Apakah bahagiaku harus selalu sama seperti bahagiamu?
Semua orang setuju kan, kalau kita berhak untuk merasa bahagia?
Terus? Apa lagi yang perlu dibahas?
Apa artikel ini akan menyuruh kita untuk tidak bahagia?
Waahhh... tentu saja tidak. Kalau saya menyuruh kalian untuk tidak bahagia, maka sudah jelas saya menggali kuburan saya dengan menjadi public enemy #lebay
Anyway, artikel ini terinsipirasi dari cerita seseorang. Dia (sebut saja dia Mawar, Melati juga boleh, suka-suka kalian lah, ya ) lahir dan besar di dalam keluarga Kristen—yang (bisa dikatakan) KRISTEN BANGET. Setiap Minggu tidak pernah absen ke gereja dan selalu bersemangat mengirimkan saat teduh setiap pagi. Well, kesannya dia adalah orang Kristen yang teguh, kan? Tapi semuanya berubah ketika negara api menyerang, tepatnya ketika dia mulai berkuliah di sebuah universitas. Semua orang yang dikenalnya tampak bahagia dengan kehidupan kampus mereka, tapi berbeda dengan dirinya. Semua orang tampak happy-happy aja kalau pulang pagi dari night club maupun dengan rokok yang baru pertama kali dicoba. Semua ini menyulitkannya dalam mencari teman, sampai akhirnya ada yang berkata seperti ini:
“Ya elah, lebay lo. Kan, kita ngelakuin ini buat seneng-seneng aja. Lagian Tuhan lo juga mau lo punya kenangan indah di kampus, kan? Ya udah, join aja," dan semua itu tampak masuk akal bagi dirinya.
Photo by David Jackson on Unsplash
Serupa dengan cerita di atas, banyak orang yang nyatanya melakukan sesuatu di luar kehendak Allah demi mendapatkan kebahagiaan. Well... dan pergumulan ini bukan hanya kita saja yang mengalaminya. Let's take a closer look from the Bible:
Kita bisa saja mengelak dan mengatakan bahwa kita baik-baik saja saat berkompromi dengan kebenaran. Namun izinkan saya bertanya, “Permanenkah kebahagiaan yang kita dapatkan dari hal-hal tersebut?” Well, disadari atau tidak, kita sering beranggapan bahwa kebahagiaan adalah sama dengan memenuhi hawa nafsu. Akibatnya, kita saling berlomba-lomba untuk mendapatkan apa yang kita mau—dan tidak jarang kita melakukan hal-hal buruk untuk mencapainya, sama seperti yang tertulis dalam Yakobus 4 :1-2a:
“Dari manakah datangnya sengketa dan pertengkaran di antara kamu? Bukankah datangnya dari hawa nafsumu yang saling berjuang di dalam tubuhmu? Kamu menginginisesuatu, tetapi kamu tidak memperolehnya, lalu kamu membunuh; kamu iri hati, tetapi kamu tidak mencapai tujuanmu, lalu kamu bertengkar dan kamu berkelahi.”
Lebih parahnya lagi, kita menjadi orang-orang yang lupa pada Allah yang adalah Sang Sumber kebahagiaan sejati:
“Kamu tidak memperoleh apa-apa, karena kamu tidak berdoa"
- Yakobus 4: 2b
Photo by Diana Simumpande on Unsplash
Atau mungkin kita sudah berdoa, tapi salah berdoa. Lah? Gimana, gimana?
“Atau kamu berdoa juga, tetapi kamu tidak menerima apa-apa, karena kamu salah berdoa, sebab yang kamu minta itu hendak kamu habiskan untuk memuaskan hawa nafsu.” - Yakobus 4:3
Salah berdoa bukan berarti kita—yang awalnya biasa berdoa di tempat tenang—menjadi berdoa di tempat ramai, atau menggunakan bahasa roh dan menjerit-jerit. Mungkin terjemahan Bahasa Inggris (versi NIV) dari ayat ini akan menolong kita lebih memahami maksudnya:
"When you ask, you do not receive, because you
ask with wrong motive, that you may spend what you get on your pleasure."
See? Saat berdoa, kita juga perlu mengevaluasi diri, "Apa yang memotivasi kita mendoakan hal ini? Demi memenuhi hawa nafsu, atau ketulusan hati untuk berubah?"
Photo by Preslie Hirsch on Unsplash
"Waduh kalo gitu, gw harus gimana, dong, biar bisa dapet kebahagiaan sejati?"
Mazmur 1:1-3 berkata:
“Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh, tetapi yang kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam. Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil."
Pemazmur memberikan kesaksian bahwa salah satu kunci memperoleh kebahagiaan sejati adalah dengan merenungkan dan melakukan Firman Tuhan setiap saat. Pemazmur juga mengibaratkan orang-orang yang melakukannya adalah seperti pohon yang ada di tepi sungai—yang akarnya terus mendapatkan air dan zat-zat hara. Dalam situasi apapun (terutama saat mengalami pergumulan), mereka tidak khawatir karena mereka percaya bahwa Tuhan mendengarkan setiap pergumulan yang terucap. Meskipun buah dari ketaatan kita dalam melakukan firman Tuhan tidak selalu langsung terlihat (karena mungkin “memang belum musimnya bagi mereka untuk berbuah”), but they're not worried... because God holds their hands and make them most satisfied in Him. Tidak berhenti di situ, Allah bahkan memberikan "bonus" bahwa segala yang mereka lakukan pasti akan berhasil... tinggal mereka taat kepada-Nya atau tidak.
Pertanyaannya, "Apakah 'kita' juga termasuk di dalam 'mereka' yang menemukan kebahagiaan sejati karena mencintai Firman Tuhan setulus hati?"
Biasanya, ketidakbahagiaan terjadi karena kita tidak mendapatkan apa yang kita mau. Mungkin itu ketika rencana-yang-sudah-kita-atur-sedemikian-rupa-justru-gagal-dalam-sekejap, atau pacar kita ditikung teman. Well, itu karena kebahagiaan yang sejati tidak berasal dari apa yang ada di dunia ini; tapi dari Tuhan sendiri Ketika kita menyadari hal ini dan meresponinya dengan tepat, maka Tuhan tidak hanya menjamin bahwa kebahagiaan kita akan datang seperti buah pada musimnya; Dia juga akan memberkati kita agar hidup kita bisa meneruskan berkat-Nya bagi orang lain. Ibarat buah yang bisa dimakan semua orang, kebahagiaan kita bukan hanya akan kita nikmati sendiri—tetapi semua orang dapat merasakan hal yang sama.
Jadi manakah yang akan kita pilih? Kebahagaiaan sesaat, atau kebahagiaan yang sejati?
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: