adalah mereka yang seagama dengan saya dan taat beribadah, saya bergumul, ibadah macam apa yang membina pola pikir demikian, bahwa kekerasan (yang lebih dahsyat) harus membalas kekerasan?
Tafsiran Amos di atas sungguh mengganggu, mengingat saya telah telanjur mengenal Amos sebagai kitab “keadilan sosial” karena nada-nada kritik sosial yang demikian kuat.
AMOS DAN KEADILAN SOSIAL
Kekaguman saya pada bagaimana Allah memakai Amos untuk memperingatkan dan menegur bangsa-bangsa, utamanya bangsa Israel, muncul ketika Persekutuan Oikoumene (PO) di kampus saya dulu memilih kitab Amos sebagai bahan eksposisi Persekutuan Jumat sepanjang satu semester. Rasa kagum itu meningkat ketika saya mencoba membaca Amos dari lensa yang lebih berperspektif keadilan sosial.
Bagian yang paling membuat saya bergumul akan konsep ibadah dan keadilan sosial adalah Amos 5:21-24, ketika Amos menjadi perpanjangan tangan Allah menyampaikan murka-Nya, yang berbunyi demikian:
"Aku membenci, Aku menghinakan perayaanmu dan Aku tidak senang kepada perkumpulan rayamu. Sungguh, apabila kamu mempersembahkan kepada-Ku korban-korban bakaran dan korban-korban sajianmu, Aku tidak suka, dan korban keselamatanmu berupa ternak yang tambun, Aku tidak mau pandang. Jauhkanlah dari pada-Ku keramaian nyanyian-nyanyianmu, lagu gambusmu tidak mau Aku dengar. Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir."
Images by Bethlehem Bible College
Seorang pendeta Lutheran Palestina, Munther Isaac, telah mengalami begitu banyak penderitaan bersama orang-orang Kristen Palestina lainnya di wilayah yang kini diduduki negara Israel modern yang memblokade warga Palestina dari akses kebutuhan primer dan sosial yang layak. Ada kegetiran atas ironi bahwa saudara-saudara seimannya, utamanya di Barat, begitu enggan mendengar suara-suara Kristen Palestina, tapi mau beramai-ramai mendatangi Tanah Suci, termasuk Betlehem, tempatnya tinggal, untuk berziarah dan napak tilas wilayah pelayanan Tuhan Yesus.
Dalam bukunya, “The Other Side of the Wall”[3], Isaac meneriakkan kegelisahan warga Palestina yang terkurung tembok pembatas negara Israel modern dengan wilayah Palestina. Tembok yang menutup akses sekaligus menutup mata peziarah Kristen yang ke Betlehem tapi enggan menilik penderitaan di balik tembok. Bahkan, seandainya Betlehem bukan di kawasan Palestina, rasanya tak akan ada yang datang ke wilayah Palestina bila para peziarah berkunjung ke Tanah Suci.
Dengan konteks itu, Isaac merefleksikan Amos 5:21-24. Nabi Amos, yang berasal dari Betlehem, secara profetik memperingatkan soal karakter “gereja yang berisik”. Berisik karena ibadahnya penuh religiositas palsu dan spiritualitas ketidakpedulian maupun apatisme. Kitab Amos, alih-alih menjadi alat pembenaran invasi, seharusnya menolong kita memahami apa artinya percaya dan tunduk pada Allah.
Image on Harvest Community Church
Masalah ibadah kita, menurut Amos, bukanlah semata soal ritual, pujian, perayaan, atau kurban secara umum, karena Tuhan memang memerintahkannya. Masalah hadir ketika tindakan-tindakan ini dikosongkan dari maknanya, ketika tidak ada perubahan hati karenanya, tidak ada sensitivitas terhadap dosa dan orientasi menuju kekudusan dengan mengupayakan keadilan sosial dan pembelaan bagi yang tertindas dan terpinggirkan. Di sana, ritual menjadi masalah, bahkan batu sandungan.
Tanpa belas kasih, maka ibadah, kesantunan, dan “doktrin-doktrin benar” kita menjadi formula mekanis. Kita mengira dengan ucapan, tindakan, ritual, dan pengajaran tertentu Allah berpuas. Ini bermasalah karena menuntun pada legalisme dan cara berpikir biner, “kita versus mereka”. Amos berkata, Allah membenci ini semua! Allah memandang jijik ibadah keseharian kita yang jauh dari menghadirkan shalom, damai sejahtera sejati dalam rasa keadilan.
Inilah gereja yang berisik dalam pemahaman Isaac, gereja yang hampa rasa keadilan dan kehilangan rasa haus akan belas kasih. Puja-puji tanpa peduli keadilan adalah kemunafikan bagi telinga Allah. Ayat 24 sungguh lantang berseru, “Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir”.
Image on Learn Religions
MASA ADVEN: WAKTU BERHATI-HATI
Kita sedang memasuki masa Adven, penantian kedatangan Kristus, selama 4 minggu menjelang Natal. Ingar bingar Natal mulai memenuhi agenda. Berbagai tempat mulai memasang dekorasi meriah. Nuansa festival mulai hadir. Ibadah-ibadah Natal mulai direncanakan dan diselenggarakan. Anggarannya tentu saja yang paling besar dari agenda gereja lainnya.
Tentu ada selingan diskursus soal Natal yang kehilangan maknanya, terisap komersialisasi dan konsumerisme, perlunya mengembalikan kesederhanaan, sambil dibubuhi sedikit kunjungan ke panti sosial ataupun donasi ke lembaga amal. Selingan ini membuat kita merasa sedikit lega dari rasa bersalah.
Rasa bersalah ini sejatinya tak akan gampang berlalu. Roh Kudus akan terus menggelisahkan kita sebagai individu dan gereja sebagai komunitas. Kita telah berdosa dan membangkitkan murka Allah karena gagal mengupayakan keadilan sosial. Amal, donasi, dan bakti sosial tak akan pernah menggantikan keadilan. Dietrich Bonhoeffer berkata, “Kita tak seharusnya hanya menutup luka korban di balik roda ketidakadilan, kita dipanggil untuk menjadi jari-jari yang menggerakkan roda itu menuju keadilan.”[4]
Kita dipanggil lebih dari memberi ikan ataupun mengajari memancing ikan bagi mereka yang tersingkirkan. Kita dipanggil untuk mengupayakan tak ada penghalang bagi mereka untuk memancing ikan, tak ada pengisapan nilai lebih untuk setiap ikan yang mereka tangkap, dan mereka tidak terpaksa menjual ikan dengan murah hanya untuk dijual dengan harga berlipat-lipat oleh yang kaya dan berkuasa.
Gereja sebagai umat Allah tak jarang menjadi yang kaya dan berkuasa lalu mencoba menutup rasa bersalahnya dengan memberi ikan ataupun mengajari memancing ikan sekadarnya. Kenyataan itu tak dapat hadir lebih kontras lagi saat kita mempersiapkan perayaan menyambut Natal, peringatan kelahiran Yesus Kristus, Firman yang menjadi daging, yang hadir dalam kesederhanaan dan bayang-bayang opresi agamawan Yahudi serta penjajahan Romawi.
BERDAMAI DENGAN KEBENCIAN ALLAH AKAN PERAYAAN KITA
Masa raya Natal sudah menjadi budaya global, Kristen maupun sekuler. Waktu merayakan sekaligus berkumpul dengan yang terkasih. Natal akan selalu berkelindan dengan nuansa festival, sukacita, dan konsumsi. Secara realistis, tak mungkin menyingkirkan itu semua. Saya pun menyukai suasana itu, ambil bagian di dalamnya, dan merindukan momen-momen magis khas Natal.
Di satu sisi, saya juga cukup lelah mencoba terus mengingatkan diri bahwa Natal sejatinya adalah kesederhanaan dan cinta kasih serta damai walaupun perayaan harus terus berjalan karena Natal tak afdal tanpanya. Ibadah dan perayaan harus tetap jalan, Natal harus mempertahankan kemeriahannya.
Tak apa-apa. Namun bersiaplah juga, bisa jadi Tuhan memandang muak ibadah kita yang tidak didampingi perjuangan menyatakan dan mewujudkan keadilan sosial.
Amos 5:21-24 memperingatkan kita dengan keras bahwa kesenangan kita beribadah tapi juga sekaligus menindas, menjustifikasi penindasan, dan diam terhadap penindasan adalah suatu kanker. Karena itulah Allah membenci ibadah-ibadah kita yang tak dibalut kerinduan mewujudkan shalom sejati di bumi.
Image on History Today
Tak apa-apa. Kini memang waktunya mempersiapkan diri menyambut Kristus yang akan datang. Dialah Sang Raja Yang Sejati, yang kehadiran-Nya sungguh layak dinantikan dan dirayakan. Namun tak perlu kaget pula ketika Kristus sebagai Raja yang akan datang juga akan memutarbalikkan ekspektasi, ibadah, serta perayaan konsumtif kita di hari-hari ini.
Dia adalah Sang Raja Kerajaan Sungsang (Upside-Down Kingdom)[5] yang akan datang dengan memandang jijik ibadah kita yang jauh dari praktik hidup Alkitabiah. Kerajaan-Nya sungguh berbeda dari kemewahan, kemegahan, dan kemuliaan di dunia yang jatuh dalam dosa.
Bisa jadi, Dia yang akan kita sambut adalah Dia yang muak dengan ibadah-ibadah kita, pribadi-pribadi yang enggan bertobat dari kegagalan menghidupi keadilan sosial yang Dia perintahkan.
Maka berdamailah dengan ibadah dan perayaan kita. Berdamailah dengan kesantunan dan ortodoksi kita. Karena syukur kepada Tuhan, dalam anugerah dan kasih-Nya, bisa jadi Dia akan membenci itu semua, memandangnya dengan murka. Sang Raja yang hadir dalam kerendahan akan meruntuhkan bait2 ibadah, perayaan, dan pusat kesombongan spiritual kita. Dia akan membangun bait perayaan sejati dalam waktu-Nya.
Sampai saat itu tiba, rayakanlah kesia-siaan ibadah kita.
Daftar Pustaka
[1] “Full Text of Netanyahu’s 2013 Speech to the UN General Assembly,” Times of Israel, 1 Oktober 2013: www.timesofisrael.com/full-text-netanyahus-2013-speech-to-the-un-generalassembly
[2] "Korban Wanita dan Anak-anak Palestina Capai 67 Persen”, Radio Republik Indonesia, 4 November 2023: https://www.rri.co.id/internasional/430478/korban-wanita-dan-anak-anak-palestina-capai-67-persen
[3] Munther Isaac, The Other Side of the Wall: A Palestinian Christian Narrative of Lament and Hope (Downers Grove: InterVarsity Press, 2020)
[4] Krish Kandiah, “Dietrich Bonhoeffer 70 Years On: 10 Quotes You Need To Read,” Christian Today, 9 April 2015, www.christiantoday.com/article/dietrich-bonhoeffer-70-yearson-10-quotes-you-need-to-read/51731.htm
[5] Donald B. Kraybill, Kerajaan yang Sungsang (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009)
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: