Baik krisis atau pergumulan akan selalu ada dalam kehidupan kita. Namun, orientasi kita bukanlah kepada hal itu, melainkan kepada Allah yang penuh kasih dan Allah yang dapat diandalkan itu, sehingga mengucap syukur kepada-Nya bahkan di tengah pandemi sekalipun menjadi respons yang tepat.
“Iya sih harus mengucap syukur, tapi gimana ya?”
“ Lagi susah nih, banyak pergumulan gimana mau bersyukur, apanya yang mau disyukuri.”
“Aduh, gara-gara harus belajar online, tugas makin banyak, terus enggak bisa keluar buat main sama teman, jalan-jalan, karena virus ini enggak tau kapan selesainya.”
Beberapa potongan kalimat yang saya jumpai ketika melakukan obrolan singkat dengan beberapa teman saya. Dari situ saya kemudian melihat bahwa memang lebih mudah bagi kita untuk kemudian memperkatakan ungkapan terima kasih kita kepada Tuhan ketika posisi hidup kita “bahagia” atau kondisi hidup kita dalam keadaan yang nyaman menurut ukuran kita. Hal itu juga yang kemudian mewarnai perjalanan kehidupan saya di tahun ini, sampai saya pun belajar bahwa Tuhan adalah Penolong yang senantiasa memelihara hidup saya dengan belas kasih yang melimpah.
Kira-kira awal bulan Maret, kampus tempat saya menempuh pendidikan memutuskan untuk memberhentikan perkuliahan tatap muka seperti biasanya dan menggantikannya dengan perkuliahan online (dengan kata lain tidak ada tatap muka atau pertemuan di kelas). Menurut saya, dari situlah titik awal kekesalan saya muncul karena sistem yang diterapkan membuat tugas yang harus dikerjakan menjadi lebih banyak dengan waktu yang cukup singkat. Saya kemudian mulai melontarkan keluhan demikian, “Kenapa sih harus ada corona; tugas banyak banget lagi, kapan selesainya?” dan sebagainya. Singkatnya, cukup banyak keluhan yang saya lontarkan sedemikian rupa, sehingga hal itu membuat saya justru tidak mendapatkan pembelajaran yang berharga dan membuyarkan pandangan saya tentang penyertaan Tuhan.
Akhirnya, saya kemudian berefleksi bahwa pandemi yang terjadi hingga saat ini, ternyata cukup memberikan pengaruh yang signifikan untuk saya kembali bertanya, apakah ucapan syukur yang saya lontarkan atas pemeliharaan dan belas kasih Tuhan kepada saya, atau justru keluhan demi keluhan yang saya lontarkan? Berkaca dari peristiwa tersebut, saya kemudian merefleksikan dua hal yang penting sebagai cara untuk tetap menaikan ucapan syukur dalam menyikapi kondisi pandemi yang masih saja terjadi.
Pertama, kasih Tuhan senantiasa ada dalam hidup kita.
Ketika kebebasan dan kenikmatan yang saya rasakan sepertinya diambil oleh pandemi virus tersebut, membuat saya akhirnya secara tidak sadar membentuk pola pikir yang kurang baik. Saya mengeluh dan kembali mengeluh, sehingga seringkali lambat untuk menyadari betapa besarnya kasih Tuhan yang terus dinyatakan dalam kehidupan saya.
Sebab itu, saya terus berusaha untuk mengatur kembali apa yang menjadi fokus utama, yaitu memandang kepada kasih Tuhan yang senantiasa hadir untuk menyelimuti hidup saya. Itulah yang menjadi alasan bagi saya dan bagi kita semua untuk menyatakan ucapan syukur kepada Tuhan setiap waktu.
Krisis yang kita alami seringkali mengalihkan fokus kita dari kasih Tuhan yang sebenarnya sudah Ia nyatakan hari demi hari. Maka saya melihat bahwa penting bagi kita untuk mengalihkan fokus kita kepada pemeliharaan Tuhan sebagai wujud nyata dari kasih-Nya bagi kita.
“TUHAN adalah penyayang dan pengasih, panjang sabar dan berlimpah kasih setia” (Mazmur 103:8, TB-LAI).
Inilah yang menjadi pengingat yang sangat baik bagi kita untuk terus menerus memandang bahwa Tuhan begitu menyayangi dan mengasihi kita dengan kasih setia-Nya yang melimpah. Maka, sangat mungkin bagi kita untuk bisa mengucap syukur di tengah pandemi ini.
Kedua, menyadari bahwa kita memiliki Tuhan yang dapat diandalkan.
Ketika saya menyikapi dampak dari pandemi virus tersebut yang cukup menyita kebebasan saya, maka yang muncul justru kegelisan dan kekhawatiran, bukan ucapan syukur atas pemeliharaan Tuhan. Maka pertanyaannya, “Apa alasan bagi kita sebagai anak Tuhan untuk tetap mengucap syukur? Alasannya karena kita memiliki Tuhan, Dialah Allah yang dapat diandalkan dalam segala hal.
"Diamlah dan ketahuilah, bahwa Sayalah Allah! Saya ditinggikan di antara bangsa-bangsa, ditinggikan di bumi! (Mazmur 46:11, TB-LAI).
Bagian Firman Tuhan ini terus meneguhkan saya dalam menghidupi kehidupan yang penuh ucapan syukur kepada Allah. Di saat keluhan dan kekhawatiran yang saya terus hadirkan, maka secara tidak langung ingin menunjukkan bahwa saya tidak yakin kalau Tuhan dapat diandalkan untuk memelihara hidup saya.
Oleh sebab itu, teguran yang nyata melalui bagian Firman Tuhan tersebut kembali mengingatkan saya betapa pentingnya meregangkan apa yang kupegang erat, yaitu kegelisahan, kekhawatiran, dan keluhan demi keluhan kepada penyerahan diri total kepada Tuhan, Allah yang dapat diandalkan itu.
Hal itulah yang memberikan damai sejahtera yang kemudian menghasilkan ucapan syukur yang benar kepada Tuhan. Dialah Allah yang dapat kita andalkan yang mampu menyatakan kuasa dan pemeliharaan-Nya di dalam hidup kita sehingga mengucap syukur menjadi tindakan yang mungkin terjadi walau di tengah krisis pandemi ini.
Inilah yang seharusnya terus menerus menyadarkan dan membaharui kehidupan kita, bahwa kasih dan kuasa-Nya senantiasa hadir dan nyata dalam setiap kelemahan dan keterbatasan kita sebagai manusia. Semoga ini menjadi refleksi bagi kita sebagai anak Tuhan yang terus mau untuk menyatakan pujian dan ucapan syukur kepada Tuhan, Allah kita, di tengah pandemi sekalipun.
Di akhir tulisan ini, saya ingin membagikan satu pernyataan yang sangat baik dalam menjelaskan kasih Tuhan itu. Mark Labberton dalam bukunya Called: The Crisis and Promise of Following Jesus Today menyatakan demikian, “The Love of God in Jesus Christ is the supreme first thing; no one and nothing rivals or surpasses this.” (hal. 99).
1 Tesalonika 5:18
“Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu”
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: