Kalimat, “Percayalah, Tuhan mengasihimu dan selalu besertamu,” seringkali tidak cukup untuk meyakinkan seseorang agar membatalkan niat bunuh dirinya nanti malam.
Saya bisa meyakinkan kita semua, kita tidak sedang baik-baik saja. Misalnya berita bunuh diri belakangan ini terasa begitu wajar untuk muncul di beranda mesin pencari kita, di notifikasi ponsel kita, di laman-laman berita online. Paling tidak dalam dua bulan terakhir kita menerima banyak berita tragis artis K-Pop. Beberapa hari sebelum tulisan ini saya unggah, salah seorang teman dekat saya masuk IGD karena percobaan bunuh diri dengan meminum obat dalam jumlah yang membahayakan. Mendengar kabar percobaan bunuh dirinya, hati saya hancur —dalam tiga kata: sesal, sedih, lelah.
Sudah berulangkali kita membicarakan tentang penyakit mental, apalagi setelah film Joker yang bisa bikin saya malas pergi ke psikolog karena tidak ingin ditanya, “habis nonton Joker, ya?”. Saya rasa kita sudah tidak perlu mengangkat kembali kampanye kesadaran penyakit mental di antara kita. Kesadaran itu sudah ada, tetapi masalahnya belum selesai. Nyatanya masih ada banyak kasus bunuh diri dan kita tidak bisa menjamin tidak ada orang Kristen yang telah dan berencana untuk bunuh diri. Bagaimana dengan kita dan gereja kita?
Kita, Manusia, Hidup Dalam Masyarakat
Kita tahu bahwa dalam konfesi GKI, pengakuan kita ialah menjadi gereja yang bergerak dalam konteks zaman, artinya kita akan selalu berkancah menghadapi dinamika masa kini. Namun gereja seringkali belum hadir bagi kita dan mereka yang tersenyum di luar dan ketakutan di dalam. Topik yang diangkat dalam tema khotbah setiap minggu memang kontekstual dengan zaman ini; misalnya membahas tentang menjadi orang yang berlaku baik dalam masyarakat yang penuh kerusuhan, atau menjadi pekerja yang berpengharapan dan berintegritas di era Revolusi Industri 4.0. yang sedang booming. Padahal Revolusi Industri 4.0. adalah isu yang bisa dijelajahi lebih jauh lagi karena menyimpan banyak persoalan.
Dibalik narasi tentang menjadi disiplin, cepat dan hebat di tengah kerasnya industri masa kini, ada banyak duka nestapa anak muda yang kini kesepian dalam keramaian. Kita dituntut untuk menjadi penggerak roda ekonomi dengan bayaran yang tidak pantas, dituntut untuk menjadi ceria dalam masyarakat yang saling tidak peduli. Kita sadar bahwa masyarakat banyak menuntut, tetapi tidak memberi perteduhan bagi hati dan tubuh yang lelah. Gereja memang sudah bicara tentang bagaimana sikap hidup kita yang ideal hari ini, tapi gereja tidak ingat bahwa kita juga manusia yang memerlukan dekapan dalam ketidaksempurnaan kita.
Photo by christopher lemercier on Unsplash
Kita bisa, tetapi kita belum.
GKI adalah Gereja yang realistis, ajarannya selalu mengingatkan bahwa kita masih manusia yang mudah untuk jatuh dalam dosa. Di luar sana malah ada gereja-gereja yang melanggengkan nilai-nilai positivitas beracun yang memaksa kita untuk selalu berpikir positif. Nyatanya berpikir positif malah menjadi tuntutan, bukan menjadi penerimaan bagi kita yang memerlukan pertolongan. GKI memiliki pola pikir yang menolong kita untuk menyadari bahwa kita adalah manusia yang dikasihi dan disertai oleh Tuhan. Namun pola pikir saja tidak cukup untuk menolong kita menghadapi hari-hari ini. Analoginya seperti orang menikah juga butuh uang, orang percaya juga butuh kasih yang nyata.
Kita seringkali terjebak dalam usaha kita untuk mendampingi orang yang putus harapan. Kalimat, “Percayalah, Tuhan mengasihimu dan selalu besertamu,” seringkali tidak cukup untuk meyakinkan seseorang agar membatalkan niat bunuh dirinya nanti malam. Kita sebagai masyarakat Gereja lebih sering mencoba untuk menjelaskan definisi dari Imanuel, ketimbang menjadi bukti bahwa Imanuel itu nyata. Saya yakin rata-rata orang Kristen sudah hafal dan mengerti betul arti dari kata “Imanuel”, namun ketika ia tidak pernah merasakan langsung kasih Tuhan yang diwujudkan melalui sesamanya, ia tidak akan pernah memiliki pengharapan. Hanya dengan pengharapan kita bisa menaklukkan badai hidup, karena itu kita harus peduli dengan pentingnya hal ini.
Kepedulian ini seharusnya membuat kita mewujudkan kasih yang saling mendukung, saling memperhatikan, saling mendengarkan bagi hati yang lelah dan kesepian. Kita memiliki potensi untuk melakukan ini, tetapi kita belum melakukannya. Jadi, apa yang bisa kita lakukan untuk mewujudkannya?
Sobat Ambyar, Ambyar Bareng
Sobat Ambyar, para penggemar dari lord Didi Kempot —lord duniawi, ya— seringkali dipersilakan untuk meluapkan kesedihan yang tengah ia hadapi, begitu pula dengan kita sebagai Gereja. Sudah saatnya bagi kita untuk menjadi komunitas yang bisa menjadi tempat untuk saling bercerita dan saling mendukung. Komunitas kita tidak perlu selalu membawa ayat-ayat Alkitab untuk menjadi nasihat, karena kadang kala yang kita perlukan hanyalah tempat untuk membuang keluh kesah.
GKI: Gerakan Komunitas Inklusif
Saya dan beberapa teman GKI saya di Yogyakarta —tempat saya kuliah sekarang— memiliki sebuah komunitas yang rajin bertemu, tanpa agenda, hanya sebagai kawan. Kami mengerjakan tugas bersama-sama di kafe, sambil curhat tentang kejombloan saya, kesulitan teman saya dalam pergumulannya, juga tentang ketakutan kami menghadapi masa depan. Memang masalah kami tidak selesai hanya dari pembicaraan itu, namun dengan saling memberi telinga, hari-hari kami terasa lebih ringan. Setidaknya hari ini saya lebih ingin hidup daripada saya setengah tahun yang lalu. Karena itu saya ingin menawarkan solusi ini untuk kelompok-kelompok pertemanan kecil.
Gereja sebagai lembaga juga dapat memiliki andil dalam menyelamatkan generasi yang sakit ini dengan cara membekali kelompok-kelompok pertemanan kecil tadi dengan seminar dan workshop yang terkait dengan kesehatan mental. Misalnya dengan mengadakan seminar tentang cara memahami depresi maupun pelatihan tentang cara menghadapi orang dengan kecemasan. Begitu pula Majelis Jemaat dapat mengangkat topik-topik terkait dalam kebaktian, baik umum, pemuda dan remaja, termasuk di persekutuan-persekutuan.
Photo by Priscilla Du Preez on Unsplash
Sudah selayaknya kita menghidupi visi Gereja sebagai komunitas yang inklusif: saling menolong, saling mendengar, dan saling memahami. Mulailah desak Pendetamu untuk berkhotbah tentang ini, desak Majelis Jemaatmu untuk mengagendakan seminar dan pelatihan, desak kakak Rohanimu untuk menjadikan komunitas yang solid. Hal ini tidak boleh ditawar, karena zaman yang menuntut kita untuk tersadar.
Selamat berkarya dalam #GerakanKomunitasInklusif!
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: