Potret Yesus sebagai Gembala yang baik adalah wujud kasih Allah yang universal; kasih yang tak mengenal batas perbedaan, tak mengenal rasa sakit, melainkan rela mati bagi seluruh umat dari segala kalangan.
Potret Yesus sebagai Gembala yang baik bukanlah sesuatu yang baru bagi umat Kristiani. Akan tetapi, apakah potret Yesus ini sudah benar-benar dipahami dengan baik, dan dapat tercermin lewat kehidupan kita? Sudahkah kehidupan kita menghadirkan wajah Yesus sebagai Gembala yang baik? Sudahkah kehidupan kita merangkul semua kalangan, sebagaimana Sang Gembala yang baik tak mengenal batas-batas perbedaan?
Dalam tulisan ini, saya mengajak setiap kita untuk berefleksi kembali dengan menyoroti catatan Yohanes 10:1-21 dengan mengoneksikannya dengan Yohanes 9. Hal ini saya lakukan, karena antara Yohanes 9 dan 10 terdapat sebuah kausalitas. Secara tekstual, pasal 9 adalah landasan yang mengakibatkan pengakuan Yesus akan identitasnya sebagai Gembala yang baik.
DISKRIMINASI OLEH KOMUNITAS YAHUDI
Pasal 9 jelas sekali menceritakan karya Yesus yang menyembuhkan seorang buta sejak lahir. Penyembuhan yang Yesus lakukan mengantarkan seorang buta yang disembuhkan tersebut ke dalam sebuah konflik dengan para Farisi dan orang-orang Yahudi. Konflik yang terjadi pun bermuara kepada sebuah titik di mana seorang buta yang disembuhkan tersebut diusir dari komunitasnya sendiri. Saya menyebut peristiwa ini sebagai sebuah diskriminasi total. Sebetulnya, perlakuan diskriminatif tidak hanya diterima oleh seorang buta ini pasca penyembuhan Yesus, tetapi juga pra-penyembuhan yang ditunjukkan dari berbagai pernyataan yang menyatakan bahwa seorang buta "lahir dari dosa".
Pernyataan ini jelas sekali menunjukkan sebuah sikap yang merendahkan derajat seorang buta tersebut. Sakit-penyakit, disabilitas, bahkan kemiskinan memang umum dalam pandangan Yahudi dianggap sebagai akibat dari dosa. (Keener 2003, 777) Konsep inilah yang kemudian ditentang oleh Yesus dalam Yohanes 9:35-41, yang berlanjut kepada portret Yesus sebagai Gembala yang baik dalam Yohanes 10:1-21.
GEMBALA YANG BAIK: PERLAWANAN TERHADAP DISKRIMINASI
Pasal 10 muncul dengan sebuah pernyataan diri Yesus yang sangat tegas, bahwa Ialah sang Gembala yang baik. Tidak hanya menyatakan diri sebagai Gembala yang baik, Yesus pun mengecam para pemuka agama, yaitu orang Farisi, dengan menyatakan bahwa mereka adalah pencuri yang hanya mencuri, membunuh, dan membinasakan (Yoh. 10:10). Yesus dengan sengaja mengontraskan diri-Nya dengan orang-orang Farisi, sebagaimana dalam Yehezkiel 34, Allah mengecam "gembala-gembala Israel." (Thompson 2015, 226)
Ketika orang-orang Farisi berlaku diskriminatif, Yesus justru menghadirkan diri-Nya sebagai Gembala yang baik. Gembala yang baik adalah cerminan seorang pemimpin yang bukan mendiskriminasi, melainkan merengkuh, memeluk, mengasihi, bahkan mati bagi domba-domba-Nya. Tidak berhenti di situ, Yohanes 10:16 menunjukan sebuah progresifitas, di mana pelukan sang Gembala yang baik tidak hanya sebatas bagi orang buta yang disembuhkan yang merupakan keturunan Yahudi, tetapi juga bagi mereka di luar komunitas Yahudi yang dianggap kafir oleh kaum Yahudi.
Dengan demikian, Gembala yang baik adalah sebuah gambaran akan tindak kasih Yesus yang tidak lagi membeda-bedakan golongan, suku, dan sebagainya. Gembala yang baik merengkuh semua golongan, mengangkat yang direndahkan, dan mencari yang terhilang. Oleh karena itu, potret Yesus sebagai Gembala yang baik adalah wujud kasih Allah yang universal; kasih yang tak mengenal batas perbedaan, tak mengenal rasa sakit, melainkan rela mati bagi seluruh umat dari segala kalangan. Di dalam pelukan sang Gembala yang baik, di situlah kasih mesra tanpa memandang perbedaan tercipta.
REFLEKSI
Bagi saya secara pribadi, potret Yesus sebagai Gembala yang baik menghadirkan belaian sekaligus tamparan. Gembala yang baik membuat saya percaya bahwa kehidupan saya ada dalam naungan kasih-Nya, sebuah kasih yang menerima keberadaan diri yang penuh dengan kehinaan. Akan tetapi, di saat bersamaan saya justru hidup dalam keangkuhan Kristen. Sebuah sikap hidup yang seringkali mendiskreditkan mereka yang berbeda. Merasa adanya superioritas iman kristen, sehingga mereka yang non-Kristen seakan jauh dari pelukan Gembala yang baik. Tidak hanya di situ, sebagai seorang akademisi, betapa sering sikap saya pun seakan merasa diri lebih baik dan menganggap rendah pula mereka yang berada pada level pendidikan yang di bawah saya. Masih begitu banyak cerita dan kenyataan bahwa saya masih hidup dalam berbagai bentuk sikap diskriminatif, entah sadar atau pun tidak.
Menjadi pertanyaan penting untuk saya, dan setiap kita yang membaca tulisan ini: Apakah kehidupan kita telah menghadirkan Sang Gembala yang baik, melalui sikap-sikap yang merangkul sesama kita? Sudahkah kita melawan sikap-sikap diskriminatif? Dan pertanyaan terpenting adalah, apakah Kristus Sang Gembala yang baik yang menjadi Tuhan dalam hidup kita, ataukah ego kekristenan kita saja yang duduk di atas takhta hidup kita? Ingat, Gembala yang baik adalah milik semua golongan. Berhentilah mengurung-Nya dalam takhta ego kekristenan kita. Hati-hati, jangan sampai kita yang merasa ada dalam pelukan-Nya, justru sedang melepas pelukan-Nya, dan menggantikan-Nya dengan sikap-sikap dan perasaan superior kita.
DOA: Ya Yesus, Gembala yang Baik.. Tuntunlah kami kawanan domba-Mu. Kiranya kami dapat selalu ada dalam pelukan-Mu, dan menghadirkan Engkau dalam kehidupan sesama kami, tanpa ada sikap-sikap yang diskriminatif. Kiranya kami pun dapat menghadirkan pelukan-Mu dengan memperjuangkan semangat keberagaman ganti diskriminasi. Terpujilah Engkau, ho Poimen ho Kalos (Gembala yang baik).
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: