"Tidakkah Aku yang paling bisa memukaumu dengan cinta-Ku, yang tidak terbandingkan dengan segala penerimaan dari orang-orang di sekitarmu?"
Wah, udah masuk ke bulan Desember aja, nih. Gimana kabar kalian, Ignite People? Masih hidup, atau udah tinggal tenaga sisa-sisa buat menyongsong tahun 2021 (ini penulisnya juga tanya ke diri sendiri, sih)?
Biasanya kalau udah mulai masuk ke bulan yang berakhiran “-ber”, banyak gereja yang sibuk untuk persiapan bulan keluarga, belum lagi kalau ada yang ulang tahun, dan—tentunya—ada agenda seabrek untuk perayaan Natal. Yes, agenda tahunan yang selalu dinanti karena selain menandakan akan adanya pergantian tahun, Natal juga identik dengan ibadah yang membahas kelahiran Yesus ke dunia. Mungkin juga ditambah dengan susunan liturgi yang berbeda dari ibadah tiap minggu, dan lagu-lagu bernuansa Natal yang diaransemen dengan manis. Seakan belum cukup, Natal juga bisa diidentikkan dengan liburan yang bisa digunakan untuk acara reuni—baik bersama keluarga maupun teman-teman.
Tapi sayangnya, Natal tahun ini kelihatannya memiliki cerita yang berbeda.
“Paskahan kemaren cuma di rumah, sekarang Natalan mau juga kek gitu, nih? Jadi sedih.”
Photo by Matthew Henry on Unsplash
Situasi yang dilematis seperti ini juga dialami oleh gereja yang telah melakukan ibadah on-site, meskipun masih bersifat terbatas. Di sisi lain, sebagian di antara kita—para perantau—harus memendam keinginan untuk pulang ke rumah terlebih dulu tahun ini. Kalau biasanya Natal menjadi kesempatan untuk berkumpul bersama keluarga, kali ini kita terpaksa mengalah demi memperlambat laju penularan Novel Coronavirus (well, walaupun ada aja yang tetep nekat mudik atau nggak ngikutin protokol kesehatan kali, ya). Mau nggak mau, kita harus mengakui kalau kita gelisah. Yes, kita gelisah karena suasana Natal tahun ini tidak akan semeriah sebelum-sebelumnya…
Tapi apakah itu akan mengubah esensi Natal yang sebenarnya?
Mungkinkah Allah seolah-olah membiarkan Novel Coronavirus ini merajalela di mana-mana untuk “memaksa” kita menenangkan diri dari kebisingan hidup yang menggelisahkan, agar kita merefleksikan makna Natal yang sesungguhnya?
Berbicara tentang kegelisahan, saya teringat pada salah satu ungkapan terkenal dari Agustinus, seorang bapa gereja di abad keempat Masehi:
“You have made us for yourself, O Lord, and our hearts are restless until they rest in You.”
Pada dasarnya, kita—manusia—diciptakan untuk berelasi dengan Allah dan memuliakan-Nya. Tapi karena dosa, relasi itu jadi rusak. Manusia jadi sama sekali nggak punya kerinduan buat mengenal Allah, apalagi mencari-Nya. Eh, bahkan untuk tahupun nggak ada niat sama sekali, sama kayak yang tertulis di Roma 3:11. Nggak heran kalaupun mereka punya keinginan untuk itu, itu semata-mata karena anugerah umum yang diberikan Allah melalui hadirnya hati nurani dalam diri setiap manusia—termasuk kita. Dengan banyaknya tantangan hidup yang seringkali membuat kita jadi nggak berdaya, ada dorongan yang membuat kita sadar kalau ada sosok yang lebih kuat dan sanggup buat mengatasinya… yang (bisa jadi) kita berikan label itu kepada Allah. Masalahnya, apakah Allah—Sosok yang tak terlihat namun Mahakuasa itu—hanya berfungsi sebagai “pembantu” kita ketika masalah hidup menghadang? Kalau bukan, jadi sebenarnya “Allah” seperti apa yang kita cari selama ini?
Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, kita harus mengakui bahwa ada dua hal penting yang sebenarnya kita cari di dalam hidup ini. Pertama, kebahagiaan kekal—karena kita ingin lepas dari penderitaan (hello, siapa sih yang ingin menderita seumur hidup?). Kedua, kebaikan yang tidak berubah—karena sebagai gambar dan rupa Allah, kita diciptakan menjadi makhluk yang bermoral, baik, dan konstan (apalagi kita tahu kalau manusia sangat sering berubah. Memang nggak ada yang abadi di dunia ini). Pertanyaannya adalah… apa memang benar demikian? Atau jangan-jangan, sebenarnya justru Allahlah yang kita identikkan dengan dua hal itu?
Okelah, Allah memang mahabaik dan mahakuasa, tapi kalau kita mau jujur… apakah kita memang peduli pada Allah yang benar? Logikanya gini: dosa adalah melenceng dari kehendak Allah—dan sifatnya menyeluruh ke semua aspek manusia tanpa pandang bulu. Karena dosa, kita dibutakan oleh ego diri untuk menjadi “ilah kecil” bagi diri sendiri; hati kita menjadi gelap dan benar-benar nggak ada sesuatu yang baik di dalamnya. Bahkan nggak ada seorangpun yang mau untuk mencari Allah secara sadar—dalam rangka memenuhi kebutuhan utama yang (ironisnya) kita jadikan sebagai allah. Kalau kayak gini, apa kita masih akan tetap menganggap bahwa kita bisa mencari Allah yang benar itu?
Sayang sekali, jawabannya NGGAK.
Photo by Barthelemy de Mazenod on Unsplash
Dalam keberdosaan, kita menganggap bahwa hanya diri kita yang bisa menyelamatkan diri sendiri. Padahal bukankah ini sama saja dengan bersusah-payah untuk sesuatu yang tidak akan pernah terwujud? Roma 3:23 dan Roma 6:23 menegaskan kalau semua orang “telah berbuat dosa dan kehilangan kemuliaan Allah, sementara upah dosa adalah maut”. Mungkin karena menyadari bahwa hidup hanya sekali, makanya nggak jarang ada orang yang sampai berpikir, “Ya udah. Toh nanti kalau mati juga nggak bakal bisa ngapa-ngapain. Mending aku nikmatin hidup aja, suka-suka sesukaku. Kapan lagi bisa punya hidup yang bener-bener hidup kalau bukan sekarang?”
Waw. Iblis bisa semanipulatif itu sampai membuat kita jadi nggak mau peduli sama sekali kalau hidup-yang-hanya-sekali ini seharusnya dipersembahkan kepada Allah, dan menikmati relasi bersama-Nya. Bahkan Iblis menipu kita dengan seolah-olah mengatakan, “Lah, kamu kan udah jadi sama kayak Allah (Kejadian 3:5). Jadi kamu bisa dong, nyelametin dirimu sendiri. Toh kamu udah tahu apa yang baik dan yang jahat.” Masalahnya, justru karena terjebak pada pernyataan itulah, konsep moral manusia—yang sudah diberikan oleh Allah sejak awal—jadi rusak. Bagaimana manusia mau menyelamatkan diri mereka kalau untuk tahu apa yang baik di hadapan Allah saja mereka tidak tahu?
Tapi syukur pada Allah, Dia tidak tinggal diam. Sejak manusia jatuh dalam dosa, Allah langsung mengintervensi—meskipun prosesnya masih already but not yet—dengan menanamkan benih permusuhan antara “keturunan perempuan” (orang-orang yang beriman kepada Allah) dan “keturunan ular” (orang-orang yang memberontak terhadap Allah). Tidak berhenti di situ, Allah juga memilih umat-Nya (mulai dari Nuh, Abraham, lalu Israel), mengikat perjanjian dengan mereka, serta memberikan hukum-hukum-Nya. Walaupun tahu bahwa umat pilihan ini pasti akan gagal (lagi dan lagi) dalam menghidupi perjanjian tersebut, Allah tetap tidak kehilangan akal untuk membawa mereka pada keselamatan. See? Dosa memang membuat manusia gagal dalam menaati kehendak Allah, tapi melalui karya keselamatan yang dilakukan-Nya dalam Yesus Kristus dan melalui Roh Kudus, kita akhirnya mengerti bahwa keselamatan adalah anugerah. Seperti yang dikatakan Paulus dalam Efesus 2:8-9, keselamatan tidak datang dari perbuatan baik maupun usaha kita untuk mencapainya, tapi semata-mata karena anugerah Allah—yang kita imani dalam Yesus Kristus. Iman ini sendiri juga berasal dari Allah, sehingga nggak ada satupun usaha manusia yang bisa menyelamatkan diri sendiri. Semua karya keselamatan adalah murni karya Allah yang harus direspons dengan iman dan perbuatan yang berkenan di hati-Nya.
Photo by Ankush Minda on Unsplash
“Lah terus gimana kita bisa jadi percaya kalau itu emang karena anugerah?”
Well, jawabannya memang misteri, sih. Satu hal yang harus kita pegang adalah keselamatan adalah berasal dari Allah, dan Dia berhak memberikannya kepada siapapun yang Dia kehendaki. Itulah kenapa keselamatan disebut anugerah terbesar, kan? By the way, anugerah sendiri terdiri dari empat jenis, dan semuanya saling berkaitan.
Anugerah pertama adalah operating/prevenient grace, anugerah Allah yang berkarya dalam diri orang berdosa. Anugerah inilah yang melahirbarukan, menghidupkan kembali hati nurani yang mati karena dosa, membebaskan manusia dari jeratan dosa, serta memampukan manusia untuk mendatangi Kristus, percaya kepada-Nya, dan melakukan perbuatan baik. See? Berbuat baik agar selamat dengan berbuat baik karena telah diselamatkan itu dua hal yang berbeda. Kalau kita mau berbuat baik agar bisa diselamatkan, kita seolah-olah sedang mengharapkan imbalan dari Allah; sementara keselamatan seharusnya menjadi alasan bagi kita untuk mensyukurinya melalui perbuatan baik—agar orang lain juga menemukan Kristus di dalam hidup kita.
Anugerah kedua adalah cooperating grace, anugerah Allah yang menyokong kita untuk berbuat baik dan berkenan kepada Allah. FYI, dulu saya sempat membayangkan bahwa cooperating grace ini membutuhkan effort manusia untuk mendapatkannya. Tapi setelah di-digest lagi, ternyata bukan gitu konsepnya. Cooperating grace inipun berasal dari Allah, dan fungsinya adalah agar kita terdorong untuk membagikan anugerah-Nya melalui apa yang kita lakukan—sesuai dengan konteks kehidupan yang sedang kita alami saat ini.
Anugerah ketiga adalah sufficient (available) grace, anugerah yang Allah berikan kepada Adam (iya, Adam yang manusia pertama itu) untuk melakukan perbuatan baik secara alami. Iyalah, lha wong Allah aja menciptakan Adam sesuai gambar dan rupa-Nya, nggak mungkin kemampuan seperti nggak dikasih ke dia. Tapi ingat, anugerah ini ada sebelum manusia jatuh ke dalam dosa. Setelah itu, manusia tidak memiliki kemampuan seperti ini lagi—sehingga membutuhkan Allah terus-menerus untuk tetap berbuat baik walaupun prosesnya berdarah-darah.
Anugerah terakhir (tapi bukan berarti nggak penting) adalah persevering grace, anugerah yang Allah berikan bagi umat pilihan-Nya sebagai bentuk pemeliharaan-Nya. Nah, menariknya, nggak ada satupun yang benar-benar tahu siapa yang mendapatkan anugerah keselamatan dan yang tidak. Kita bisa saja beranggapan ada orang-orang tertentu (misalnya orang yang saking “hinanya”—dalam artian terlalu melukai kita) yang tidak akan diselamatkan, tapi who knows kalau di surga nanti kita akan ketemu sama dia. Sebaliknya, orang-orang yang kita anggap rajin melayani, aktif melakukan penginjilan, dan hidupnya udah kelihatan nggak ada dosanya sama sekali… mungkin justru nggak kita jumpai di surga. Plot twist? Hmmm… di sinilah kita harus mengakui bahwa otak kita sangat terbatas untuk memahami kedaulatan Allah yang tidak terbatas.
… dan untuk itulah kita merayakan Natal, kan?
Photo by Caroline Hernandez on Unsplash
Natal bukan hanya berbicara tentang Yesus yang rela mengosongkan diri-Nya demi menyelamatkan kita—bahkan dia melalui proses yang alami (baca: lahir sebagai seorang bayi, dan bertumbuh sesuai fase perkembangan manusia). Natal juga menjadi reminder terhadap anugerah keselamatan yang tidak pantas untuk kita terima saking berdosanya kita, tapi Allah melayakkan kita untuk menerimanya agar kita dipakai-Nya menjadi duta kerajaan Allah. Well, bukan berarti hidup akan langsung berjalan dengan mulus seperti jalan tol; orang Kristen juga nggak terhindar dari masalah, kan? Tapi melalui anugerah Allahlah, kita dimampukan untuk tetap berdiri pada Sang Batu Karang itu (1 Korintus 10:4), dan menghidupi kehidupan yang Dia berikan sebagai ungkapan syukur atas apa yang telah Dia kerjakan bagi kita.
Kiranya Natal yang (mungkin) tidak semeriah biasanya ini menjadi momentum prima dimana Allah berbicara kepada kita secara pribadi, “Aku ada bersamamu, karena Aku adalah Imanuel. Tidakkah itu cukup bagimu untuk menjadi kebahagiaanmu yang sejati? Tidakkah Aku yang paling bisa memukaumu dengan cinta-Ku, yang tidak terbandingkan dengan segala penerimaan dari orang-orang di sekitarmu?”
NB: Sebagai bacaan lanjut, saya merekomendasikan Ignite People untuk membaca Pudarnya Konsep Dosa dalam Dunia Kekinian: Doktrin tentang Dosa yang ditulis oleh Pdt. Daniel Lucas Lukito. :)
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: